Lebih (Jeno/Haechan)

2.6K 234 43
                                    


Jeno x Haechan


.
.
.

Cimahi malam itu sepi. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Padahal ini malam minggu. Sudah pukul sepuluh malam, Jeno pelan dan hati-hati membawa mobilnya. Alunan lagu berdendang dari radio di mobilnya; pelan dan lirih. Lirik kilat, ia mendapati Haechan menatap ke luar jendela dengan wajah marah yang begitu menggemaskan.

Tarik perseneling, injak gas, mobilnya melaju lebih cepat.

"Jangan cemberut terus dong, Chan." Bujuk Jeno, lirik Haechan lagi. Kali ini lebih lama, lalu balik tatap jalanan di depannya.

Haechan tarik nafas kecil, tangannya yang tadi tersilang di depan dada mulai meluruh.

"Gue ga abis pikir deh, No." Mulainya, suaranya agak serak dikit karna kelamaan diam. "Kok bisa gituloh?"

Jeno angkat satu alisnya. "Menurut gue sih wajar aja." Jawab Jeno.

"Wajar dari mana?" Haechan ngegas. Sekarang alihin wajahnya ke Jeno. Alisnya nekuk marah, tapi gemesin abis di mata Jeno. Apalagi bibirnya yang mencebik lucu, lagi nanti jawaban Jeno.

"Yaaa, namanyaa juga orang pacaran." Putar stirnya ke arah kanan, dia juga patuh liatin kaca spion. "Pasti adalah yang namanya cemburu-cemburu."

"Ngerti." Haechan jawab lagi. "Gue ngerti. Gue juga pernah cemburu, sering malah. Gue ga suka bagi-bagi apa yang punya gue. Walaupun gue keliatannya cuek, tapi sebenarnya gue cemburu." Haechan benerin posisi duduknya, ngehadap Jeno yang masih sibuk nyetir. "Yang gue ga paham di sini tuh kenapa bisa?" Haechan kayak kehilangan kata-kata.

"Mark cemburu sama elu tuh bagi gue kayak .... apasih. Ga ada gunanya gitu loh."

Jeno rapatin bibirnya ketika dengar Haechan ngomong begitu. Malam minggu ini mereka mutusin buat keliling Bandung, balik ke tempat nongkrong semasa mereka kuliah sambil ketawa dan cerita tentang masa lalu. Menyenangkan. Sampai Haechan dapat satu panggilan dari Mark; pacarnya, yang tiba-tiba marah lalu bilang tidak suka jika Haechan pergi bersama Jeno.

Jeno mendengarnya langsung; speaker handphone Haechan ternyata cukup keras sehingga ia bisa mendengar nada marah nan kesal milik Mark ketika Haechan mengungkapkan alasan.

"Kenapa gitu?" Jeno nanya. "Mark ga boleh cemburu kalau elu sama gue?"

Haechan ngedengus. "Elu itu udah kayak kembaran gue, No. Saudara. Kakak. Musuh. Temen. Sahabat. Apa yang harus dicemburuin?"

Jeno kedip beberapa kali, natap jalanan. "Ngerti arti cemburu ga, sih, Chan?"

Haechan diam.

"Kalau kata Dilan teh, "Cemburu itu hanya untuk orang yang enggak percaya diri"" Jeno ngutip kata-kata Dilan pake ekspresi ngeselin. "Berarti Mark lagi ga percaya diri."

"Buat apa?" Haechan nyecer. "Buat apa dia ga percaya diri?"

Jeno angkat bahunya, "mungkin dia takut gue bisa ambil elu dari dia?"

Haechan ngedengus. "Orang gila."

"Mungkin dia takut elu lebih pilih sama gue dan ninggalin dia."

"Ya bedalah." Haechan nyergah. "Mark kan pacar gue, elu kan temen gue."

Stirnya diremes erat, Jeno gigit bibirnya denger ucapan Haechan.

"Kalau lebih?" Jeno tarik nafas. "Kalau gue minta lebih gimana, Chan?"

Haechan tatap Jeno. "Ga lucu, No."

"Tuh kan." Jeno senyum miring. Pahit. "Elu ga pernah anggap gue serius, sih." Jeno tarik nafas, ngurangin sesak di dadanya. "Setiap gue ajak lu ngelangkah ke hubungan yang lebih dari sekedar teman elu selalu anggap gue bercanda, atau lagi taruhan sama Ihsan buat dapetin elu. Kapan mandang ucapan gue serius sih, Chan?"

Haechan ga bisa bales. Dia jadi inget, beberapa tahun yang lalu Jeno pernah bilang sayang; di puncak daratan Lembang, ditemani kemerlip bintang dan udara dingin yang menusuk. Sayangnya, Haechan cuma bales ucapan Jeno dengan tawa, pukul lengan Jeno lalu ninggalin cowo itu tanpa jawaban.

Lalu lagi, ketika malam di mana Haechan terima Mark jadi pacarnya. Ada ucapan selamat dari Jeno yang diiringin dengan; "ga mau pacaran sama gue aja, Chan?"

Dia selalu mengira Jeno hanya bercanda.

"Gue serius, loh." Lagi, Jeno ngasih tau. "Dari pertama kali gue ngomong tentang perasaan gue. Gue serius."

Haechan seketika beku. Bingung harus jawab apa.

"Tapi ya sekarang kan elu udah punya Mark. Gue mundur aja." Jeno lanjut. "Mark berhak cemburu, berhak marah, berhak ngelarang elu deket gue. Karna dia tau, elu lebih sayang sama gue dari siapapun." Ungkap Jeno. "Mark takut gue rebut elu dari dia; karna emang gue bisa. Kalau gue berengsek, gue pasti bisa."

Haechan sadar apabila ucapan Jeno ada benarnya. Jeno bisa. Dia sangat bisa.

"Ga gitu caranya." Jeno lanjutin lagi. "Gue ga mau dapetin elu dengan cara begitu."

Mobilnya berhenti. Sudah di depan rumah Haechan ternyata.

"Masuk sana." Perintahnya lembut. "Jangan lupa telpon Mark, minta maaf, dan bilang kalau lu bakal berhenti ketemu sama gue."

"Apaan, sih." Haechan bales. Belum apa-apa matanya udah perih. "Jangan ngomong begitu!"

Jeno senyum tipis, "masuk sana."

"Tarik dulu kata-katanya!" Pinta Haechan. Suaranya mulai gemeter.

"Yaudah, dengan seijin Mark deh." Jawab Jeno. Kasih senyuman lagi.

"Nyebelin!" Haechan teriak ke arah Jeno. Dia tarik kenop pintu mobil Jeno. "Elo nyebelin banget, Jeno."

Itu adalah ucapan terakhir Haechan sebelum dia keluar dari mobil Jeno; dadanya sesak. Penyesalan memenuhi hirup nafasnya.

Jeno nyebelin. Karna udah bikin Haechan goyah. Bikin Haechan bedebar. Bikin Haechan mengalah.

Haechan benci dirinya sendiri yang ingin menggapai Jeno namun menggenggam Mark sekaligus.

Dia benci sekali.

.

..

RingkasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang