"Bisa tapi susah"
"Susah tapi bisa"
Itu kata-kata yang didengungkan di acara motivasi yang biasa aku ikuti. Sekarang itu sudah basi. Menurutku kedua kalimat itu sama saja. Intinya sama. Sama-sama bagus, biar kita gerak langsung--gak pake lama. 'Bisa tapi susah' itu maksudnya biar gak nggampangin. Ketika kita menganggap suatu hal itu bisa, kesannya cenderung mudah, kita akan cenderung meremehkan, menunda... menundanya entah sampai kapan gak jelas. Bahkan bisa terlupakan--kalau ingat juga sudah malas memulainya. 'Susah tapi bisa' itu maksudnya biar kita tidak pesimis amat ketika tahu 'susah'--tahu betapa susahnya melakukan ini itu. Karena bagaimana pun 'kan bisa. Jadi pernyataan yang tepat sesungguhnya adalah 'bisa tapi mau gak?'
Sekarang aku akan menggunakan sudut pandang orang yang baru berbisnis untuk melihat tingkat kemudahannya. Tentu tak diragukan lagi, kalau yang baru merintis bisnis pasti ada rasa ragu dan takut rugi. Tak apa, itu hal biasa. Terus jadinya orang itu belajar bisnis. Alasan belajar bisnisnya ya biar gak rugi waktu bisnis.
Terus waktu belajar dia menemukan teori strategi pemasaran 4P (milik Jerome McCarthy), yang adalah Product, Price, Place, dan Promotion. Teori itu sah-sah saja dan benar juga. Tetapi sayangnya untuk beberapa orang di zaman now, itu tidak relevan (menurutku). Mungkin karena kecanggihan teknologi sekarang yang apa-apa serba cepat atau instan. Dan beberapa orang merasa cepat dan instan harus bisa mereka rasakan juga dalam memulai bisnis. Bisa cepat bisnis. Bisa cepat balik modal. Bisa cepat untung. Bisa cepat kaya.
Ah, boro-boro cepat mulai bisnis, lihat modal yang diperlukan banyak aja ia (yang baru mulai bisnis) langsung 'ah gak jadi deh' sebabnya butuh uang untuk ini itu-ini itu. Ngumpulin duit buat modalnya lama, balik duitnya apa bisa cepat? Apa betul bisa untung? Orangnya jadi tambah ragu, atau mungkin nyeletuk, 'mending kerja, gajinya kapan dan berapanya jelas'.
Rumus 4P itu tidak berlaku untuk orang yang otaknya tercemar dunia serba instan--yang banget-banget. Prinsip 4P itu malah membikin orang jadi berlapis-lapis dalam beralasan--'aku harus punya produk dulu, baru kasih harga, cari tempat, terus promosi... eh kok lama ya, kapan untungnya? gak jadi ah.' Jadi intinya memang tetap 'bisa tapi mau gak?' Sekarang yang kita butuhkan adalah cara termudah, tercepat, cara yang membuat kita tidak banyak beralasan lagi untuk bergerak.
Beberapa minggu lalu aku mengikuti seminar bisnis dan nonton-nonton video YouTube soal bisnis (uang memang judul yang sangat klikbet, celer! aku kepincut). Dan di situlah aku menemukannya.
Saat itu aku menonton videonya Arli Kurnia yang mengupas bagaimana Sahabat Abdurrahman bin Auf berbisnis tanpa modal dalam arti uang (atau lebih tepatnya tanpa mau dikasih modal). Beliau hanya menanyakan satu hal ketika sampai di kota tempatnya hijrah. Satu hal yang paling dibutuhkan untuk bisnis, yaitu 'di mana pasarnya?' Kemudian beliau ke pasar dan mencari orang yang sedang mencari unta untuk dibeli. Dan singkat cerita ia dapat dan melakukan akad jual-beli. Lalu ia pergi ke hutan untuk mencari unta. Singkatnya ia sukses dapat unta. Sederhana 'kan?
Dan ini ada lagi nih, kisah nyata yang diceritakan di acara seminar bisnis yang aku ikuti. Kalau ini kayak ngawur saja sih sebenarnya. Tapi ngawur karena benar--bukan sembarangan ngawur.
Suatu ketika ada orang mau merintis usaha gym. Sebut saja namanya Jodi. Jodi melakukan cara 4P secara lengkap dengan tanpa modal uang. Pertama Jodi mencari tempat yang cocok, yang letaknya di pinggir jalan besar. Ketika dapat, dengan tanpa ragu ia telpon nomor yang terpampang di garasi ruko ini. Padahal jelas-jelas ia tak punya uang untuk sewa ruko. Jodi mengajak orang itu ketemuan di lokasi ruko. Dan negosiasi pun terjadi face to face di lokasi ruko.
"Pak harganya berapa?"
Lalu pemilikinya menyebutkan angka yang besar.
"Bisa kurang gak, pak?"
"Oke saya turunin jadi sekian,"
"Kurangin lagi dong, pak,"
"Gak bisa mas, maaf,"
Diam sejenak, "ngomong-ngomong bangunan ini sudah berapa lam tidak dipakai pak?" tanya Jodi.
"Sudah sekian tahun mas,"
"Wah, sayang ya pak gak ada yang make. Gimana kalau gini saja pak. Tempat ini saya buat usaha, ntar omzetnya sekian persen buat bapak. 'Kan sayang pak kalau gak dipakai. Kalau saya pakai mungkin bapak bisa dapat uang lebih daripada harga sewa bulanannya ruko ini."
"Hhmm... gimana ya,"
Setelah berpikir cukup lama bapak itu akhirnya menyetujui kerja sama dengan Jodi.
Setelah tempat sudah dapat, Jodi cari alat dan mesin gym untuk dijasakan. Dan dengan cara yang sama ia mendatangi toko alat-alat gym dan pemiliknya pun setuju--mungkin karena sudah adanya tempat ruko yang strategis--yang dikirinya adalah milik Jodi sendiri.
Di bulan pertama buka ia menggratiskan orang-orang untuk latihan di gymnya sebagai promo. Namun dengan syarat membawa motor. Itu dimaksudkan agar tempat gymnya tampak ramai terus. Seiring berjalannya waktu, singkat cerita, gymnya Jodi kian ramai. Sehingga Jodi tak mengecewakan pemilik ruko dan pemilik alat gym. Jodi pun mendapatkan banyak profit.
Sederhana 'kan? Jadi intinya memang tetap 'bisa tapi mau gak?'
Oi! jangan cari-cari alasan lagi. Aku tak peduli alasan seperti belum siap mental, psikologis dan semacamnya. Intinya mau gak jadi pengusaha? Mau beneran tidak melakukan apa yang kamu mau? Jawaban teriakkan maumu pun aku tidak peduli. Lebih baik gerakanmu seolah jelmaan dari teriakkanmu, kesungguhanmu.
28 Oktober 2019
YOU ARE READING
#EsaiAkuKita
NonfiksiMungkin ini bukan esai tapi aku menyebutnya 'esai'. Buku ini berisi tulisan-tulisanku soal sosial, budaya, motivasi, yang berkaitan dengan kehidupan zaman sekarang. Tentunya dengan bahasa versi aku sendiri. Tulisan ini sebelumnya pernah aku share di...