Prolog

12 3 0
                                    

Hari itu hujan turun membasahi jalanan yang kering karena jarang disapu air. Tetapi tidak membuat para kerabat dan tetangga Sanya mengurungkan niat mereka untuk mendatangi rumah wanita muda itu.

Satu-persatu dari mereka menyalami dan memberi kata-kata penyemangat yang diterima oleh Sanya dan anaknya, Qillia, yang masih berumur lima tahun.

Sebenarnya Qillia sedari tadi sudah bingung karena rata-rata para tamunya memakai pakaian kurung serba hitam. Belum lagi ayahnya tertidur di tengah-tengah ruang tamu dengan badan yang tertutup kain batik dan selendang putih tipis, padahal kan mereka sedang banyak tamu. Lalu dia juga melihat ibunya yang berusaha menahan tangis.

Rasa penasarannya sudah tidak terbendung lagi, akhirnya gadis kecil itu menggoyangkan tangan ibunya yang sedang termenung, membuat ibunya menoleh kearahnya.

Dengan wajah polosnya itu dia bertanya, "Ma, kenapa Papa tidur disana? Kita kan lagi banyak tamu."

Mendengar pertanyaan polos itu membuat Sanya semakin terisak. Dipeluknya anak semata wayangnya itu dengan erat. Bagaimana dia harus menjelaskan keadaan yang tengah mereka hadapi saat ini?

Dengan tangan gemetar, Sanya menangkup pipi tembem anaknya dengan lembut, "Papa nggak akan bangun lagi. Sekarang kita tinggal berdua, sayang." Suaranya bergetar saat menjelaskan hal itu.

Qillia masih tidak paham. Dia mengerucutkan bibirnya, "Kok gitu?"

"Papa enggak bisa bangun lagi..." Ulang Sanya, mencoba untuk tegar.

Qillia perlahan-lahan mencerna ucapan ibunya. Jadi...ayahnya tidak akan bangun lagi? Lalu siapa yang akan bermain dengannya? Lalu siapa yang akan menjaganya? Dan juga bagaimana caranya mereka bermain ke taman bermain yang dijanjikan ayahnya beberapa hari lalu?

Qillia berlari ke jasad sang ayah. Gadis kecil itu mulai menangis meraung-raung, sambil terus mengulang kalimat yang sama.

"Papa! Ayo bangun! Kita kan mau main! Masa Papa tidur, sih! Katanya mau main sama Chilli! Ayo, Pa! BANGUN!"

Air mata semakin deras turun melewati pipi Sanya. Dia bahkan tidak mampu untuk menenangkan putri kecilnya. Seseorang memeluknya. Wanita itu tidak menoleh karena tahu siapa yang tengah berusaha menenangkan dirinya saat ini.

"Ana..." Panggilnya kepada sang sahabat yang tengah memeluknya dengan suara parau. Mengisyaratkan dengan jelas betapa menderitanya dia saat ini.

Ana, wanita yang sedang bersama suami dan anak laki-lakinya hanya mengangguk sambil terus mengelus punggung Sanya. Lalu pandangannya jatuh pada anak perempuan yang tengah mencoba membangunkan ayahnya yang tentu saja tidak bisa bangun lagi. Hatinya terenyuh melihat itu. Anak kecil itu pasti tidak mengerti seperti apa kondisi saat ini.

Ana menatap anaknya yang juga teryata memperhatikan anak perempuan itu. Dengan senyum lembut khas seorang ibu, wanita itu menyuruh anaknya pergi menemani Qillia.

Qillia masih terus menangis sambil menggoyang-goyangkan tubuh sang ayah yang sudah tidak bernyawa. Dia akhirnya berhenti karena sebuah tangan kecil menepuk pundaknya.

"Hey," panggil anak laki-laki yang menepuk pundaknya.

Qillia menoleh menatap anak itu sambil mengelap ingusnya ke baju yang dia pakai, "apa?"

Anak laki-laki itu menatapnya datar, lalu mendengus pelan. "Mama suruh aku main sama kamu."

Mendengar kata main, Qillia sempat tertarik. Tetapi dia kembali ingat akan ayahnya.

"Nggak mau. Papa lagi tidur, Chilli mau main sama Papa aja."

"Aku yang bakalan gantiin Papa kamu. Jadi kamu main sama aku aja." Jawab anak itu dengan tenang.

"Benar?" Tanya Qillia dengan riang.

Qillia menatap anak didepannya dengan penuh minat. Dia pun menggandeng tangan anak itu dan pergi ke kamarnya untuk bermain. Sesaat dia melupakan kesedihannya yang belum dia pahami apa artinya.

Disaat mereka sedang bermain Qillia teringat kalau dia belum tahu siapa nama anak laki-laki yang sedang bermain boneka dengannya itu.

"Nama kamu siapa?"

Anak itu berhenti bermain dan menatap Qillia dengan raut datarnya.

"Alca,"

***

Beberapa bulan telah berlalu semenjak hari itu. Beberapa kali setiap bulan pula Alca beserta kedua orang tuanya pergi mengunjungi rumah Qillia ataupun sebaliknya.

Dan seperti biasanya Alca kecil yang sedang bosan pasti hanya akan menatap datar televisinya yang menyalakan sebuah tayangan kartun yang telah diulang entah berapa kali itu.

Derap langkah kaki terburu-buru yang sangat terdengar itu membuat Alca menatap pintunya. Dalam hati dia bertanya-tanya siapakah yang datang?

Tapi dia tidak begitu heran bila pintu ruang keluarganya di buka dengan kasar. Dia sudah bisa menebak siapa itu. Itu pasti...

"ALCA!"

"Hai Chilli," balas Alca datar. Itu sudah biasa. Setiap Qillia datang, anak itu pasti akan berteriak dengan suara cemprengnya dan pasti akan membuka pintu tanpa mengucap salam.

Ya, Alca pun sudah biasa menatap semuanya dengan datar. Tapi perkataan yang keluar dari bibir mungil Qillia membuat Alca, untuk pertama kalinya, menatap anak perempuan itu dengan kaget. Bahkan matanya melotot tak percaya.

"Mulai sekarang Chilli tinggal dekat Alca!! Kita main sama-sama terus ya! Alca udah janji!! YEAYY!!!"

***

Minggu,
24 November 2019

My GOBS NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang