Kedua matanya berkedip beberapa kali, tetap fokus pada deretan informasi yang dibacanya.
"Keadaannya semakin membaik dari hari ke hari," gumamnya dengan perasaan lega. Ini sudah sebulan semenjak Jimin menjadi dokter jiwa yang menangani Jeongkook. Dan dalam waktu sesingkat itu, kondisi mental Jeongkook mulai membaik. Terhitung hanya sekali ia mengalami guncangan hebat, itu pun di hari pertama Jimin bertemu dengannya.
Jimin kemudian mematikan laptop-nya setelah mengirim data kesehatan Jeongkook ke rumah sakit pusat. Ia segera bangkit dan bermaksud untuk mandi, ketika suara ponsel berdering menyapa gendang telinga. Secepat mungkin Jimin menerima panggilan dari temannya yang seorang dokter juga.
"Pagi, Jim! Bagaimana tidurmu semalam?"
Jimin menggantungkan handuknya di leher. "Cukup nyenyak, seperti biasanya. Tumben menelepon, Jisoo? Biasanya pagi begini kamu sudah sibuk dengan pasien?"
"Oh," gadis di seberang sana tertawa pelan. "dia belum bangun. Aku sedang menungguinya. Karena kurasa senggang, makanya aku meneleponmu."
"Hm..." Jimin hanya bergumam sebagai respon. Kedua matanya terkunci pada pandangan pagi Seoul di luar jendela kamar.
"Bagaimana dengan Jeongkook? Kudengar keadaannya makin membaik. Aku senang mendengarnya. Kamu lebih berbakat untuk menanganinya."
"Well–kurasa aku patut sombong atas hal itu?" Jimin tertawa, dibalas hal sama oleh Jisoo.
"Tapi, Jim–" keduanya sudah menghentikan tawa mereka sejak beberapa detik lalu. "–kudengar kamu berpura-pura seolah mendiang Yoongi Min masih hidup?"
Jimin terdiam.
"Kurasa itu memang cara yang ampuh untuk meningkatkan kembali kondisi Jeongkook, tapi apa itu gak terlalu berisiko? Dia akan lebih terguncang lagi ketika dia tahu kebenarannya di akhir."
Pria berusia 29 tahun itu belum menjawab. Ia lebih memilih tenggelam dalam pikirannya dengan mata yang masih tertuju pada gedung-gedung tinggi di luar sana.
"Jim–"
"Aku tahu, Jisoo." Ia akhirnya menjawab. "Aku tahu caraku berisiko tinggi. Tapi, aku harus mengutamakan kondisi fisik Jeongkook dulu. Dan aku juga berusaha untuk membuat Jeongkook bisa menerima kenyataan bahwa semua yang ada di dunia ini akan berujung tiada. Aku mengajarinya hal itu secara perlahan. Dan aku juga gak ingin dia berakhir jauh lebih buruk lagi." Jimin menghela napasnya panjang, yakin akan keputusannya. "Aku bertaruh kehidupanku dalam menangani Jeongkook, Jisoo."
"Maksudmu?"
Jimin terdiam sebentar. "Aku akan berhenti menjadi seorang dokter spesialis jiwa, kalau aku gagal."
Jeon Jeongkook in Hospital, 15일 4월 2018년
Jeongkook terbangun dengan cahaya yang menyilaukan mata. Membuatnya kembali menutup kelopak mata sebentar, lalu membukanya lagi dengan perlahan.
Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Jimin yang duduk bersandar pada pohon dengan kedua lutut sedikit menekuk. Kedua mata yang dilapisi kacamata baca tampak bergerak mengikuti tulisan dalam buku di tangannya.
Untuk sesaat, Jeongkook merasa begitu kagum pada wajah seriusnya.
"Aku tahu kamu sudah bangun, Kook." Jimin bersuara. Walau begitu, ia masih sibuk membaca buku tentang psikologi di tangannya.
Jeongkook berdengus main-main. "Sial, padahal baru saja aku ingin menjahili kakak diam-diam." Ia lalu mendudukkan diri. Sebelumnya, ia dan Jimin sibuk mengobrol di taman rumah sakit, seperti biasanya. Karena hari ini terasa begitu panas dan entah kenapa Jeongkook merasa sangat mengantuk, ia pun lebih memilih untuk tidur. Membuat Jimin akhirnya membaca buku psikologi yang memang ia bawa dari rumah.
Jimin lalu menutup bukunya, memandang Jeongkook yang sekarang sedang mengumpulkan nyawa. Muka bantalnya membuat Jimin tertawa pelan.
"Apa?" tanya Jeongkook yang sekarang menatapnya dengan raut bingung.
"Mukamu kelihatan bodoh," jawab Jimin terlampau jujur.
"Hei!" seru Jeongkook tak terima. "Muka bantalku terlihat tampan, tau! Kak Yoongi selalu bilang begitu setiap kami baru bangun tidur."
"Oh–" Jimin memasang wajah tak percaya. "–Kak Yoongi dibutakan cinta, kalau begitu."
"Hei!" lagi-lagi Jeongkook berseru kesal. "Terserahlah," namun, akhirnya ia memilih untuk diam dan memandang ke rerumputan. "aku heran, bagaimana bisa Kak Yoongi punya sahabat semenyebalkan dirimu?"
Jimin tersenyum tipis, "Takdir, kurasa?"
Lalu percakapan mereka diakhiri oleh dengusan Jeongkook. Keduanya memilih diam dan menikmati embusan angin yang sedikit membuat rasa panas hari ini memudar. Dan sebuah kebetulan menyenangkan juga, karena awan ikut terbawa angin dan menutupi matahari walau hanya sebentar.
"Aku rindu Kak Yoongi," Jeongkook tiba-tiba saja mengungkapkan keresahannya. "kapan aku bisa melihatnya?"
Jimin bungkam. Keheninangan kembali terjadi, walau hanya untuk sesaat. "Maaf, Jeongkook. Kondisinya belum benar-benar stabil. Dan lagi, ada peraturan gak boleh membawa barang elektronik ke dalam ruang inapnya. Makanya, aku gak bisa membawakanmu fotonya. Sekali lagi maaf, ya?"
Entah kebohongan keberapa yang telah Jimin lontarkan selama satu bulan ini. Dan entah keberapa kalinya juga Jeongkook mengangguk pasrah, percaya pada setiap kebohongan yang dilontarkan "sahabat suaminya" ini.
Jeongkook hanya bisa menghela napas. "Mau bagaimana lagi?" pasrahnya.
Pria di sampingnya hanya tersenyum, seperti biasanya saat ia menemani Jeongkook keluar. Selama hampir satu tahun terkurung di ruangan benar-benar menyebalkan, menurut Jimin. Maka dari itu, ia berinisiatif membawa Jeongkook keluar, melakukan terapi dengan cara menghibur. Dan hal paling menghibur bagi Jeongkook adalah membahas Yoongi-nya.
Jimin selalu merespon dengan baik apapun itu yang dikatakan Jeongkook tentang Yoongi, berbohong tentang keadaan Yoongi, juga berbohong tentang dirinya yang hanyalah seorang penulis. Satu rumah sakit sudah ia berikan ajuan untuk tidak menganggapnya sebagai seorang dokter selama menangani Jeongkook. Daripada itu, Chaeyoung yang hanya seorang perawat pendukung kerja Jimin justru dijadikan dokter oleh pria itu. Setidaknya, di hadapan Jeongkook.
"Jeongkook," panggil Jimin yang hanya ditanggapi tolehan kepala si pemilik nama. "kamu lihat batu di sana?" tanya Jimin sambil menunjuk sebuah batu berukuran cukup besar sebagai penghias taman.
"Ya," Jeongkook menjawab seadanya. "kenapa?"
Jimin tersenyum. "Kamu lihat ada cukup banyak lubang di permukaannya, kan?" tanyanya yang ditanggapi anggukan pria lebih muda. "Padahal, batu adalah salah satu benda padat yang kuat. Tapi, percaya gak? Batu juga bisa rusak dan hancur jika dihujani air terus-menerus."
Jeongkook terdiam sebentar. "Benar, saat SMA aku diberikan pelajaran seperti ini oleh guru biologi."
Jawaban itu berhasil membuat Jimin tertawa kecil. "Ya, kita semua diajarkan teori itu saat SMA. Tapi, Jeongkook? Kamu tahu ada sedikit filosofi tentang kehidupan dari teori itu?"
Jeongkook menggelengkan kepalanya. Lalu, senyum Jimin memancar dengan sendirinya.
"Batu yang kokoh dan berat bisa tetap hancur pada akhirnya, Jeongkook. Begitu juga manusia. Sekuat apapun fisik dan materinya, pada akhirnya ia akan bertemu ajal juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentally Ill [KookMin]
FanficJeongkook tidak gila, ia hanya tidak ingin mengakui kematian suaminya.