Brecht mulai memacu kudanya. Debu-debu pun berterbangan sepanjang jalanan kota. Sementara itu, Margoton masih ingin mengetahui lebih banyak tentang orang asing yang baik hati ini. Ia pun bertanya: "Tn. Brete, sepertinya anda sudah mengenal jalan kota ini dengan baik. Apakah aku benar?" Brecht tersenyum. "Pekerjaanku banyak melibatkan berkelana ke kota-kota baru. Bisa dibilang, karena pengalaman yang banyak aku bisa mengetahui jalan-jalan disini hanya dalam 2 hari terakhir." Ia pun melanjutkan. "Ngomong-ngomong, namaku Brecht. B-R-E-C-H-T. Memang, rata-rata orang Prancis pasti kesulitan mengucapkan nama-nama Jermanik."
"Oh iya, aku lupa. Apakah kau buta huruf? Aku baru ingat kalau tidak semua orang bisa baca tulis disini." Margoton menjawab: "Oh, jangan khawatir Tuan. Ibuku pernah menjadi anggota Jesuit, jadi ia bisa mengajariku bahasa Prancis tertulis, bahkan ia mencoba mengajariku bahasa Latin." ujarnya sambil terkekeh. Brecht ikut tertawa. "Begitu rupanya. Aku berasal dari Flanders, jadi bahasa ibuku Belanda. Mungkin karena itu pengucapan kita berbeda." Mereka masih terus berkuda melewati ladang-ladang. Margoton bertanya lagi: "Apa yang membuatmu yakin kalau ayahku dan ibuku diculik anggota Les Fils Des Dragonnades?". Brecht menghentikan kudanya.
Selagi turun, ia bertanya: "Apakah penculik ayah dan ibumu meninggalkan tanda?" Margoton terdiam. Dikeluarkannya secarik kertas yang ia baca di rumahnya. Brecht mengamati isi kertas itu. "'PROTESTAN PERGILAH KE NERAKA'. Hmm, ini sudah jelas. Sepertinya mereka masih cukup pintar untuk tidak mencantumkan lambang organisasi mereka." Ia bersandar pada kudanya. "Kalau tidak salah, tadi kau bilang kalau ibumu itu seorang Jesuit, kan? Jikalau benar, sangat beruntunglah ayahmu. Ia mungkin masih punya waktu beberapa hari karena ibumu. Ayo kita lanjutkan perjalanan." ujarnya sambil menaiki kudanya. Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Tetapi, Margoton masih kurang puas dengan penjelasan Brecht. Ia pun bertanya lagi "Bagaimana jika mereka hanya diculik orang biasa atau dipenjara?". Brecht menjawab "Sederhana, nona. Pikirkan ini. Jika yang kau perkirakan itu benar, tentu kau tak perlu berada disini sekarang. Mengapa? Karena sebelum kau sampai di rumah pejabat tadi, tentulah disekitar rumahmu sudah heboh, karena masyarakat sekarang masih suka ikut campur urusan orang lain. Atau jika memang benar mereka dipenjara, tentara yang profesional pasti akan memanggil anggota keluarga tersangka, kan? Bukannya menempelkan pesan ancaman di pintu rumah orang yang diculik".
Brecht melanjutkan "Disamping itu, mengapa menurutmu bawahan bangsawan seperti Tn. Dupont akan peduli dengan masalahmu? Bila kau tidak tahu, Prancis sedang berperang dengan aliansi negara-negara Protestan yang ketiga kalinya. Tiga kali! Kendati penyebabnya masalah politik, perang tetaplah perang. Tentulah Raja tidak peduli dengan rakyatnya, kecuali yang berada di New France. Apalagi seorang Huguenot! Oleh sebab itu, ini tanggung jawab kita untuk 'membereskan' bedebah-bedebah itu yang mempersekusi orang sembarangan. Aku pun sudah mempersiapkan diri untuk menghajar orang-orang seperti itu".
Margoton mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti keadaan yang ia sekarang hadapi. Juga, setelah melihat senapan musket yang dijinjing Brecht ia menjadi semakin yakin kalau orang yang ia jumpai bukan orang biasa, melainkan semacam tentara. Akan tetapi, ia masih memerlukan bantuan Brecht dikala bahaya jadi ia memutuskan untuk tetap menyelesaikan misinya bersama Brecht. Setelah hampir 2 jam mencari petunjuk, mereka akhirnya sampai di sebuah daerah bernama Brammebon. Keduanya pun bergegas mencari keterangan dari penduduk setempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
1711
Historical FictionMargoton adalah seorang gadis muda dari Prancis yang ingin mencari kebahagiaan dibalik hidupnya. Tak disangka, tahun 1711 tiba dan mengubah hidupnya seiring perjalanannya bertemu bermacam-macam orang. Diupdate setiap hari Jumat.