Perkembangan dunia yang pesat dan hebat ini apa betul-betul bagus atau untung buat kita? Jujur aku tak mengerti jawabannya. Tapi aku akan menyelidikinya. Karena yang kulihat sekarang adalah manusia yang... yah 'begitu-gitulah'. Tapi ya entah juga, barangkali memang paradoks dari suatu fenomena atau yang baik selalu hanyalah sebagai minoritas. Atau mungkin prasangka jelekku saja yang membikinku peka terhadap info-info jelek—atau malah aku yang menariknya datang untuk aku ketahui? Ya mungkin yang terakhir itu benar. Sebab sampai saat ini aku masih bergulat dengan pikiran jelekku terus—pikiran yang mendorongku malas berkreasi menghasilkan sesuatu.
Oke aku selidiki. Globalisasi atau proses pembaruan menjadi kesatuan yang meliputi wilayah seluruh bumi, banyak diperankan oleh internet. Dan kini internet semakin canggih. Hampir segala hal jadi mungkin. Bahkan dengan rebahan pun aku bisa dapat macam-macam. Bukan karena malas tapi 'kan memang hampir semuanya bisa dilakukan sambil rebahan. Hehehe (dasar pemalas banyak alasan!). Termasuk dalam hal pertukaran atau pengenalan nilai-nilai pemikiran, pandangan, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Kita dapat mengetahui soal negara luar dengan mudah, bahkan dikemas rapi banget. Contohnya film. Saking bagusnya kemasan film, kita jadi penasaran dan ingin lihat. Lagipula kita butuh hiburan juga 'kan? Dan sekarang film-film Barat, Korea, Jepang, Thailand dan lain-lain mudah kita akses, baik yang berbayar mau pun yang 'titik-titik'—karena kita senang film, bahkan saking senangnya atau saking butuhnya kita jadi membajak. Wkwkwk.
Bukan hanya itu saja, kita jadi ingin seperti halnya yang ada di film-film, dari segi fashion, pemikiran, budaya, dan lain-lain. Hal demikian terjadi karena hal itu masuk ke dalam alam bawah sadar (cielah) dengan cara yang manis lewat hiburan. Nilai-nilai budaya mereka tertanam ke diri kita tanpa kita sadari. Maka tak heran lagi bila kita memiliki patokan keren yang baru—yang katanya kekinian—kalau kataku 'kekonoan' (ke-sana-an) sebab 'sana' yang jadi patokan kita. Sana yang jadi role model, figur bagus yang patut ditiru. Semakin mirip dengan pakaian, gaya, ini-itunya dengan mereka berarti tambah keren. Dan ditambah semakin mudah akses impor pakaian luar, kita jadi semakin mudah meniru mereka, jadi semakin mudah untuk keren kekinian atau 'kekonoan'. Herannya lagi, jika tidak bisa beli pun—mungkin karena kemahalan—dengan nekatnya kita membuat tiruan pakaian sana. Wkwkwk. Karena sudah terlanjur digemari orang-orang. Parah!
Jadi sekarang kita lebih gemar mengenakan produk-produk luar. Kita bahkan juga bangga memakainya. Lain halnya ketika kita melihat orang luar, atau bule, kita malah bangga. Lho? Yang memakai mereka kenapa kita yang bangga/senang (sebenarnya gak pa-pa juga bangga tapi jangan kagetanlah, biasa saja)? Bukankah ketika kita pakai punya mereka kita bangga? Kenapa malah kebalik, ketika bule pakai batik, batiknya jadi keren? Batiknya terangkat nilainya ketika dipakai bule? Bahkan katanya, kalau foto produk itu harusnya pakai bule biar bagus, biar klikbet, biar laku keras. Lho gimana sih? Apa tidak kebalik, batiknya yang buat bulenya jadi keren? Itulah akibat dari globalisasi. Atau mungkin tepatnya masuknya nilai-nilai budaya (dan sebagainya) yang datang dari luar tanpa penyaringan yang ketat. Semua diterima di sini (ya tentu kecuali narkoba, bom, hewan dilindungi dan semacamnyalah).
Akhirnya tradisi, budaya, produk asli Indonesia malah menciut dan melemah serta tergantikan produk luar. Orang Indonesia sendiri barangkali lupa dengan ke-indonesia-annya. Atau ada yang kurang suka dengan ke-indonesia-annya secara terkatakan atau tak terkatakan. Nyatanya ada orang yang bersedia jadi advokat marketing (orang yang promoin produk dari mulut ke mulut dengan tanpa dibayar karena produknya bagus menurutnya) produk luar. Dan ada orang yang tak keberatan membeli produk luar dengan harga mahal. Tapi ada orang yang berat sekali rasanya membeli produk lokal, asli, khas Indonesia dengan harga yang sama, kualitasnya juga tidak kalah bagus. Kayaknya dengan harga yang lebih murah pun mereka mikir-mikir juga. Intinya orang mulai tidak percaya diri memakai produk asli Indonesia. Padahal itu adalah produk yang pasti kita pakai jika tidak ada globalisasi yang hebat ini. Mungkin ada yang menganggap itu ndeso. Padahal kita semua—kakek nenek leluhur kita berasal dari desa. Kenapa yang dari luar terus numpang ke sini kita puja-puja dan puji-puji? Kita tinggal di rumah tapi ingin seperti tamu? Tamu adalah keren? Kita jadi tuan rumah 'rasa tamu' gitu? Ya, sekali lagi, itu semua bisa terjadi karena globalisasi tanpa penyaringan yang ketat.
Coba kita lihat orang luar. Negara Amerika membatasi dan menyaring produk dari luar. Biar produk lokalnya tidak kalah saing dan bisa berkembang sehingga bisa lebih mandiri dalam mencukupi kebutuhan di negaranya. Cina lebih banyak yang pakai WeChat (produk lokalnya) dibanding WhatsApp. Beberapa negara lain juga melakukan hal semacam ini. Ini belum menyoalkan kualitas ya, ini soal kemandirian. Kalau mau bicara kualitas sebetulnya bisa juga sih, kita bisa lihat, jersey Manchester United yang dijual di Old Trafford itu buatan Indonesia (aku tahu dari ceritanya Pandji Pragiwaksono), sepatu-sepatu Nike dan Adidas yang dijual di Jepang itu banyak yang made in Indonesia (tahu dari vlog-nya orang Indonesia di Jepang—lupa siapa). Sedangkan di Indonesia kebanyakan made in China, Vietnam, dan tetangga-tetangganya, jarang yang made in Indonesia. Hmm... kenapa ya?
Sebenarnya semua itu boleh-boleh saja. Tapi 'kan semua ada kapasitasnya, ada batasnya. Yang namanya berlebihan tidak ada yang bagus. Jadi kita harus sedikit lebih kritis dalam menyikapi ini. Setidaknya mari kita mulai dari diri sendiri dulu. Sadarilah hal semacam ini, jati diri kita sebagai orang Indonesia. Kita jangan hanya bangga dengan warisan leluhur kita. Tapi buatlah mereka bangga. Wong jowo kudu njowoni. Orang Indonesia harus ngindonesiani. Budayakan budaya Indonesia. Jika masyarakat Indonesia mulai sadar dan percaya diri dengan budayanya, produk lokalnya, Insya Allah usaha-usaha produk lokal bisa tumbuh pesat dan meluas. Kemudian kita bisa jadi negara yang mandiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/206658323-288-k377361.jpg)
YOU ARE READING
#EsaiAkuKita
NonfiksiMungkin ini bukan esai tapi aku menyebutnya 'esai'. Buku ini berisi tulisan-tulisanku soal sosial, budaya, motivasi, yang berkaitan dengan kehidupan zaman sekarang. Tentunya dengan bahasa versi aku sendiri. Tulisan ini sebelumnya pernah aku share di...