Jimin terduduk lemas di sofa apartment-nya.
Kedua mata sayunya bergerak mengikuti Jeongkook yang sibuk mondar-mandir di dapurnya yang hanya terpisah oleh meja makan dari ruang televisi. Dimulai dari mengambil baskom, lalu mengisinya dengan air hangat, diakhiri mengambil handuk kecil dekat kamar mandi. Jeongkook melakukan itu semua sebelum akhirnya duduk di samping Jimin, mengompres kening pria itu hati-hati.
"Untuk apa kakak menutup mata begitu?" Jeongkook bertanya dengan alis terangkat sebelah.
Lalu, Jimin menjawabnya enteng. "Aku gak mau kamu tertular sakit mata." Jawaban yang berhasil membuat Jeongkook tertawa pelan, ikut bersandar pada sandaran sofa sambil menatap pria itu.
"Well–itu bukan ide buruk," katanya sebelum menutup mata. Atmosfer di antara keduanya berubah hening. Sudah dua hari Jeongkook di sini, menemani Jimin. Demam pria itu sudah tak separah sebelumnya. Tinggal matanya saja yang berada pada tahap pemulihan. Untuk Chaeyoung sendiri, ia beberapa kali datang untuk mengecek keadaan Jeongkook. Dan hasilnya memuaskan, karena kondisi mental dan pikiran pria itu berkembang cukup pesat dalam dua hari. Itu semua akibat bacaan yang Jimin berikan untuk Jeongkook, juga terapi ringan yang ia berikan.
Ya, walau dalam keadaan sakit pun, Jimin tetap menjalankan tugasnya sebagai dokter yang menangani Jeongkook.
Perlahan Jimin membuka kedua matanya. Ketika ia menoleh, Jeongkook dengan eskpresi tenang dan bibir sedikit terbuka adalah pemandangan yang ia lihat. Napas pria itu terdengar teratur, menandakan bahwa Jeongkook sudah tertidur.
Senyum Jimin merekah. Tubuhnya berdiri untuk mengambil selimut di kamar dan menyelimuti tubuh Jeongkook.
"Selamat tidur, Jeongkook. Mimpikan hal yang indah," ujarnya sambil menyentuh rambut Jeongkook dengan jemari. Namun, sengatan yang ia dapat di jantung membuat dirinya seketika tersadar telah mengambil keputusan salah. Walau ia tersenyum, kepalanya lantas menggeleng sembari menjauhkan tangan dari Jeongkook.
"Bodoh," rutuknya pada diri sendiri.
Jimin's Lie
Jimin terbangun dengan wajah yang lebih cerah dari kemarin. Bertanda bahwa ia sudah lebih baik.
"Jeongkook–" Jimin terdiam di tempatnya. Tepat setelah ia membuka pintu kamar, yang ia temukan adalah selimut terlipat yang berada di atas sofa. "–dia sudah bangun?" tanyanya entah pada siapa.
Dan hidungnya tiba-tiba saja mencium wangi sup. Karena tak ada lagi orang di sana selain dirinya dan Jeongkook, maka sudah dapat ia pastikan Jeongkook lah yang membuatkannya sup.
Sebenarnya, sudah sejak kemarin Jimin mengetahui kemampuan memasak Jeongkook. Pria itu sempat bercerita bagaimana Yoongi dulu tak pernah memasak, karena yang memasak adalah dirinya. Jeongkook senang, ia tak mengeluh sama sekali. Bisa membuat Yoongi tidak kerepotan untuk mengurusnya adalah hal membahagiakan untuk Jeongkook. Dan di sanalah, Jimin kembali disadarkan fakta bahwa Jeongkook sangat mencintai mendiang suaminya.
"Kukira kamu sudah pulang?" sapa Jimin saat melihat Jeongkook sibuk menata makanan di atas meja makan. Jeongkook sendiri justru tersenyum.
"Gak lihat penampilanku?" tanyanya yang berhasil membuat Jimin memerhatikan penampilannya. Jeongkook sudah sangat rapi dengan pakaian bernuansa hitamnya. "Aku sudah akan kembali ke rumah sakit. Yang membuatku masih di sini adalah hidangan ini."
Jimin tersenyum. "Terimakasih," balasnya sebelum duduk di salah satu kursi dan menyiapkan peralatan makannya.
"Kalau begitu, aku permisi? Kurasa Dokter Chaeyoung sudah menunggu," katanya yang hanya diangguki oleh Jimin sekenanya. "jangan lupa untuk menjengukku lagi, kak. Aku ingin membaca bukumu lagi."
"Iya, iya." Jimin menjawab dengan mulut penuh. Serius, masakan Jeongkook itu enak. Dan kebetulan juga ia sedang kelaparan.
Jeongkook tersenyum saja sebelum akhirnya pergi dari sana. Ia turun ke lantai bawah untuk mencapai ruang tamu. Ruang tamu dan sisa ruangan lainnya terpisah oleh tangga. Jimin memiliki apartment unik yang memiliki dua lantai. Dan lantai pertama hanya berisi ruang tamu berukuran kecil. Ketika kita menaiki tangga menuju lantai dua, barulah keseluruhan bagian yang lebih luas terlihat. Ada satu kamar ukuran besar, lalu satu ruang televisi, satu dapur, satu kamar mandi, dan satu set meja makan.
"Hm?"
Langkah Jeongkook tiba-tiba saja terhenti. Sesuatu menarik perhatiannya. Ketika dirinya menoleh, ada sebuah figura terpajang di dinding ruang tamu.
Tunggu...
"Kakak bilang, kakak adalah seorang penulis, kan?" tanyanya pada diri sendiri, mengingat setiap detil cerita yang dikatakan oleh Jimin.
'Sertifikat Dokter Terbaik Spesalis Mental, Korea Selatan.
Atas nama: Park Jimin'
Tapi, sertifikat itu mengatakan hal yang lain.
Dan kepala Jeongkook terasa pening seketika. Beberapa pecahan memori yang sengaja ia buang dan tepis tiba-tiba saja terputar di otaknya.
Jeongkook dan Yoongi yang dirawat di rumah sakit yang sama, keadaan Yoongi yang cukup parah, persahabatan Jimin dan Yoongi, Jimin yang seorang mahasiswa psikologi namun harus menghilangkan mimpinya menjadi seorang dokter karena kekurangan biaya, Jimin yang seorang penulis, dan Yoongi yang masih hidup.
"Itu semua–" setetes air mata terjatuh dari mata Jungkook. "–bohong?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentally Ill [KookMin]
Fiksi PenggemarJeongkook tidak gila, ia hanya tidak ingin mengakui kematian suaminya.