Earthrise (1)

4.3K 370 62
                                    

[He takes me high, and i follow him down]

.
.
.

Ketika Jeno mendapatkan satu e-mail mengejutkan di pagi hari dengan bubuhan label NASA yang melagenda, ia hanya mampu mengedipkan mata, mencoba membangunkan kesadarannya pada titik tertinggi. Jarinya dengan kaku membuka e-mail tersebut, tergesa, matanya masih setengah mengantuk, tapi otaknya menjerit kencang.

Jeno pikir ini pasti bercanda. NASA pasti salah mengirimkan e-mail. Tidak mungkin untuk dirinya. Jeno berakhir mengabaikannya. Mengunci smartphonenya diiringi dengusan. Dia tidak membalas e-mailnya, dan berbalik membeli tiket tercepat yang bisa ia dapatkan lalu pergi berlibur sesuai rencananya ke pantai Florida yang panas.

"Mr. Lee?"

Jeno membalikkan tubuh. Keseriusannya memandangi pahatan terbuat dari keramik mengkilap dengan tulisan 'For the Benefit of All' terhenti. Ada seorang lelaki; tinggi menyamainya, kulitnya putih bersih, terlihat sekali jarang menyentuh sinar matahari. Pemuda itu mengenakan seragam NASA berwarna biru kalem, tatanan rambutnya tersisir rapi, matanya bulat; hitam jernih. Bahkan Jeno mampu menghirup aroma after-shave searoma kopi kala pemuda itu mengulurkan tangannya diiringi senyuman tipis.

"Selamat pagi." Sapanya pelan. "Perkenalkan, saya Jaemin." Senyumnya terkembang semakin lebar.

"Oh, Indonesia?" Jeno menyambut tangan Jaemin. Pemuda itu dengan tegap mencengkram jari Jeno, dengan sopan menarik lengannya kembali lalu mengangguk.

"Senang bertemu dengan Anda." Jaemin berucap. "Hanya ada lima orang Indonesia yang bekerja di bawah naungan NASA, saya cukup terkejut saat Direktur meminta Anda untuk datang ke VAB. Saya terkesan. Cukup sulit menaklukan kriteria Direktur agar bisa menapakkan kaki di VAB."

Jeno menaikkan alisnya pelan. Benar. Dia sekarang berada di markas besar NASA yang luar biasa megah. Ketika dia tengah menikmati pantai Florida yang panas dengan bermain voli dan menggenggam Corona di tangannya. Ponselnya berbunyi, mendendangkan suara tegas yang berkuasa. Meminta Jeno untuk terbang menuju Washington dan singgah di VAB; bangunan super duper luas, berkontruksi rumit, atribut teknologi teramat canggih, gedungnya berwarna putih pucat hampir disetiap lantai dan mengirimi Jeno berbagai pertanyaan di pikirannya.

Kenapa Direktur NASA ingin menemuinya?

"Well," Jeno berdeham lirih. "Saya juga cukup terkesan." Dia membalas senyuman Jaemin. "Dan, sedikit agak menyebalkan. Direktur Anda mengganggu liburan saya."

Jaemin tersenyum tidak enak. Dia memberikan gesture tipis agar Jeno mengikutinya, Jeno langsung mematuhinya. Ia membawa langkahnya beriringan dengan Jaemin, yang berjalan dengan tegap dan mengerti setiap lekuk lorong VAB yang rumit.

"Saya dengar seorang prajurit AFSPC—apalagi menjabat sebagai Kapten seperti Anda mendapat jatah liburan tiga bulan setelah menyelesaikan misinya." Jaemin memulai. Lebih santai. "Anda sudah berlibur ke Singapura di bulan pertama, lalu mendaki gunung Fuji di bulan kedua, terbang ke Los Angeles setelahnya, menginap satu-dua malam di Miami lalu pindah ke Florida. Hanya tinggal dua puluh empat hari lagi bagi Anda untuk balik ke markas AFSPC di Colorado."

"A-a," Jeno menyanggah. "Saya menghabiskan dua puluh hari pertama di Indonesia, Bandung tepatnya. Mengunjungi keluarga lalu baru terbang ke Singapura setelahnya, dan saya berada di divisi 14 AF, markasnya bukan di Colorado, tetapi di Vanderberg. Datamu kurang tepat." Jeno menjelaskan.

Jaemin tersenyum tipis mendengar penjelasan Jeno. "Maaf kalau begitu. Saya kurang teliti membaca berkas Anda." Akunya. "Bandung." Ucapnya lagi. Mereka berbelok di satu lorong, dingin, orang berlalu-lalang di sekitar mereka dengan sibuk. "Sudah lama sekali tidak mendengar Bandung."

RingkasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang