BAGIAN 7

871 37 0
                                    

Pagi baru saja menyingsing. Seekor kuda putih berlari cepat membelah jalan besar berdebu. Kuda yang dipacu bagai dikejar setan itu membuat debu membumbung tinggi ke udara. Pagi yang masih berkabut itu berubah menjadi gaduh oleh derap kaki kuda putih. Penunggangnya seorang pemuda berwajah cukup tampan mengenakan baju ketat berwarna putih.
Penunggang kuda itu mengarahkan lari kudanya menuju sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan kokoh. Tampak di depan pintu gerbang yang terbuka lebar, dua orang berseragam prajurit membungkukkan tubuh ketika kuda putih itu melewatinya, menerobos masuk tanpa mengurangi kecepatan larinya.
"Hup!"
Penunggang kuda putih itu langsung saja melompat turun sebelum kudanya berhenti berlari. Ringan sekali lesatannya, pertanda memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dengan langkah lebar dan tergesa-gesa, pemuda berbaju putih ketat itu memasuki bangunan besar yang ternyata merupakan sebuah istana yang sangat megah.
Beberapa orang berseragam prajurit yang berpapasan, langsung membungkukkan tubuh memberi hormat. Pemuda itu tidak menghiraukan sama sekali, dan terus saja melangkah cepat melintasi ruangan depan yang cukup besar beralaskan permadani tebal berwarna merah. Dia terus saja menerobos masuk ke dalam ruangan tengah yang lebih besar dan lebih indah lagi.
Tampak di ruangan tengah itu berkumpul beberapa orang. Mereka menghadap ke arah seorang laki-laki setengah baya yang duduk di kursi indah berukir, berlapiskan emas dan bertahtakan batu-batu permata. Pemuda berbaju putih itu bergegas menghampiri setelah memberi hormat dengan setengah membungkuk dan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Semua orang yang ada di ruangan itu memperhatikannya.
Pemuda itu berdiri di depan laki-laki setengah baya yang duduk angkuh di singgasana, didampingi seorang wanita berparas cantik. Pakaiannya merah ketat dan agak tipis, sehingga membentuk lekuk tubuhnya yang indah.
"Ada apa, Naga? Kenapa kembali seorang diri?" berat suara laki-laki setengah baya yang duduk di singgasana itu.
"Ampunkan hamba, Kakang Prabu Cakraningrat Hamba terpaksa kembali sendiri, bukan karena gagal melaksanakan tugas. Tapi ada yang lebih penting hendak hamba sampaikan," sahut pemuda berbaju putih itu yang dipanggil Naga.
"Hm..., katakan," pinta Prabu Cakraningrat.
"Kakang Prabu, hamba telah menemukan Ayu Nerang dan Patih Kumbayana. Mereka ada di Lereng Gunung Antang. Tapi...," Naga menghentikan kata-katanya.
'Teruskan, Naga," pinta Prabu Cakraningrat
"Hamba berhasil menewaskan Patih Kumbayana. Tapi, Ayu Nerang berhasil lolos karena ditolong seseorang. Hamba berusaha mengejar. Dan ternyata persembunyiannya di Desa Antang, tidak jauh dari Desa Muara, Kakang Prabu. Hamba sudah berusaha merebut kembali Ayu Nerang, tapi orang itu sangat tangguh. Terlebih lagi, kelihatannya seluruh penduduk desa itu melindunginya," kata Naga.
"Ki Bawung...," desis Prabu Cakraningrat. "Dia memang selalu setia pada Kakang Natayuda. Terlebih lagi Ki Randung, Kepala Desa Muara yang juga Guru Besar Padepokan Muara."
"Kakang Prabu, selama ini hamba juga menyelidiki kalau kedua desa itu menampung para pelarian. Dan hamba juga tahu kalau Desa Antang selalu bermusuhan dengan Kaum Pemuja Setan yang tinggal di Gua Lorong Angin. Hamba sudah membuat sebuah malapetaka besar bagi Desa Antang, Kakang Prabu," sambung Naga.
"Hm, apa itu?"
"Hamba berhasil membunuh Ratu Lereng Antang dengan meminjam tombak dari Padepokan Muara. Dengan demikian hamba yakin, Kaum Pemuja Setan akan menyangka kalau Desa Antang dan Desa Muara bersatu hendak meruntuhkan mereka."
"Ha ha ha...!" Prabu Cakraningrat tertawa terbahak-bahak mendengar laporan pemuda berbaju putih itu.
Pemuda itu hanya tersenyum saja, dan sempat melirik orang-orang yang berada di ruangan itu. Mereka semua hanya diam sambil menundukkan kepala. Tapi pemuda berbaju putih itu tidak menghiraukannya, meskipun bisa merasakan kalau semua orang di ruangan ini tidak menyukai Iaporannya. Baginya, yang terpenting adalah Prabu Cakraningrat menyukainya. Pemuda itu juga melirik ke arah wanita cantik di samping Prabu Cakraningrat. Wanita itu hanya tersenyum disertai wajah cerah dan sinar mata berbinar terang.
"Bagaimana hasilnya, Naga?" tanya Prabu Cakraningrat setelah tawanya berhenti.
"Hamba tidak tahu, Kakang Prabu. Karena hamba langsung ingin memberitahukan hal ini. Tapi...," kembali Naga memutuskan kata-katanya.
"Ada apa lagi, Naga?"
"Di tengah jalan, hamba melihat Ayu Nerang bersama monyet keparat itu, Kakang Prabu," sambung Naga. "Siapa?"
"Orang yang Kakang Prabu mintai tolong membawa Ayu Nerang ke sini," terdengar dingin nada suara Naga. "Rangga, maksudmu?" Prabu Cakraningrat terlihat terkejut.
"Benar! Dialah yang juga menghalangiku membawa Ayu Nerang waktu di Desa Antang."
"Rangga...," desis Prabu Cakraningrat.
"Di mana kau melihatnya?"

31. Pendekar Rajawali Sakti : Kaum Pemuja SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang