Episode 5

8.5K 455 31
                                    

Episode 5
#luka_yang_tak_berdarah
Berpisah?

Sudah seminggu pasca kejadian ciuman itu, selama itu pula Rizam tak pernah pulang. Pernah sekali ku kirim pesan padanya sekedar bertanya dia di mana. Hanya di baca. Tak ada balasan. Aku penasaran, tapi jika ku cari keberadaan laki-laki itu, artinya aku melanggar kesepakatan. Kami tidak berhak mencampuri urusan pribadi masing-masing.

"Apa yang kau lamunkan Dira? Sejak tadi aku memanggilmu."  Wisnu sudah berdiri di sampingku.

"Wisnu? Kapan kau datang?"

Laki-laki itu tersenyum sambil menyerahkan sebuah dokumen.

"Belum lama. Kau kenapa?" Wisnu kembali bertanya.

"Aku baik-baik saja Wisnu. Memangnya aku kenapa?" Aku balik bertanya sekedar mengalihkan perhatiannya.

"Kau masih seperti dulu. Suka memendam masalah. Apa kau tidak mau mengatakannya padaku?"

"Aku sungguh baik-baik saja Wisnu."

"Baiklah jika kau tidak mau mengatakan apa-apa, aku tidak akan memaksa. Malam ini temani aku menghadiri acara amal brand kita di hotel Paradise. Kau tidak keberatan kan?"

Hotel Paradise? Itu kan tempat Rizam bekerja. Sepertinya aku harus ikut. Bukankah ini kesempatan untuk mengetahui di mana laki-laki itu? Aku mengangguk setuju ke arah Wisnu.

"Pulang kerja nanti ikut aku ke suatu tempat. Kau tidak harus pulang ke rumah dulu kan?" Wisnu bertanya memastikan.

"Tidak. Hari ini aku punya banyak waktu luang."

"Bagus. Nanti aku akan menemuimu setelah jam kantor selesai."

Wisnu berlalu dengan tersenyum senang. Senyuman Wisnu adalah godaan terberat. Bagaimana mungkin hatiku masih bergejolak untuknya? Apa yang harus ku lakukan untuk menghilangkan rasa ini? Bekerja keras. Ya aku harus bekerja keras agar tidak terus menerus mengingat senyum itu.

Saat jam pulang tiba, sesuai janji, Wisnu datang menghampiri. Aku hanya menurut ketika laki-laki itu meminta orang kepercayaannya untuk membawa mobilku pulang. Dia berjanji akan mengantarku selesai acara.

"Kita mau kemana?" Aku bertanya setelah melirik jam yang baru pukul 3.

"Ke butik." Wisnu menjawab singkat.

"Butik? Kau mau beli baju?" Aku menautkan alisku seraya menatap Wisnu yang konsen menatap jalanan.

"Iya. Tepatnya aku dan kamu. Tema acaranya menggunakan kain batik, jadi ku pikir kita perlu baju batik untuk menghadiri acara tersebut."

"Kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau cuma baju batik aku memiliki beberapa di rumah. Kita bisa mengambilnya jadi tidak harus beli."

Wisnu tidak menjawab. Kini laki-laki itu sibuk memarkirkan mobilnya di sebuah butik mewah. Susah payah aku menelan saliva. Apa lagi ini? Uangku memang cukup untuk membeli baju di sini, tapi tentu saja rasanya sayang membuang-buang uang hanya untuk sepotong dress yang hanya sesekali di pakai.

"Kenapa harus di sini Wisnu? Kau tau kan aku tidak sekaya itu."

Wisnu terkekeh sebelum memaksaku turun dari mobil.

"Aku yang bayar Andira. Kau tidak perlu khawatir seperti itu."

"Tentu saja aku khawatir. Sepotong baju disini bisa bernilai puluhan juta."

Wisnu kembali tertawa sambil mengacak rambutku gemas.

"Ayo masuk. Aku yang bayar. Kau hanya harus mencoba baju mana yang menurutku sesuai."

Luka yang tak berdarah (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang