Margoton dan Brecht mendatangi beberapa penduduk di daerah itu. Terlihat Brecht berbisik pada salah seorang penduduk, sementara Margoton mengobrol dengan wanita-wanita disitu. Orang itu pun berbisik kembali pada Brecht. Setelah beberapa menit, mereka bertukar kabar satu sama lain. "Aku sudah tahu dimana lokasi mereka. Ternyata, penduduk disini pernah melihat juga bahwa ada orang yang dibawa paksa ke rumah itu. Katanya kelompok itu selalu mengikuti seorang pria tua berkumis dan berjubah putih, seperti seorang pastor." ujar Brecht.
Margoton terdiam. Ia menarik Brecht ke pinggir jalan, lalu berkata "Meskipun aku baru mengenal anda satu hari, aku punya firasat bahwa anda bukan orang jahat. Jadi aku hanya ingin berterimakasih karena telah membawa aku sedekat ini pada keluargaku." Brecht tersenyum. "Ngomong-ngomong aku ingin memberitahumu bahwa pekerjaanku belum selesai. Kau ingat kan saat aku bilang akan 'menghajar' mereka? Sepertinya inilah saatnya." ujarnya.
Ia lalu mengambil sebuah tongkat kayu yang panjang dan memberikannya pada Margoton. "Ambil ini. Aku tidak bisa memastikan bahwa tidak ada yang lolos, jadi lawan mereka dengan ini kalau ada yang macam-macam denganmu. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak ada yang tahu kalau kau terlibat disini." ujarnya. Margoton ragu-ragu. "Anu, Tuan Brecht, aku sebenarnya berharap agar kita lebih hati-hati dalam hal ini. Aku hanya khawatir tentnag keselamatan anda karena jumlah mereka mungki.." Brecht menyanggah " Margoton. Aku tahu resiko dari rencanaku. Doakan saja agar kita bisa menyelamatkan keluargamu".
Margoton menghela nafas. Ia pun tersenyum. "Semoga Tuhan melindungi anda." ujar Margoton. Brecht mengangguk. Mereka berdua berjalan ke dekat suatu rumah yang letaknya agak terpencil. Kelihatannya, rumah itu lumayan luas. Margoton berhenti di dekat pohon-pohon yang mengelilingi rumah tersebut. Karena jaraknya kurang lebih 4 meter dari rumah tersebut, ia menunggu disitu. Sementara, Brecht melanjutkan sambil memelankan langkah kakinya. Ia pun memasang bayonet pada musketnya. Dengan hati-hati ia mencoba untuk mendengar percakapan suara-suara yang ada di dalam rumah itu.
Terdengar suara seseorang sedang mengoceh dan beberapa suara pukulan. "Janganlah terkejut, Tn. Casille. Kami memang akan terus bergantian menyiksa istrimu kecuali kau menandatangani pernyataan itu, tidak peduli apakah ia seorang Katolik atau bukan. Kami kan sudah bilang bahwa kami hanya ingin 'bersenang-senang' dengan orang kafir seperti anda."ujar suara itu. Terdengar tawa dan suara- suara ribut di ruang itu. Brecht sangat marah karena perkiraannya benar, tetapi ia berusaha untuk tidak kehilangan kesabaran. Ia pun bangkit berdiri.
Diketuknya pintu itu. Seketika, heninglah isi rumah itu kecuali satu suara yang meronta-ronta. Selang beberapa detik kemudian, terbukalah pintu itu dan terlihatlah seseorang yang berbaju lusuh. "Sialan kau Jérome, kenapa ka..." Brecht langsung mengambil batu disampingnya dan menghantam kepala orang itu. Rebahlah orang itu seketika. Brecht akhirnya menginjakkan kakinya ke dalam rumah itu. Terlihatlah 7 orang yang wajahnya langsung berubah pucat, seorang lelaki dan perempuan yang diikat di kursi, juga orang mirip pastor yang diceritakan penduduk tadi. Ia pun berkata "Bonjour, Tuan-tuan!".
KAMU SEDANG MEMBACA
1711
Historical FictionMargoton adalah seorang gadis muda dari Prancis yang ingin mencari kebahagiaan dibalik hidupnya. Tak disangka, tahun 1711 tiba dan mengubah hidupnya seiring perjalanannya bertemu bermacam-macam orang. Diupdate setiap hari Jumat.