Dream; 4 : night park

232 41 34
                                    

Kelas hari ini selesai, Laura sudah pamit duluan untuk pulang, sementara diriku seperti biasa menunggu di halte bis tak jauh dari kampus, menunggu bis datang membawaku pulang. Namun tak berselang lama, seseorang datang menyapaku dengan hangat. "Hai ra."

Aku menoleh. "Seonghwa." Yang ku balas sapa tersenyum, Seonghwa duduk tepat di sebelahku.

"Nanti malam jadi kan? Jangan lupa, jam delapan, pakai baju yang tebal, katanya juga nanti malam salju turun." Jelas Seonghwa. Aku hanya mengangguk mengerti dan Seonghwa membalasnya dengan sebuah senyuman. Tak lama kemudian, bis datang dan berhenti tepat di depan halte, aku segera berdiri dan merapikan letak tasku.

"Aku duluan." Pamitku pada Seonghwa.

"Hati-hati di jalan, jangan lupa nanti malam." Seonghwa mengacak-ngacak rambutku dengan gemas, aku hanya menyembunyikan wajah merahku di balik rambut panjangku.

Jam delapan malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam delapan malam. Dan aku sudah siap dengan baju tebal beserta syal yang melingkar hangat di leherku, sedari tadi tak henti-hentinya aku tersenyum, sangat susah untuk menyembunyikan perasaan yang sangat bahagia ini.

"Bunda aku pergi dulu." Aku berpamitan dengan kedua orang tua ku sebelum pergi ke taman kota menikmati salju yang sebentar lagi akan turun menyelimuti kota.

"Hyera! Hati-hati di jalan nak!" Seru ayahku dari ruang tengah. Aku hanya tersenyum dari kejauhan, namun tiba-tiba saja, aku merasakan nyeri di bagian jantungku, tak berselang lama rasa nyeri itu menghilang.

Taman kota sudah di penuhi oleh orang-orang, hampir tidak menyisakan satu pun bangku di taman untuk diriku dan juga Seonghwa. Aku mencari kesana dan kesini, namun tidak menemukan keberadaan Seonghwa, dimana dia? Aku memutuskan untuk mengambil bangku kosong sebelum di ambil oleh orang lain.

Kaki mungilku tak henti-hentinya saling menghentak tak tenang, ya, aku khawatir, khawatir bahwa Seonghwa lupa dan mengingkari janjinya, dan meninggalkan aku seorang diri di taman kota, menikmati salju yang sebentar lagi turun.

Sial, aku hampir saja menangis karena takut akan hal itu. Tidak, Seonghwa tidak mungkin lupa, ia tidak mungkin mengingkari janjinya, ia pasti datang, aku sangat yakin.

Saat sedang memikirkan Seonghwa, gantian kepalaku yang terasa nyeri, sial, apa yang terjadi dengan diriku? Nyeri itu tak kunjung hilang, aku terus menundukkan kepalaku sambil memegangnya, dan tanpa ku sadari aku sudah meremas rambutku dengan kuat karena aku tak tahan dengan nyeri tersebut, samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku.

"Hyera, hyera, hey, hyera?"

Aku tak mampu untuk mendongak, bahkan merespon panggilan tersebut, namun seseorang yang memanggil namaku itu menyentuh pundakku dan kembali memanggilku. "Hyera, kamu gak apa apa?"

Seonghwa? Benarkah itu dia?

Sekarang rasa nyeri itu perlahan memudar, dan kini aku bisa sedikit mendongak untuk melihat wajah seseorang tersebut dengan jelas. Ia berdiri tepat di hadapanku, menyamakan posisiku saat ini agar ia dengan mudah berkomunikasi dan melihat wajahku. Ia terlihat cemas.

Ya. Dia Seonghwa. Pria yang ku tunggu-tunggu, menunjukkan wajah cemasnya di hadapanku, ia terlihat sangat panik.

"S-Seonghwa.." perlahan namun pasti, rasa nyeri di kepalaku semakin menghilang dan tidak terasa lagi, namun aku masih memegang kepalaku.

"Kepalamu kenapa? Kamu gapapa kan?" Seonghwa menyentuh tanganku yang masih memegang bagian kepala yang nyeri itu. Aku berusaha untuk tersenyum. Seonghwa bangkit dan duduk tepat di sebelahku, ia masih menyentuh tanganku, namun tangan sebelahnya mengelus bahuku dengan lembut.

Aku, ingin menangis aja rasanya.

"Sekarang udah mendingan?" Tanya Seonghwa. Aku melepas genggaman di kepalaku, mencoba untuk menatapnya dan mengangguk pelan. Namun raut wajahnya masih menunjukkan bahwa ia masih khawatir dengan keadaanku. "Maaf aku datang agak telat, mungkin karena sekarang suhunya lagi dingin banget, dan mungkin kamu nggak tahan di luar lama-lama gini. Maaf." Jelas Seonghwa dengan nada menyesal. Aku menggenggam tangannya yang dingin itu, Seonghwa menyadari, ia melirik.

"Tidak apa-apa, cuma nyeri biasa aja bukan masalah." Ucapku santai. Namun Seonghwa masih terlihat cemas. Aku kembali tersenyum. "Ga ada yang perlu di cemasin lagi, aku baik-baik aja."

Seonghwa menghela napas. "Baiklah, maaf aku terlalu cemas padamu."

"Tapi memang, saat ini suhunya dingin sekali." Ucapku membuka suasana. Seonghwa terkekeh kecil.

"Memang, katanya nanti salju turun di bulan ini, dan alasan aku mengajakmu malam ini, adalah menikmati momen yang langka ini bersamamu." Jelas Seonghwa, yang dimana membuat hatiku bergetar, aku tak percaya dengan apa yang ia katakan. "Selama ini, aku selalu menikmati momen-momen seperti ini sendirian seorang diri, setelah aku putus dengan Alice setahun yang lalu, aku memutuskan untuk menyendiri."

Aku merasakan itu. Aku merasakan apa yang Seonghwa rasakan, kesedihan di sela-sela momen yang indah ini. Tiga puluh menit sudah kami masih dalam posisi berpegangan tangan, dan tanpa diantara kita menyadari itu, terasa nyaman, dan hangat.

Kami hanyut dalam keheningan dan pikiran masing-masing. Aku ingin seperti ini selamanya. Selamanya bersamanya, selamanya saling mengenggam tangan, namun rasanya, kita tidak akan bisa selamanya seperti dalam mimpi.

Akhirnya, momen yang di tunggu tiba, satu persatu salju putih turun dari langit, aku dan Seonghwa serempak mendongak ke langit malam nan indah. Salju-salju putih yang siap untuk menyelimuti kota ini. Namun di sela-sela turunnya salju, air mataku tiba-tiba saja mengalir tanpa perintah dari ku, dan bukan kemauan ku juga untuk meneteskan air mata.

"Turun juga, momen yang paling ku tunggu." Seonghwa membuka suara sembari tersenyum kepada langit malam dan juga salju-salju yang turun. Namun setelah menoleh kepadaku, senyumannya memudar. "Ra, kamu nangis?"

Aku perlahan menoleh ke Seonghwa dengan mata yang sembab. "Eh?"

Seonghwa menghapus air mataku dengan kedua tangannya yang dingin itu, setiap hembusan nafasnya, selalu disertai dengan uap yang keluar dari hidung maupun mulutnya. Normal. Karena suhu yang sangat dingin saat ini. "Jangan nangis," Seonghwa menarik sudut bibirnya, "semesta tidak mau melihatmu menangis disaat salju turun untuk yang pertama kalinya, aku juga tidak mau melihatmu menangis." Aku terkesan dengan ucapannya dan membuatku ingin menangis kembali.

Maap aku mau nangis di pojokan dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Maap aku mau nangis di pojokan dulu

[✔︎] 𝐒𝐡𝐨𝐫𝐭 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬[𝐎𝟏]-𝐈𝐧 𝐌𝐲 𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang