"Jeongkook?"
Jimin membuka tirai pembatas ruangan kamar inap Jeongkook. Matanya meneliti setiap aset yang memenuhi ruangan ini. Senyum yang terukir di bibirnya adalah bukti bahwa Jimin bangga atas design yang ia buat sendiri atas kamar inap Jeongkook.
Oh, ada hal yang belum disampaikan mengenai kamar inap Jeongkook yang suram. Mengingat selama ini keadaan Jeongkook sudah semakin baik, maka Jimin berinisiatif untuk merubah kamar inap sang pemilik menjadi lebih cerah dan layak.
Dinding yang sebelumnya bercorak kayu dengan warna cokelat suram sudah diubah menjadi putih dengan sentuhan biru di beberapa sisi. Lalu, ada beberapa barang yang ditambahkan seperti kursi, meja, peralatan minum dan juga beberapa pernak-pernik penghias ruangan. Ranjang buruk Jeongkook juga sudah diganti dengan yang lebih besar dan baik. Dilapisi dengan spring bed warna putih yang menunjukkan rasa kalem.
Dan tebak? Mereka–Jimin dan Jeongkook–baru saja merenovasi kamar ini dimulai dari kemarin. Dan hari ini baru selesai. Bayangkan saja, sejak kemarin pagi sampai sudah semalam ini, mereka baru saja menyelesaikan semuanya. Melihat hasilnya, membuat Jimin merasa bangga atas dirinya sendiri.
Setidaknya, sampai ia melihat Jeongkook yang topless terlihat berkeringat gelisah.
Jeon Jeongkook in Mentally Hospital, 17일 4월 2018년
"Jeongkook!" sesegera mungkin Jimin mendekat dan melihat langsung keadaan pria di hadapannya.
Jeongkook terduduk di sofa dengan wajah menunduk yang dipenuhi keringat.
"Jeongkook..." sekali lagi Jimin memanggil lalu mengusap pelan pipi pria di hadapannya, namun yang ia dapat justru sebuah tepisan kasar.
"Jangan sentuh aku!" Jeongkook makin terlihat gelisah. Kedua matanya tampak bergetar takut saat melihat Jimin, seolah ia tak pernah melihatnya. "Kamu siapa? Kenapa aku ada di sini!?" nada bicara Jeongkook mulai meninggi. Ia berdiri dari duduknya dan seolah mencari jalan keluar.
"Jeongkook, ini aku, Jimin!" sang dokter tak patah semangat. Ia tetap berusaha untuk menenangkan pasiennya. Dipegangnya sebelah bahu Jeongkook, "Aku sahabat dari Kak Yoongi–"
"Bohong!" Jeongkook menepis lagi tangan Jimin. Raut wajahnya kali ini bukan saja hanya diliputi ketakutan, namun amarah juga. "Kak Yoongi belum mati! Suamiku belum mati!"
"Jeongkook..." dengan nekat Jimin memeluk pria itu. Mengusap perlahan punggungnya dengan penuh kesabaran. Membiarkan pria itu menangis sejadi-jadinya, meraung menyebut nama Yoongi.
"Aku gak bisa kehilangan Kak Yoongi..." Jeongkook benar-benar terpukul. "Kenapa Tuhan memisahkanku dan suamiku dengan cara seperti itu!? Aku gak bisa..." suara Jeongkook terdengar begitu memilukan di telinga Jimin. "Kenapa!? Kenapa harus dengan cara gak adil? Kak Yoongi gak punya salah apapun sampai harus mereka perkosa dan bahkan dibunuh. Dia juga gak berhak menerima keputusan polisi yang gak mau menangani kasusnya!"
Bruk–
Kedua matanya mengerjap kembali.
Kata-kata Jeongkook tadi...
Sekarang Jimin paham, penyebab Jeongkook seperti ini bukan hanya tentang kematian Min Yoongi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentally Ill [KookMin]
FanficJeongkook tidak gila, ia hanya tidak ingin mengakui kematian suaminya.