3. SETAHUN KEMARIN YANG KELAM

3.4K 43 0
                                    

Min memandang A Fun yang duduk diam, sudah hampir setahun ini ia membawa perempuan yang dicintainya tinggal bersamanya, setelah melalui perdebatan sengit dan mengungkapkan rahasia perasaannya, kepada mertua A Fun.

Malam itu seharusnya ia datang, hujan lebat saja tak akan bisa menghalangi kepergiannya menemui A Fun, tapi Arum – keponakan istrinya – kesurupan, sehingga di malam buta ia harus membawanya ke rumah Kyai Mojo, mertuanya.

Sudah lewat tengah hari waktu ia mendengar kabar buruk itu, A Fun menjadi gila dan dipasung di rumah Mak Nyai Ngateni, rumahnya dijaga polisi, karena ada pembunuhan di situ. Hatinya masygul, tak mungkin perempuan berperangai halus tega membunuh, kecuali terpaksa. Korbannya seorang remaja bernama Max, ayahnya Belanda ibunya pribumi Jawa, teman sekolah Husen. Tak ada saksi, Husen menghilang, dan keempat saudaranya malam itu sedang menginap di rumah Mak Nyai. Tuduhan mengarah ke A Fun, tapi perempuan itu tidak bisa dimintai keterangan.

*

Waktu itu akhir tahun tigapuluhan, A Fun sudah lama menjanda, tapi selalu menolak lamarannya.

"Kelual dali lumah ini, aku tidak bisa membawa kelima anakku, aku tidak mau belpisah dengan meleka," kata A Fun sedih.

"Tinggalkan empat yang lain, bawa Husen saja, ia anakku, kan?" tegas Min menyebut nama anak nomor empat kekasihnya itu.

"Meltuaku tidak tahu Husen anakmu, tidak akan diijinkan ...."

A Fun dan kelima anaknya tinggal di rumah di dekat sungai, jembatannya sudah dibangun bagus sekarang, karena ada jalan makadam dibangun ke arah sawah, dan banyak rumah baru dibangun berjajar di tepi jalan itu. Rumah yang ditempatinya, awalnya menghadap sungai, sekarang pintu masuknya dari arah jalan, yang ke arah sungai dipagar tembok bata.

Melati dan Ali masing-masing dibuatkan rumah di bagian lain desa itu. Mak Nyai Ngateni sekarang tinggal di rumah yang lebih dekat pasar, di tepi jalan raya. Bagian depan rumah itu untuk toko, menyambung dengan tempat tinggal, bedak di pasar diurus suami Melati, sedangkan Ali mengelola sawah.

Sehari-hari janda itu hanya mengurus rumah dan anak-anak, belanjaan diaturkan oleh Melati, masalah menimba air, kayu bakar, minyak tanah untuk lampu tempel, dan keperluan rumah tangga lainnya diuruskan Ali. Sesekali anak-anaknya mendapat uang saku bila Babah Foet Cong mampir dari sawah, tapi A Fun tidak pernah menerima uang dari keluarga suaminya, uang sekolah anak-anaknya dibayarkan orang suruhan mertuanya langsung ke sekolah.

Husen matanya lebar, rambutnya ikal dan kulitnya lebih gelap, tapi secara keseluruhan ia mirip dengan ibunya, tidak menimbulkan kecurigaan karena penampilannya berbeda dengan keempat saudara kandungnya.

*

Sejak ikrar Sumpah Pemuda tersebar sampai ke pelosok, keadaan mulai tidak tenang, pejuang kemerdekaan sering membuat keributan, bergerilya. Banyak orang Belanda tinggal di Krebet, termasuk ayah Max, bekerja di pabrik gula, suasana menjadi tegang.

Malam itu Max menginap di rumah A Fun, ia dan Husen sudah lulus sekolah menengah dan akan berangkat ke Batavia, berlayar ke negeri Belanda untuk kuliah, ia ingin menjadi dokter.

A Fun sedang menyulam dan kedua anak muda itu sedang bermain catur waktu pintu depan digedor dengan kasar, di dalam hatinya bersyukur Min belum datang, tidak bisa dibayangkannya bila gedoran itu saat ia di kamar berdua sedang asyik-masyuk.

Yang datang empat lelaki mengaku pejuang, siangnya aksi mereka gagal, beberapa pejuang mati dalam serangan gerilya di Dampit, mereka menduga ada yang membocorkan rencana. Menuduh Husen karena punya teman bule, mereka bermaksud menangkapnya. Husen melawan, Max membelanya, dua lawan empat tentu tidak seimbang, apalagi penyerangnya membawa senjata tajam, Max jatuh memegang perutnya yang berdarah ditusuk belati.

"Husen! Lali ...!" A Fun berteriak melihatnya.

Pintu belakang yang tidak dikunci karena A Fun menunggu kedatangan Min, Husen keluar dengan cepat dan menghilang ditelan hujan dan gelap malam. Keempat penyerang yang kecewa berbalik ke arah A Fun, mengancam ....


Pagi harinya Melati yang datang mengirim belanjaan berteriak histeris, A Fun tergeletak di lantai telanjang tak sadarkan diri, di sampingnya Max mati bersimbah darah tanpa sehelai benangpun.

Polisi curiga tapi tidak bisa mengumpulkan fakta. Dugaannya bukan A Fun membunuh Max, karena tidak menjelaskan luka-luka bekas pukulan di tubuh pemuda indo itu. Tuduhannya mengarah ke Husen, tapi juga ada kelemahan, bila ia membunuh sahabatnya karena memergokinya memperkosa, mengapa tidak berusaha mengenakan pakaian ke ibunya? Saat itu hujan lebat, lebih mudah membuang mayat Max ke sungai, air hujang bisa menghapus jejak dengan mudah.

*

"A Fun tidak bisa ditemui, Min," Mak Nyai berusaha menghalangi, "ia kumat setiap kali didekati laki-laki pribumi."

"Saya ingin membawanya berobat ke mertua saya, Mak Nyai," jawab Min tetap menghormati bekas majikannya walaupun sekarang kedudukannya dapat dikatakan sejajar.

"Kalau ingin menolong, bawa Kyai Mojo ke sini."

"Mohon maaf, Mak Nyai, saya tidak berani memohon beliau berkunjung kemari."

"Jadi, lupakan saja niatmu," Mak Nyai menghela napas panjang.

"Ijinkan saya menemuinya, Mak Nyai."

"Untuk apa? Dan sudah kubilang tadi, ia kumat setiap kali ada laki-laki pribumi mendekat. Jangankan kamu, dengan Tahar yang keluarga saja ia tidak sudi ...."

"Ijinkan saja, Meh," Tahar menengahi, "mungkin Min punya pegangan yang bisa mengatasi kumatnya Apun."

Waktu Ngateni kawin dengan Acong, status lelaki Cina itu masih punya istri yang ditinggalkannya di tanah kelahirannya, karena itu anak-anaknya tidak diijinkan memanggilnya ayah, mereka memanggilnya asuk – paman – dan memanggil ibunya sukmeh – disingkat meh – artinya bibi. Panggilan ini meluas, semua kerabatnya ikut menyebut dengan panggilan itu asuk dan meh.

*

"Min! Min ...," A Fun melambaikan tangannya begitu melihat lelaki itu berdiri di pintu.

A Fun di tempat tidur, berusaha bangun, dan menarik kain menutupi bagian bawah tubuhnya. Dengan kaki dipasung, sulit mengganti pakaiannya, karena itu A Fun dipakaikan rok, tanpa pakaian dalam, bukan setelah baju dan celana panjang yang biasa dipakainya.

Min mendekat, duduk di ranjang, A Fun menghambur ke pelukannya, menangis dan memanggil-manggil namanya, tak ada kata-kata lain.

"Saya mencintai Apun, Mak Nyai," Min menjelaskan melihat bekas majikannya mengernyitkan kening.

Akhirnya Mak Nyai mengijinkan Min membawa A Fun, bahkan menyuruh Moi mendampingi ibunya.

*

Min belum membawa A Fun ke rumah mertuanya, Kyai Mojo sudah datang duluan.

"Maaf Pak, saya tidak meminta ijin Bapak membawa perempuan lain ke rumah," Min tertunduk malu, merasa tertangkap basah melakukan hal yang memalukan.

"Aku sudah tahu," jawab mertuanya pendek, lalu menikahkan mereka supaya tidak menimbulkan fitnah. Saat itu Ningsih sudah meninggal, anak-anak Min sudah berumah tangga dan punya rumah masing-masing, ia tinggal berdua saja dengan Arum, keponakan istrinya yang sudah dianggapnya sebagai putrinya sendiri.

Arum lebih muda dua tahun dari Moi, mereka cepat akrab.

Di rumah Min, A Fun tidak dipasung, tidak pernah mengamuk, tapi ia masih linglung, tidak menyadari sekelilingnya. Perempuan itu baru normal di malam hari, saat berdua bersama Min di kamar ....

***

Surabaya, 22 Nopember 2019

#NWR

CINTA TERLARANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang