Pertama kali Min melihatnya di ujung jalan awal abad lalu. Ia turun dari sebuah bus, menyusul seorang lelaki sipit berkacamata. Wajahnya bundar, matanya sipit, hidungnya pesek, bibirnya tipis dan mungil. Kulitnya pucat dibandingkan kulit Min yang coklat, rambutnya dikepang dua, poni pendek di dahi. Gadis itu memakai celana panjang longgar, baju longgar lengan panjang. Ia tersenyum ke arah Min, mungkin tidak sengaja ditujukan kepada pemuda itu, mereka kan tidak saling mengenal?
Kenek bus membuka bagasi, menurunkan dua kopor kulit, lalu melompat naik sambil berteriak, "tariiiikkk ...!" bus bergoyang-goyang bergerak maju dengan suara gemuruh, meninggalkan kepulan asap knalpot yang membuat sepasang manusia itu terbatuk-batuk.
Hanya ada satu dokar di pangkalan itu, milik Min, pemuda itu mendekat, menawarkan jasanya, membantu mengangkat kedua kopor berat itu. Lelaki itu langsung naik ke kursi depan di samping tempat duduk kusir, tidak menghiraukan si perempuan berdiri di belakang kereta kuda itu, ragu-ragu.
"Maaf, saya bantu ...," Min memegang pinggang gadis itu mengangkatnya naik ke kursi penumpang, ada denyar halus di seluruh tubuhnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki saat melakukannya.
"Terima kasih," bisik gadis yang rambutnya dikepang dua itu, menunduk, tidak berani menatap Min, malah melirik lelaki yang datang bersamanya tadi, seperti takut ketahuan. Ia beringsut duduk ke arah depan, Min meletakkan satu kopor di sampingnya, dan satu lagi di kursi di seberangnya, mengikat dengan tali.
*
"Lumah Mak Nyai Ngateni." Lelaki itu menyebutkan tujuannya begitu Min duduk.
"Ya, Tuan." Min menarik tali kekang, siap mengendalikan kudanya.
Musim kemarau, debu jalan beterbangan dihempas kaki kuda dan roda kereta, sepanjang perjalanan lelaki itu mengajak si gadis berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Min, hanya satu kata yang diingatnya, Apun, nama gadis itu.
A Fun duduk persis di belakang Min, tidak rapat, tapi gerak dokar selama perjalanan membuat lengan kanannya sesekali bersentuhan dengan punggung sang kusir, kembali denyar halus merambah seluruh tubuh pemuda berotot itu.
*
Rumah Mak Nyai Ngateni terletak di ujung lain jalan desa itu, sekitar satu kilometer dari jalan raya kecamatan, menyeberang sungai. Melewati jembatan kecil, Min menghentikan dokar di depan pagar, menambatkan kudanya di tiang dekat pintu masuk, lalu membuka ikatan koper, membawa masuk ke rumah, menyusul A Fun yang sudah turun sebelumnya, mengekor lelaki itu.
Ada dua ekor sapi sedang memamahbiak di halaman depan, berbaring santai ala Cleopatra, tali di leher masing-masing terhubung ke pasak terdekat.
"Baru datang, Min?" Saiful menyapa, teman Min ini bekerja di situ mengurus sapi-sapi, ia sedang memindahkan rumput-rumput dari cikar, dibawa masuk melalui pintu samping ke halaman belakang.
"Ya, Pul, nunggu bus terakhir, kok ya pas, penumpangnya tamu Mak Nyai."
Sariah berjalan mendahului Min, menunjukkan dua kamar tempat meletakkan masing-masing kopor, lalu melangkah ke dapur bertepatan dengan suara peluit cerek, air yang dijerangnya mendidih. Sariah membuat menyeduh kopi murni di sebuah cangkir indah untuk tamu yang baru datang, dan mengambil kopi yang mutunya lebih rendah menyendokkannya ke dua gelas kaca, untuk Min dan Saiful.
"Kopinya, Cak!" serunya ke arah sapi-sapi, tidak berani memandang ke arah sumur di dekatnya, Min sedang menimba air, bertelanjang dada.
Rumah Mak Nyai Ngateni di seberang sungai berdiri sendiri, terpisah dari rumah-rumah lain. Ada empat kamar di rumah induk, dan dua kamar di bagian belakang, sederet dengan dapur dan gudang. Ini cerita di sebuah desa di Kabupaten Malang tahun 1900, memasak masih menggunakan kayu bakar, masih banyak rumah berdinding gedek.
Rumah kakak Sariah itu separohnya berdinding bata, ada sumur dan kamar mandi di bagian belakang, setiap sore menjelang Asyar Min datang menimba air mengisi penuh bak mandi besar dan gentong air di depan dapur. Pemuda itu selalu melepaskan bajunya setiap kali menimba, tapi selalu ada denyar di hati Sariah setiap kali matanya tak sengaja menatap dada kekar dan lengan berotot itu. Ia berharap Min merasakan hal yang sama, tapi sudah setahun mereka berkenalan, pemuda itu tak pernah mengajaknya mengobrol kecuali basa-basi seperlunya.
*
"Makasih, Ah," Min meletakkan gelas kosong di tempat cuci piring, ia sudah mengenakan bajunya kembali, sudah wudhu, dan menuju salah satu kamar di dekat dapur – kamar Saiful – untuk sholat Asyar.
Usai sembahyang, pemuda itu keluar lewat pintu samping, sengaja menoleh kala melewati jendela sebuah kamar, berharap bisa melihat A Fun, tapi vitrage di situ menutup pandangannya.
Min menjalankan dokarnya ke arah pasar, menjemput Mak Nyai Ngateni dan suaminya, mereka selalu menutup bedaknya sebelum Magrib.
*
"Adikku sudah datang, Min?" tanya Babah Foet Cong, suami Mak Nyai.
"Sudah, Juragan, dua orang. Lelaki seumuran Juragan, dan gadis kecil, lebih muda dari Sariah."
"Bagaimana kabar bapakmu, Min? Jadi menikah lagi bulan Besar nanti?" Mak Nyai ganti bertanya.
"Jadi, Mak Nyai ...,"
"Berarti kau bisa segera pindah tinggal di rumahku, kan?" Mak Nyai memastikan.
"Ya, Mak Nyai, setelah acara nikahan Bapak, saya boyongan. Tapi, status saya bagaimana, seperti Saiful, atau hanya langganan dokar dan tukang timba yang tidur dalam?"
"Telselah kamu, Min, enaknya bagaimana," jawab Babah, "kita mau kamu tidul di lumah supaya kamu tidak telat-telat lagi jemput ke pasal."
"Kalau jadi karyawan penuh seperti Saiful, siang kamu bantu di pasar saja, tidak usah narik dokar ...."
"Ya, Mak Nyai."
Penawaran ini sudah lama, Min menunda keputusannya karena tidak mau bapaknya tinggal sendirian setelah ibunya meninggal dua tahun sebelumnya. Rencananya pindah setelah bapaknya kawin lagi juga rencana lama, tapi pembicaraan hari ini beda, ada denyar di hati Min, membayangkan tinggal serumah dengan A Fun.
'Apakah aku jatuh cinta kepada perempuan Cina itu?' keluh hatinya sambil mengendalikan kudanya menarik dokar ke arah rumah besar di ujung jalan.
***
Surabaya, 19 Nopember 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TERLARANG
RomanceMin jatuh cinta kepada A Fun, istri majikannya. Hatinya berdarah melihat perempuan yang dicintainya diabaikan, ditinggal selingkuh, bahkan ditampar. Berniat ingin melindungi, cinta yang dipendamnya mendapatkan sambutan, dan mereka berdua menjalin ci...