1

1.7K 90 3
                                    

Jam weker di nakas menunjukkan angka 6:15, gadis blasteran Indonesia-Italia itu telah siap dengan atribut sekolah. Tidak lupa kelengkapan lain yang juga harus dikenakannya saat berada di sekolah juga telah melekat di tubuhnya. Kecuali kacamata tebal itu. Cilia Vian Santoso akan mengenakannya ketika mobil yang mengantarnya tiba di gerbang sekolah.

Sebelum keluar kamar, sekali lagi Vian mematut dirinya di depan cermin. Sungguh dia merasa sangat tidak nyaman melihat penampilan cupu gadis yang terpantul di cermin besar itu. Tapi bagaimana lagi, ini sudah pilihannya.

Jam sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh menit ketika sepasang kaki jenjang Vian menapak lantai ruang makan. Celaka, gumam Vian dalam hati. Dia harus bergegas menghabiskan sarapan atau akan terlambat sampai di sekolah. Perjalanan menuju sekolah memakan waktu dua puluh menit, atau bisa setengah jam kalau dia terjebak macet. Yang artinya dia akan terlambat sampai sekolah. Sungguh Vian tidak mau itu. Andre pasti akan mencap jelek dirinya karena keterlambatan yang tidak dikehendaki itu.

"Minum susunya pelan-pelan, sayang." Gillian Panari Santoso menegur lembut putrinya yang tampak tergesa. "Nanti tersedak lho."

"Vian telat, mommy." Vian kembali meminum susu yang tersisa. Berdiri dan merapikan seragam begitu selesai, berniat langsung berangkat tanpa menghabiskan sarapan yang bersisa lebih dari separuh.

"Sandwich nggak dihabisin?" Kali ini Christian Santoso yang menegur putri satu-satunya.

Vian menggeleng manis. "Udah kenyang, Daddy."

"Belum habis masa udah kenyang?"

Vian mengangguk lagi, meyakinkan mommy yang menatapnya penuh selidik. Vian mengerang dalam hati, mommy terlalu mengetahui semua tentang dirinya. Bahkan dia kelaparan pun mommy pasti tahu. Seperti sekarang.

Sebenarnya dia memang lapar, tapi kalau menghabiskan sarapan sudah pasti dia akan terlambat. Dan itu sangat tidak baik baginya. Andre pasti akan marah besar.

"Vian nanti makan di kantin aja."

Vian tersenyum. Mencium pipi mommy dan daddy bergantian, Vian berlari kecil menuju pintu keluar yang tidak bisa dibilang dekat dari ruang makan. Bergegas masuk ke mobil, bernapas lega begitu mobil mulai bergerak meninggalkan halaman rumah.

"Cepetan dikit ya, pak Tino."

Pak Tino, supir yang bertugas mengantar jemput Vian ke sekolah mengangguk. Menambah kecepatan mobil seperti yang diminta nona muda-nya.

Selama diperjalanan Vian bergerak gelisah. Bayangan wajah tampan Andre yang memerah marah membuatnya menggigil takut. Seharusnya dia sudah terbiasa, Andre selalu memarahinya setiap hari. Pun di depan orangtua mereka, Andre tak pernah menunjukkan sikap ramah padanya. Selalu wajah sedatar triplek dan tatapan sedingin kutub. Vian menggigit bibir, memasang kacamata tebalnya tergesa. Mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah bertaraf internasional yang menjadi tempatnya menimba ilmu. Setelah mengucapkan terimakasih pada pak Tino, Vian berlari kecil memasuki gerbang yang untungnya masih belum ditutup.

"Hai, nerd!"

"Selamat pagi, nerd!"

"Si nerd sudah datang!"

Dan sederet perkataan lain. Vian tak pernah menghiraukan mereka, sudah terbiasa sejak dia memasuki sekolah ini beberapa bulan yang lalu. Orangtuanya yang memintanya untuk sekolah di sini. Tentu saja karena Andre juga sekolah di sini. Mereka pikir pasti Andre akan menjaganya. Mereka bertunangan kan? Vian mendesah. Orangtuanya dan orangtua Andre hanya tidak tahu saja, Andre begitu membencinya. Jangankan menjaga, malah Andre juga terkadang membullynya. Padahal Andre yang meminta dia berpenampilan seperti sekarang.

Fake Nerd VIAN - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang