Keluarga

293 59 5
                                    

"ONEE-SAAAAANNN...."

Aku hanya bisa tersenyum ketika teriakan itu menyambutku saat aku berjalan memasuki gerbang. Di sana aku melihat beberapa anak yang tadinya tengah asyik dengan dunia mereka sendiri seketika menoleh begitu mendengar seruan dari bocah berambut merah yang kini berlari ke arahku.

"Konichiwa, Riku-kun. Bagaimana kabarmu?"

Aku berjongkok ketika bocah berumur 6 tahun itu tiba di depanku.

Riku tersenyum polos. Senyuman yang selalu berhasil membuat bibirku ikut tertarik ke atas.

"Kabarku baik." jawabnya semangat. "Tapi Tenn-nii menyebalkan. Dia selalu menyuruhku untuk meminum obat yang pahit itu." bibirnya mengerucut lucu hingga membuat siapa saja pasti gemas dengan tingkah bocah berambut merah ini.

Tak terkecuali aku.

Aku terkekeh dan tanganku terangkat untuk mengusap kepalanya. "Kau tidak boleh begitu, Riku-kun. Tenn melakukan itu karena dia sangat menyayangimu."

"Aku tau, karena aku juga sangat menyayangi Tenn-nii."

Aku tersenyum mendengar jawaban polosnya. Kondisi tubuh Riku yang memang lemah sejak lahir, membuatnya tidak bebas untuk menghirup udara di luar. Tidak bebas melangkahkan kaki pada tempat yang ingin ia kunjungi. Tidak bisa sembarang memakan suatu makanan yang sangat ingin dimakannya. Tidak seperti Tenn yang sehat dan bebas melakukan semua yang ia inginkan.

Aku tau Riku ingin sehat, seperti Tenn. Ia ingin merasakan sekolah dan hidup bebas. Menjalani apa yang ia inginkan tanpa pantangan apapun. Aku bersyukur karena Tenn selalu berada di samping Riku. Mengajaknya bermain, dan melakukan segalanya bersama. Karena mereka itu kembar, jadi apapun yang Tenn rasakan maka Riku harus merasakannya juga. Begitu pun sebaliknya.

Orangtua Tenn dan Riku meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Jujur, hatiku selalu merasakan sakit ketika melihat keduanya. Di usia yang masih begitu kecil, mereka harus merasakan bagaimana sakitnya kehilangan kasih sayang orangtua.

Sebenarnya mereka masih memiliki seorang Paman. Tapi aku tau, Paman mereka bukanlah orang yang baik.

Aku berkata seperti itu karena jika Paman mereka orang yang baik, tidak mungkin dia meninggalkan Tenn dan Riku yang waktu itu masih berusia 2 tahun di depan gerbang panti asuhan begitu saja. Dan dengan bidabnya, orang itu pergi ke luar negri setelah menjual rumah serta harta benda milik orangtua mereka.

Merasakan penderitaan dan rasa sakit yang sama membuatku ingin melindungi mereka. Bukan hanya Tenn dan Riku, tapi semua orang yang hidup di panti asuhan ini.

"Riku, sudah kubilang kau tidak boleh berlari seperti itu."

Kami menoleh saat suara datar itu mengudara, dan di sana aku menemukan Tenn yang tengah berjalan menghampiriku dan Adik kembarnya.

"Aku kan berlari untuk menghampiri Onee-san. Dia sudah lama tidak datang kemari. Aku sangat merindukannya, Tenn-nii."

"Terakhir kali Nee-san kesini seminggu yang lalu, Riku."

"Tapi aku sangat merindukannya. Aku tau Tenn-nii juga merindukan Onee-san. Iya kan?"

"A-aku tidak merindukannya."

Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum melihat interaksi keduanya. Riku yang lucu karena kepolosannya, dan Tenn yang menggemaskan karena sifat tsundere-nya.

"Jadi, Tenn-cchi tidak rindu padaku ya?" Kuatur wajahku sesedih mungkin. Kulihat Tenn membulatkan matanya sebelum rona tipis mulai menghiasi wajah menggemaskan itu.

"A-aku juga merindukanmu, Nee-san." ucapnya pelan. Aku tidak bisa untuk menahan tawaku, bahkan Riku sudah tertawa dan mulai menggoda Kakak kembarnya.

"Oh iya, Okaa-san ada di mana?"

Okaa-san yang aku maksud di sini adalah Ibu pengurus panti asuhan. Tapi tidak ada bedanya kan? Toh beliau adalah orangtua kami.

"Sobaman datang. Jadi Okaa-san sedang menemaninya mengobrol di dalam." jawab Riku.

"Sobaman?"

Aku memang sering mendengar anak-anak menyebutkan nama 'Sobaman' pada seseorang yang selalu mengirim hadiah dan mainan serta beberapa porsi soba ke panti. Tapi sampai sekarang, aku masih belum mengetahui siapa sebenarnya si 'Sobaman' ini.

"Ah, [Name]. Kau datang, nak?"

Aku menoleh saat suara yang amat kukenal menyapa indra pendengarku. Dan aku tidak bisa untuk tidak terkejut mendapati orang yang amat kukenal berdiri tak jauh dari sosok perempuan yang kami anggap sebagai Ibu kami sendiri.

"Gaku-nii?"

.
.
.
.
.

"Aku baru tau bahwa ternyata kau lah si 'Sobaman' itu." ucapku pada Gaku saat kami berjalan di taman dekat panti asuhan. Pohon-pohon mahoni dan munggur tumbuh rindang dan meneduhkan di sisi kanan kiri jalan kecil yang kami lewati.

Gaku mengangkat bahu sebelum menjawab, "Yah, julukan yang mereka berikan padaku tidak buruk juga."

Kami tertawa bersama. Untuk sesaat aku melupakan kesedihan yang aku rasakan. Entahlah, berada di dekat Gaku selalu membuatku merasakan kebahagian meski aku tau itu tidak akan bertahan lama.

"Tapi aku sangat berterimakasih padamu, Gaku-nii." Langkahku terhenti, dan mau tidak mau Gaku melakukan hal yang sama denganku. "Terimakasih kau sudah peduli pada mereka. Aku juga baru tau bahwa selama ini kau adalah donatur tetap di panti asuhan kami." ucapku seraya menoleh padanya.

Gaku tersenyum lembut, senyum yang selalu aku sukai dari pria itu. "Panti itu adalah bagian darimu, jadi aku tidak bisa mengabaikan itu."

Aku tertegun. Apa maksud dari kalimatnya? Aku tidak ingin berasumsi, karena aku takut kenyataan yang tidak sesuai dengan bayanganku hanya akan membuatku terluka nantinya. Tapi meskipun begitu, bolehkah aku berpikir bahwa Gaku peduli padaku?

"Kita adalah keluarga. Ingat?"

Ah, benar. Kita adalah keluarga sekarang. Bodohnya aku mengira bahwa kau mungkin peduli padaku dengan mengesampingkan kita adalah keluarga.

Harusnya aku sadar, kau tidak akan mungkin membalas perasaanku yang sepihak ini.

"Kau benar. Kita adalah keluarga."

Wrong Time | Gaku x Reader [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang