5. KISAH KASIH YANG MELANGKAH PERGI

2.3K 45 7
                                    

Min sowan ke rumah Kyai Mojo, mertuanya, ia butuh pencerahan, sudah bersiap membuka aib, alasan tak merestui hubungan Husen dan Arum.

"Min!" Lelaki tua itu sedang duduk bersila di balai-balai teras depan rumahnya, ada secangkir kopi yang mulai dingin, dan peralatan mengunyah sirih dari kuningan.

"Kudengar usahamu semakin maju sejak Husen membantumu," kata Kyai Mojo sambil menyalakan sebatang rokok, menyorongkan kotak tembakau dan daun kawung ke arah menantunya, menyuruhnya melinting sendiri.

"Iya, Kyai, Husen rajin, cepat belajar, dan cekatan," ada rasa bangga mengucapkannya.

"Sayang kau tidak punya anak perempuan, pilihlah salah satu keponakan Ningsih, nikahkan dengan Husen, supaya ia bisa tetap di sini," Kyai Mojo meniupkan asap rokok, "kudengar usaha kakak-kakaknya di Magetan juga maju, aku kuatir ia akan ditarik ke sana ...."

"Wulan, Kyai, sudah cukup umur untuk dinikahkan ...," Nyai Mojo menimpali sambil menghidangkan secangkir kopi.

"Lah urusannya kan ruwet, kalau Wulan menikah dengan Husen," lelaki tua itu menggeleng-gelengkan kepala, "Wulan adikmu, lah Husen anak tiri Min, berarti cucu tiriku ...."

Ibu Ningsih sudah lama meninggal, Kyai Mojo menikah dengan istrinya yang sekarang sekitar tiga tahun sebelumnya, jauh lebih muda.

"Arum ...." Min mulai menyampaikan masalahnya, tapi keburu dipotong sang mertua.

"Ah ya, Arum! Tentang dia, aku mau minta Arum mendampingiku berangkat naik haji bulan depan," Kyai Mojo mengelus perut istrinya yang masih seumuran Arum, "Nyai sedang hamil, tidak bisa ikut."

Min menarik napas lega, zaman itu transportasi ke tanah suci hanya menggunakan kapal laut, tak ada pilihan lain, perjalanannya bisa sebulan, total tigabulanan Arum akan pergi. Min berharap perpisahan itu cukup lama untuk Husen berpaling ke perempuan lain.

*

"Pergilah!" Husen memeluknya suatu malam, tak ada orang lain di teras belakang rumah itu, hanya mereka berdua dan setan yang lewat, "aku akan menunggumu ... tak akan berpaling kepada perempuan lain ...."

Bulan purnama menjadi saksi waktu sepasang insan itu memadu kasih, semua penghalang disingkirkan, Arum mempersembahkan mahkotanya kepada Husen ... tapi ....

"Tidak!" Sebelum terjadi, Husen berhasil menguasai diri dari nafsu birahi, "Aku tak akan mengambil hakku, sebelum kita sah menghadap penghulu."

"Koh Husen ...," Arum malah kecewa dengan tindakan ksatria kekasihnya, "ambillah, sebagai ikatan di antara kita ... supaya aku bisa menolak seandainya ada yang bermaksud menjodohkan dengan yang lain."

"Tidak, Arum," katanya lembut, "kalau kita berjodoh, pasti ada jalannya untuk bersatu ... aku tak ingin mengambilnya sekarang ... supaya bila akhirnya takdir membawamu bersanding dengan lelaki lain, suamimu tidak memandang rendah kepadamu, karena kau dianggapnya tak bisa menjaga kesucian."

Arum terharu, menangis di dada Husen.

"Aku beruntung, ngkoh Husen ... lelaki lain tak akan menolak mengambil mahkotaku. Aku akan menunggu ngkoh melamarku ...."

*

Seorang yang berangkat, satu truk yang mengantar. Jaman itu bus masih sedikit, Kyai Mojo menyewa praoto (= truk) untuk mengantarnya ke pelabuhan Tanjung Perak, sekalian dengan pengantarnya.

Mereka berpisah dengan pengantar di sebuah gudang besar.

"Mana kapalnya, Pak Min?" tanya Husen memandang Arum dan Husen menghilang di tengah kerumunan antrian masuk.

"Calon jemaah haji akan melewati pemeriksaan khusus di dalam situ, aku juga tidak tahu kapalnya yang mana?" jawab Min melihat beberapa kapal besar di kejauhan.

Husen berjalan gontai bersama para pengantar lain, gudang itu lokasinya agak jauh dari dermaga, tapi tak mungkin mereka menunggu sampai selesai pemeriksaan dan Kyai Mojo berdua Arum masuk ke kapal. Jangan dibayangkan seperti adegan keberangkatan kapal Titanic di film yang dibintangi Leonardo di Caprio.

Naik ke praoto, duduk di depan bersama Min, pulang ke Malang, separoh jiwa Husen ikut melangkah pergi bersama Arum.

"Kau suka Arum?" tanya Min di perjalanan.

"Iya, Pak Min,"

"Cari perempuan lain saja, Arum sudah dijodohkan, begitu kata Kyai Mojo kemarin."

Husen jadi menyesal, seharusnya ia menuruti permintaan Arum, mengambil mahkotanya, agar mereka bisa bersama. Hatinya patah.

*

Kabin Arum bersebelahan dengan Kyai Mojo, mereka berada di kabin dengan kapasitas empat orang. Arum sudah memilih ranjang di bawah, tapi kemudian mengalah kepada seorang perempuan tua. Nurul sangat berterima kasih, langsung menyukai Arum, memperkenalkannya kepada putranya, Matdrai, mereka tinggal di Sampang.

Matdrai jatuh cinta kepada Arum, dan dengan restu Kyai Mojo, mereka menikah di Mekkah.

*

Kembali dari ibadah haji, Kyai Mojo merayakan pernikahan Arum dan Matdrai, kemudian tinggal di rumah Kyai Mojo, Matdrai membantu kakek istrinya mengurus sawah. Min lega dengan pengaturan itu, tidak kuatir Husen melakukan tindakan nekat.

Husen menyimpan kepahitan di dalam hati, di wajahnya ia menunjukkan ikut senang dengan pernikahan Arum. Tidak demikian dengan Samsul, setelah melaporkan hubungan Husen dan Arum ke Min, pemuda itu senang Arum ikut naik haji bersama Kyai Mojo, dipikirnya ia sudah berhasil memisahkan sejoli itu. Ayah Samsul pernah melihat perkelahian seorang pemuda Cina yang baru turun kapal dikeroyok beberapa perampok, pemuda itu membuka ikat pinggangnya, ada pedang tipis di dalamnya, yang berubah menjadi senjata kaku di tangannya, membuat para perampok lari tunggang langgang. Cerita ini yang membuat Samsul jerih bersaing dengan Husen, dikiranya pemuda itu sakti seperti tokoh yang diceritakan ayahnya. Dengan Matdrai ia lebih berani, sesama pribumi ia tidak gentar.

Kesempatannya datang suatu siang, Arum ke sawah mengantar makanan untuk suaminya. Samsul yang bekerja di sawah Min yang bersebelahan dengan sawah Kyai Mojo melihatnya, diarahkannya pandangan ke sekitar, tidak melihat kehadiran Matdrai, ia menyusul gadis itu ke dangau.

"Arum," sapanya, "kau semakin cantik sejak menikah."

"Samsul," Arum memandang ke sekeliling, berharap suaminya segera datang, tidak enak berdua dengan pemuda yang sering meliriknya, "lihat cak Mat?"

"Lupakan Mat, kita ngobrol dulu sebentar, aku kangen."

"Lancang!" Arum beringsut menjauh.

"Mengapa, Arum? Sejak dulu kau selalu menghindariku, padahal Husenpun kauijinkan memelukmu."

Saat itu Matdrai menoleh ke arah dangau, melihat Samsul mendekati istrinya. Dibakar cemburu diraihnya celurit dan berlari mendekat, tanpa ba bi bu dikoyaknya perut Samsul, pemuda itu mati mengenaskan dengan usus terburai.

Sawah geger! Polisi datang, Matdrai dipenjarakan.

***

Surabaya, 26 Nopember 2019


CINTA TERLARANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang