1: Hari yang Aneh.

57 6 19
                                    

Aneh! Kali ini benar-benar ada yang aneh!

Mungkin sudah puluhan kali, atau bahkan lebih,  Niko dan Timi selalu bersepeda melewati jalan yang sama seusai main sepak bola di sekolah. Bermain sepak bola memang jadi kegiatan rutin kedua anak ini setiap Rabu dan Jumat sore – paling tidak sejak mereka duduk di kelas tiga Sekolah Dasar Kejora. Hingga di kelas lima saat ini, mereka pun masih bermain sepak bola di hari-hari yang sama, Rabu atau Jumat – tidak pernah berubah!

Jalan yang mereka lalui pun selalu sama, jalan Jalak Harupat: Jalan yang agak bergelombang, tidak bertrotoar, separuh beraspal-separuh berkerikil, dikelilingi pepohonan ketapang dan sebagian kersen, dikelilingi deretan rumah-rumah tua berukuran sedang. Dan di setiap perjalanan pulang, selalu saja ada teriakan bersahut-sahutan, diselingi cekikikan tawa dan kehebohan-kehebohan lainnya di sela cerita yang mereka bawa.

Ya, mereka sudah bersahabat karib sejak duduk di kelas satu dan tidak pernah terpisahkan: Di mana ada Timi, di situ pasti ada Niko! Guru-gurunya pun sepakat menjuluki mereka berdua, 'angka 20'. 

Mengapa bukan 'angka 10'? Entahlah. Mungkin karena tubuh Niko tidak sekurus angka satu – walau Timi juga tidak sebulat angka nol. Tapi kedua pipinya yang memang agak tembem dan berkaca mata bulat warna merah itu, selalu dikualifikasikan sebagai anak yang subur. Yang pasti postur Niko memang sedikit lebih tinggi, dengan warna kulitnyapun sedikit lebih cerah, dan rambutnya yang tidak sekeriting rambut Timi. Maklum, orang tua Timi (nama lengkapnya Timothius Malesi) memang berasal dari Indonesia Timur. Ayahnya berasal dari Ambon, dan Ibunya kelahiran kota Lewoleba, Nusatenggara Timur.

Dari sisi perilaku, Niko juga terlihat lebih kalem dibandingkan Timi yang sangat bawel – bahkan terkesan lamban. Mungkin karena Niko selalu berdampingan dengan Timi hingga siapapun yang mengenal mereka, pasti akan melihat perbandingan kontras di antara keduanya. Namun perbedaan-perbedaan fisik dan sifat itu tidak mengurangi keakraban mereka berdua. Itulah Niko dan Timi!

Tapi anehnya kali ini sangat berbeda - entah hari apa ini. Mungkin hari Rabu, atau bisa saja hari-hari lainnya. Yang pasti kali ini mereka mengayuh sepeda tanpa berkata-kata satu patah pun! (aneh kan?). Keadaan di sekeliling pun terlihat hening - bahkan sedikit mencekam! Lihatlah langitnya yang mendung, menambah dinginnya suasana. Namun mereka pun seolah tidak peduli dengan situasi sekelilingnya. Jangankan tawa-tawa cekikikan, sepatah katapun tidak keluar dari mulut mereka! Pedal-pedal sepeda terus dikayuhnya tanpa ada pembicaraan di sepanjang perjalanan. Aneh! Sungguh aneh!

Keheningan semakin mencekam hingga tiba-tiba sebuah sebuah cahaya jingga berekor melintas begitu cepatnya di hadapan mereka, lalu jatuh ditelan rindangnya pepohonan ketapang - sekitar dua ratus meter dari tempat mereka berada.

Tidak berselang lama terdengar suara gemuruh di ujung sana. Mereka pun langsung menghentikan laju sepedanya sambil menengadah menatap langit walau cahaya jingga itu sudah tidak terlihat lagi: Cahaya apa tadi?

Keanehan pun terus berlanjut: Tanpa mengomentari apa yang baru saja dilihat, mereka pun langsung mengayuh kembali sepedanya, jauh lebih cepat menuju arah jatuhnya cahaya berekor tadi. Ditelusurinya jalan yang semakin menyempit dan mengarah ke sebuah area yang ternyata menjauh dari daerah pemukiman tadi – sebuah area yang belum pernah mereka datangi sebelumnya! Langit semakin gelap, cuaca pun semakin dingin menggigit. Suara gerusan dedaunan kering terlindas roda-roda sepeda terus mengiringi perjalanan Niko dan Timi menuju lokasi jatuhnya benda bercahaya tadi.

Akhirnya sampailah mereka di sebuah tanah yang berbukit - sebuah lahan yang kelihatannya terbengkalai dikelilingi pepohonan rimbun dan semak belukar. Sebuah benda cukup besar, teronggok tepat di hadapan mereka - kira-kira berjarak lima belas meter jauhnya. Sambil menghentikan kayuhan sepedanya, dipandanginya benda aneh itu.

RAHASIA LASKAR DARAH PUTIHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang