Ngateni, seorang perempuan Jawa yang cantik. Tinggi semampai dan kulitnya putih, rambutnya ikal sepinggang, selalu dikonde sesuai dengan busana tradisional saat itu, kain batik dan kebaya. Almarhum suaminya tidak kaya, hanya mewariskan dua petak sawah, tapi penghasilannya cukup untuk hidup sederhana bersama dua orang anak, Ali dan Melati. Janda muda itu mengelola sawah dibantu adiknya, Tahar.
Banyak perjaka dan duda yang ingin mempersunting janda sintal itu, tapi Ngateni tidak tertarik, sampai ia bertemu Acong, salah satu buruh tani di sawahnya. Masa itu banyak orang Cina mengadu nasib ke Indonesia, mereka masuk sampai ke pelosok, mau bekerja kasar.
Siang itu Ngateni ke sawah mengantar makan siang untuk Tahar. Duduk di tepi dangau dengan kaki menjuntai digoyang-goyangkan, menikmati hembusan angin, menunggu adiknya menyelesaikan sedikit pekerjaannya.
"AAAAAA ...!"
Sawah sekitar dangau geger oleh teriakan kesakitan bercampur ketakutan, Ngateni diserang ular dan tangannya yang berusaha melepaskan belitan dipatuk.
Acong yang kebetulan berada di dekat situ, tiba paling cepat, dengan sigap mencekik leher ular itu, menggoroknya dengan belati yang ada di sakunya. Lalu tanpa permisi, ia memeriksa tangan janda itu, mengisap bisa dari luka gigitan ular tadi, sampai darah yang keluar berwarna merah segar, tak lagi kehitaman.
Ngateni tak sempat berpikir, semuanya terjadi begitu cepat, ia terpukau dengan kecekatan pemuda Cina itu menyelamatkan nyawanya.
*
Cinta pada ciuman pertama, walaupun kecupan bibir Acong hanya di tangan Ngateni. Dari insiden kecil itu mereka menjadi akrab, dan pemuda Cina itu melamar Ngateni, bermaksud menetap di tanah Jawa, menyuruh anak tunggalnya menyusul.
Umur Acong empat puluh tahun dan Ngateni dua puluh delapan tahun waktu mereka mulai hidup bersama, Ali dua belas tahun, serta Melati sepuluh tahun. Kenaikan pangkat dari buruh menjadi suami majikan memacu Acong bekerja lebih giat, menyerahkan urusan sawah kepada Tahar, dan merintis usaha dagang di pasar. Mereka berangkat gelap pulang gelap, maksudnya begitu rajin berkerja, berangkat sebelum matahari terbit dan pulang menjelang Magrib. Tidak butuh waktu lama mereka bisa membeli sebidang tanah dan membangun rumah sendiri, tak lagi serumah dengan Tahar, membeli lebih banyak sawah.
Bertambahnya harta menaikkan status sosial, pemuda bermarga Lie itu kemudian lebih dikenal sebagai Babah Foet Cong, tapi lidah Jawa yang medok menyebutnya Babah Pocong, dan Ngateni disebut sebagai Mak Nyai Ngateni.
Sementara itu, di Cina perempuan dianggap tidak berharga, biasanya mereka dijodohkan sejak bayi, dan langsung 'dijual' ke keluarga suami. A Fun adalah calon menantu Babah Foet Cong, tunangan She Jong – anak tunggalnya – datang bersama Foet Long – adik Foet Cong – yang juga ingin bekerja ke tanah Jawa.
**
"Apalagi alasanmu, Min?" tanya Bagong kepada anaknya.
Sudah empat kali ada yang orang terpandang di kecamatan itu ingin mengambil Min menjadi menantu, mereka terkesan kepada pemuda itu, bukan hanya sikapnya yang sopan, tapi juga wajahnya yang tampan dan kerjanya rajin.
"Aku tidak mencintainya, Pak."
"Apa itu cinta? Yang penting itu istri yang bisa mengurus suami dan anak-anak ..., buktinya tanpa cinta Bapak dulu hidup berbahagia dengan Ibumu, Le."
"Apa alasan Bapak memilih Mak Nom daripada perempuan lainnya? Min ingat waktu itu ada tiga orang yang naksir rikoh, Bulik Darmi malah lebih cantik."
"Darmi terlalu kurus!" Bagor tertawa, "Bapak gampang Le, takbayangno siji-siji, takpilih ndi sing isa nggarai ngaceng. Kubayangkan satu-persatu, kupilih yang bisa membuatku ereksi."
"Bapak mesum!" Min ikut tertawa, dibayangkannya Ningsih tersenyum malu setiap kali ke pasar berbelanja di bedak Mak Nyai. Diakuinya, anak Kyai Mojo itu cantik, bukit di dadanya menyembul di atas kutubaru kebayanya, betisnya ramping menggoda, karena ia selalu memakai kainnya agak tinggi, 'supaya leluasa bergerak', jelasnya suatu ketika menjawab pertanyaan Min.
Sayangnya hati Min sudah tertambat kepada A Fun, padahal perempuan Cina itu selalu memakai setelah baju lengan panjang dan celana panjang longgar, tapi yang terbayang di benak Min adalah kulitnya yang mulus putih. Beberapa kali Min melacur, dan selalu membayangkan meniduri istri majikannya itu.
"Sebelum menikah lagi, Bapak juga sering mbalon, melacur," Bagong masih berusaha membujuk putra tunggalnya, berbesanan dengan seorang kyai akan meningkatkan status sosialnya, "semua perempuan rasanya sama saja ... kalau kau mencintai seseorang, hal itu tak akan menghalangimu meniduri perempuan lain, dan setahuku, kau juga bukan pemuda alim, suka jajan juga."
"Nggih, Pak," Min tersenyum mengakui, "rasanya sama saja ... tapi, kalau aku menikah dengan Ningsih, kemungkinan kawin dengannya jadi tertutup."
"Siapa sih, gadis yang kaucintai?"
"Apun, Pak."
"Uhuk ... uhuk ...." Bagong terbatuk-batuk tersedak asap rokok daun kawung lintingan sendiri.
"Satu ...," setelah menenggak air dari kendi, Bagong memberikan wejangan, "apa yang kaulihat dari Apun? Matanya sipit tidak ada lipatan di kelopaknya, kulitnya putih pucat seperti mayat, dan sepertinya kurus kering, pakaiannya selalu kedodoran."
Min terdiam. Bagaimana ia menjelaskan kepada ayahnya, ia sudah melihat keelokan tubuh A Fun, pernah mengintipnya waktu mandi? Suatu malam ia pulang melacur lewat dekat jendela kamar majikannya, mendengarnya merintih-rintih, membuatnya pelan-pelan mencongkel jendela, mengintip A Fun berhubungan badan dengan suaminya. Setelah mereka selesai, ia keluar rumah lagi, menggenjot sepeda kembali ke kompleks pelacuran yang sama, mencari pelampiasan kedua.
"Dua, Apun itu istri majikan, Le, di luar jangkauanmu! Selain itu, apakah ia mau diajak selingkuh pribumi sepertimu?"
Mau! Hati kecil Min yang berteriak menjawab, tapi bibirnya terkatub. Suatu malam Min ke kamar mandi, didengarnya suara perempuan menangis di dekat sumur, hampir dikiranya suara kuntilanak waktu dilihatnya sosok itu tidak mengenakan rok putih panjang. She Jong – suami A Fun – pulang dalam keadaan mabuk dan memukulnya, mendorongnya keluar rumah dan menguncinya, ia menangisi nasibnya di dekat sumur jauh dari sanak saudara, tak punya tempat mengadu.
Waktu itu Sariah sudah menikah dan tinggal bersama suaminya, dan Saiful sedang pulang ke rumah orangtuanya. Min membukakan bekas kamar Sariah yang kosong, tapi A Fun menarik tangannya, tidak mau ditinggalkan sendirian di kamar yang asing baginya. Lebih dari menemani, malam itu Min mewujudkan impian, tidur dengan perempuan pujaannya. Sebelum yang lain bangun, Min pindah ke kamarnya, hanya mereka berdua yang tahu rahasia itu, dan rahasia malam-malam lain A Fun menyelinap ke kamar kosong di belakang.
"Kalau lelaki Cina bisa kawin dengan perempuan Jawa, mengapa aku tidak bisa kawin dengan Apun, Pak?"
"Maksudmu ...?"
"Babah Sejong sakit, kalau dia mati, Apun menjadi janda, aku mau kawin dengannya, Pak."
"Kau mau direndahkan?" tanya Bagong, "kawinlah dengan Ningsih. Kedudukanmu sebagai menantu Kyai Mojo membuatmu setara dengan keluarga Mak Nyai, kelak kau bisa melamar Apun jadi istri kedua ...."
"Matur nuwun sanget, Pak, terima kasih banyak." Min tersenyum, "aku mau kawin dengan Ningsih."
*
Setahun kemarin Min berhenti bekerja dari Mak Nyai Ngateni, menikah dengan Ningsih. Pencerahan dari ayahnya membuatnya bersemangat menapak masa depan, bersabar menunggu A Fun menjadi janda.
Hari ini ia tersenyum, ada dua kabar bahagia, Ningsih baru saja melahirkan anak pertama mereka, dan ia sedang berjalan ke rumah Mak Nyai, melayat Babah She Jong.
***
Surabaya, 20 Nopember 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TERLARANG
RomanceMin jatuh cinta kepada A Fun, istri majikannya. Hatinya berdarah melihat perempuan yang dicintainya diabaikan, ditinggal selingkuh, bahkan ditampar. Berniat ingin melindungi, cinta yang dipendamnya mendapatkan sambutan, dan mereka berdua menjalin ci...