Masalah

2.4K 292 50
                                    

"Mana putra saya?"

Jeno terkejut, mata ngantuknya menjadi terbuka lebar. Gagap. Kaget. Bingung. Bercampur jadi satu hingga bikin Jeno diam di tempat. Kedip. Tidak menjawab.

"Malah diam!" Wanita di hadapannya kembali berteriak, lebih garang. "Di mana anak saya?! Di mana Jaemin?"

"Jaemin.. itu..." Jeno benar-benar gagap. Jantungnya bertalu cepat. Dia ga pernah segagap ini jawab pertanyaan orang lain. Otaknya blank. Tiba-tiba aja lupa tadi Jaemin bilang mau ke mana.

"Mama?"

Nah. Suara Jaemin masuk. Mereka berdua sontak noleh ke arah asal suara. Jaemin berdiri di depan pintu kamar mandi. Handuk terlilit di atas pundak, pakai baju kebesaran milik Jeno dan celana pendek punya Jeno pula. Rambutnya masih basah, tetesan air turun dari jambang rambut Jaemin.

Raut wajah wanita di hadapan Jaemin mengeras, jari-jarinya mengerat ketika matanya memandangi putranya sendiri, lebih marah dan sedih ketika melihat ruam di leher Jaemin; banyak, jelas bukan gigitan nyamuk, dan jelas itu adalah perbuatan Jeno.

"Ayo pulang." Ajak wanita itu, suaranya melembut, tapi penuh amarah. Dia menolak menatap Jaemin, hatinya kecewa. Berdenyut nyeri.

Jaemin diam. Ga bergerak nurutin kemauan Mama-nya. Dia malah natap Jeno yang langsung kasih senyum pahit sambil nyuruh Jaemin pulang dengan tatapannya.

"Aku ga mau." Jaemin menjawab, tidak perduli dengan pelototan Jeno yang kaget mendengar jawaban Jaemin. "Aku mau sama Jeno."

Mama-nya tarik nafas keras, natap langit-langit kosan Jeno yang rendah lalu geritin gigi.

"Ayo pulang." Ajaknya lagi, masuk selangkah ke kamar kosan Jeno, dia tarik nafas. Makin maju, lalu ambil lengan Jaemin. "Ikut Mama, kita pulang."

"Ga mau!" Jaemin bersikeras, tahan badannya dari tarikan Mamanya.

"Sejak kapan kamu jadi pembangkang kayak gini?!" Suara Mamanya makin keras. "Ini ajaran kamu?!" Dia natap Jeno sekarang. Nusuk Jeno pake tatapan bengisnya. "Kamu yang udah bikin anak saya jadi kayak gini?!" Lagi, dia teriak ke arah Jeno.

"Tante..."

"Kamu yang bikin anak kebanggan saya jadi berani lawan kata-kata saya; Mamanya sendiri?!" Lebih keras. Dia pojokin Jeno dengan ucapannya. "Kamu yang bikin anak saya jadi suka sesama jenis?! Kamu!"

"Mama!" Jaemin bales teriak. Dia tarik lepas tangannya dari cengkraman Mamanya.

"Apa yang udah kamu lakuin ke Jaemin?!" Mamanya masih teriak. "Hah?! Jawab saya! Kamu apain anak saya?! Kamu kira saya bodoh?! Kamu kira saya ga tau apa yang udah kamu lakuin?!"

"Tan—"

"—brengsek!"

Tamparan. Di pipi Jeno. Keras. Suaranya keras. Jeno sampai pegang pipinya yang berdenyut nyeri karna tamparan wanita itu.

"Mama!" Jaemin maju. "Jeno ga ada salah di sini." Jaemin berdiri di depan Jeno. "Aku yang suka sama Jeno."

Mamanya ketawa pahit, ga nyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut putranya sendiri. Sesak. Merasa tidak berguna. Wanita itu menangis mendengar pengakuan Jaemin.

"Jaemin..." Mamanya manggil lirih, dia berdiri di depan Jaemin. Taruh kedua telapak tangannya di kedua sisi pipi Jaemin lalu dielus pelan. Putranya, putra kebanggaannya. Putra tercintanya. "Kamu belum ngerti apa-apa, sayang. Jangan ambil keputusan secepat itu. Kamu hanya belum nerima wanita yang tepat untuk kamu. Ayo pulang sama Mama, oke? Kita liburan. Kita tenangin pikiran. Kamu cuma lagi bingung saat ini. Pulang sama Mama ya sayang?"

"Ma," Jaemin ikutan nangis dengernya. Ia melihat kekecewaan. Besar. Pekat. Di mata Mamanya. Tapi Jaemin cape terus sembunyi, dia cape terus sandiwara. Dia cape lari dari kenyataan. "Aku sayang Jeno." Akunya lagi. Buru-buru lanjutin sebelum Mamanya bisa lawan omongannya. "Bukan salah siapa-siapa. Bukan salah Jeno. Bukan salah Mama. Bukan salah siapa-siapa. Aku cuma pingin jadi diriku sendiri."

Lengan Mamanya jatuh lemas dari kedua pipi Jaemin. Isakannya perih. Dia balikin badan. Taruh tangan di pinggang lalu menahan tangisannya.

"Jaemin udah cukup dewasa untuk tau apa yang Jaemin mau." Dia mulai ambil langkah, mendekat. "Jaemin tau apa yang Jaemin pingin, apa yang Jaemin suka, yang Jaemin sayang. Dulu, aku ga mau terima diriku sendiri juga, Ma. Aku marah. Aku harus bertarung sama diriku sendiri. Tapi, aku cape, Ma. Aku cape jadi orang lain."

Perih hatinya meluluh mendengar ucapan Jaemin. Sesaknya berkurang. Dia usap air mata di pipinya, masih memunggungi Jaemin.

"Jeno datang saat Jaemin berdiri di tepi jembatan dan siap buat lompat ke bawah. Siap buat mati."

Tubuhnya meremang mendengarnya. Seketika dia seakan bisa melihat tubuh ringkih Jaemin berdiri di tepi jembatan, diterpa angin malam, dan dengan sekali dorongan putranya bisa pergi meninggalkannya selamanya.

"Jeno yang tarik lengan Jaemin dan ga biarin lepasin sampai pagi. Ga ijinin Jaemin pergi jauh. Ga ijinin Jaemin buat sendiri. Dia satu-satunya yang mau nerima aku; bahkan saat diriku sendiri ga mau nerima. Dia yang berjuang; saat aku bahkan udah kehilangan harapan. Dia yang bertahan; saat aku bahkan udah ga ada keinginan." Jaemin terus peluk Mamanya dari belakang. "Maafin Jaemin." Bisiknya. "Ga bisa jadi putra yang Mama inginin, ga bisa jadi yang diharapkan. Jadi aib untuk keluarga, jadi—"

"Sayang," Mamanya balik badan, peluk Jaemin. Hatinya teriris nyeri mendengar ucapan Jaemin. "Kamu putra Mama, dan bakal jadi putra Mama selamanya. Jangan bicara kayak gitu."

Jeno diam membisu melihatnya, hatinya menghangat. Senyuman tipis muncul di bibirnya. Tangisan Jaemin penuu rasa lega, walau tatapan Ibunya tetap menyimpan kecewa.

"Kamu."

Wanita itu tiba-tiba menusuk Jeno lewat kedua matanya yang sembab. Garis bibirnya keras menghujam Jeno.

"Saya butuh bicara sama kamu."

Jeno tengah menyiapkan nerakanya.

.

..


RingkasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang