Introduce Pt.3; Doctor Park

2.3K 327 7
                                    

Jeongkook telah dibaringkan di ranjangnya. Beberapa perawat di sana tampak baru saja menyelesaikan pemeriksaan juga membereskan peralatan.

"Keadaannya sudah stabil, Dok." lapor salah-satu dari mereka pada seorang dokter muda di sana. Jas putihnya sedikit dibenarkan kembali lalu mengangguk sebagai respon atas laporan perawat yang membantunya menenangkan pasien bernama Jeon Jeongkook.

"Kalau begitu, kalian boleh keluar." pria itu melirik sekitar, bersaha menemukan sebuah kursi atau apapun itu yang bisa dijadikan tempat duduk, namun nyatanya tak ada. "Aku akan menjaganya sampai ia bangun. Jadi, bisa tolong ambilkan sebuah kursi untukku?"

Beberapa perawat itu mengangguk sebelum memberikan hormat dan pamit untuk keluar ruangan.

Pria itu hanya diam memerhatikan pintu yang tertutup kembali. Pikirannya pun melayang ke kejadian di mana pipinya terkena bogeman pasiennya sendiri. Ringisan pelan ia keluarkan saat menyentuh pipi kanan. "Padahal ini hari pertamaku untuk menjadi dokter barunya. Dan aku sudah mendapatkan sambutan berupa memar di pipi? Hebat sekali."

Pandangannya lalu tertuju pada Jeongkook yang terlihat tenang dalam pengaruh obat. Senyumnya kemudian terkembang.

"Well–salam kenal, Jeon Jeongkook. Aku dokter barumu, Park Jimin."

Lalu setelahnya, Jimin tertawa. Entahlah, pertemuan pertamanya dengan Jeongkook begitu lucu menurut Jimin.

"Hah... Bodoh." Jimin mengumpat pada dirinya sendiri.

Doctor Park

"Sudah bangun?"

Jeongkook mengerjapkan matanya sekali lagi. Tak sampai sedetik kemudian, badannya langsung terduduk sempurna di atas kasur.

"Siapa? Kenapa kamu di sini?"

Jimin sadar, pertanyaan dan raut wajah Jeongkook dipenuhi kewaspadaan. Dan itulah yang membuat dirinya tersenyum. Jas putihnya sudah dilepaskan sejak 30 menit lalu.

"Aku bukan orang jahat. Aku adalah teman dari Kak Yoongi."

Benar dugaan Jimin, kedua bias di mata Jeongkook bersinar begitu cerah ketika mendengar nama Yoongi. "Teman dari Kak Yoongi!?" secepat mungkin ia menghadapkan tubuhnya pada Jimin yang duduk di kursi sebelah ranjang. "Kamu temannya? Kenapa Kak Yoongi tidak sekalian dibawa juga?"

Rentetan pertanyaan itu tak langsung dijawab oleh Jimin. Ia hanya tersenyum, memasang wajah setenang mungkin sebelum menunjuk pintu keluar dengan dagunya. "Dia ada di ruangan lain. Kalian sama-sama berada di rumah sakit untuk perawatan."

Jeongkook terdiam. "Perawatan?" gumamnya heran. Namun kemudian, kedua bola matanya bergerak gelisah. Gambaran mengenai Yoongi yang tergantung di plafon kamar mereka kembali melintas di kepalanya. "Tidak... Tidak–Kak Yoongi belum mati! Dia belum mati–" ia mendongak. Wajah ketakutannya berhadapan langsung dengan wajah tenang Jimin. Kedua bahunya dipegang erat oleh pria itu.

"Kak Yoongi belum mati," Jimin membuka suara. Satu kalimat itu berhasil membuat raut takut mulai memudar dari wajah Jeongkook. "dia baik-baik saja. Dokter dan perawat di sini merawatnya dengan baik. Jadi, kamu tenang saja. Semuanya baik-baik saja."

Helaan napas lega berembus dari belah bibir tipis Jeongkook. Senyumnya terkembang sedikit. "Syukurlah, terima kasih sudah memberitahukanku hal yang masuk akal." Binar matanya menatap Jimin penuh rasa syukur. "Semua orang bilang dia sudah mati. Padahal, jelas-jelas dia masih hidup, kan? Dia gak mungkin meninggalkanku begitu saja. Janjinya untuk gak akan meninggalkanku sebelum hari tua tak mungkin dia ingkari."

Jimin masih menunjukkan wajah tenang dengan senyum yang menambahkan ketenangan untuk Jeongkook. "Ya, tentu saja."

"Jadi, bisa aku bertemu dengan Kak Yoongi? Aku merindukannya. Kenapa kami harus dipisahkan?"

"Maaf, tapi belum bisa." Jimin menepuk sebelah bahu pasiennya. "Kak Yoongi masih memerlukan perawatan intensif. Dia belum bisa dijenguk, jadi tetaplah melakukan pengobatanmu dengan tenang di sini, ya?"

"Serius?"Jeongkook menatapnya tak percaya. "Seingatku, aku sudah lama dirawat di sini. Bukankah artinya Kak Yoongi juga? Kenapa dia masih harus dirawat intensif?"

Jimin masih memertahankan senyumnya. "Aku yakin kamu ingat kejadian terakhir, kan? Kamu dirawat karena shock. Dan Kak Yoongi dirawat karena mengalami luka. Kalau kamu sendiri belum diperbolehkan pulang, bukankah berarti keadaan Kak Yoongi juga belum membaik?"

"Oh–" Jeongkook tertunduk. "–benar juga."

"Kamu sudah mengerti, kan?" tangan kanan Jimin kemudian tergerak perlahan untuk mengusap rambut Jeongkook. "Kalau begitu, cepatlah sembuh. Ikuti kata-kata dokter atau perawatmu dengan baik. Karena setelah kamu sehat, kamu bisa bertemu Kak Yoongi lagi. Dan aku sendiri yang akan mengantarkanmu untuk bertemu dengannya."

Jeongkook menganggukkan kepalanya mengerti.

"Kalau begitu, aku permisi." Jimin bangkit dari duduknya. "Makananmu sudah datang. Habiskan, oke?" ujar Jimin yang lagi-lagi diangguki oleh Jeongkook. Bisa ia lihat pria itu langsung mengambil nampan berisi makanan di nakas sebelah ranjang. Setelah itu, dimakannya makanan itu dengan cukup lahap. Entah kenapa, tapi dia merasa sangat lapar.

Jimin hanya tersenyum tipis sebelum keluar dari ruangan Jeongkook. Bertepatan dengan pintu yang tertutup di belakangnya, ia menghela napas lega. "Baik, sekarang dia sudah mau makan dengan lahap." Kemudian ia mendongak, mengatakan maaf dalam hatinya berulang kali.

"Maaf, Tuhan. Aku harus berbohong. Dan untuk mendiang Yoongi Min, maafkan aku karena menjadikanmu bahan pengobatan pasienku. Ini demi menyembuhkan orang yang begitu mencintaimu."

Mentally Ill [KookMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang