Mereka akhirnya sampai di depan suatu bangunan gereja kecil. Brecht segera menahan kudanya di samping bangunan tersebut. Sementara itu, Margoton menghampiri pintu gereja. Terdapat motif bunga lili yang menghiasi pintu tersebut. "Menurut Anda, bolehkah kita masuk ke dalam bangunan ini?" ujarnya. Brecht menarik sebuah kursi panjang. "Aku tidak tahu, tapi kelihatannya pintu itu terkunci. Mungkin lebih baik kita duduk disini saja." ujarnya.
Mereka berdua kemudian mulai menatap langit untuk beberapa lama. Margoton tiba-tiba tersentak. "Oh iya, maafkan aku. Aku baru ingat kalau Anda mungkin terluka. Ada yang bisa aku bantu? " ujarnya. Brecht tersenyum. "Tidak apa-apa, aku baik saja. Keahlianku di masa lalu telah mempersiapkanku untuk situasi yang mengancam nyawa," ujarnya sambil memeriksa pinggangnya. Disana ia mendapat sebuah irisan tipis dan di siku nya juga terdapat satu.
"Parah juga lukanya. Haruskah kutuntun Anda ke rumah tabib di dekat tempat tinggalku? Meskipun itu mungkin kurang efektif, setidaknya cobalah saja. Anda sepertinya sudah sering berkelahi." ujar Margoton sambil menunjuk pada bekas luka-luka lainnya di tubuh Brecht. Brecht pun tertawa, lalu berdiri. "Tergantung pengertianmu tentang 'berkelahi'. Mau tahukah kau berapa banyak orang yang aku lawan tadi sampai aku mendapat luka-luka ini? Enam. Apakah jumlah mereka banyak bagiku? Tidak," ujarnya sambil melititkan kain pada pinggangnya.
Ia pun melanjutkan, "Kalau kau ingin tahu, luka-luka ini sudah kudapat sejak aku ikut serta di sebuah perang besar melawan Reich Jerman. Aku bisa dibilang merupakan orang yang lumayan beruntung, karena aku masih hidup sampai aku berganti profesi menjadi tentara bayaran untuk Stadtholder Belanda," ujarnya. Ia menghela nafas, "10 tahun adalah waktu yang lumayan lama bukan untuk menghancurkan karakter seseorang?" Margoton terdiam. "Apakah benar kalian para tentara mengalami kesusahan yang sama seperti kami, rakyat jelata ini?" tanyanya.
Brecht berjongkok. Ia lalu memetik satu helai rumput, "Margoton, maafkan aku karena aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Meskipun biasanya aku lebih suka menjawab dengan 'ya' dan 'tidak', untuk kali ini aku akan mengungkapkan hal-hal yang telah kupegang selama ini sejak aku masih berumur 22 tahun supaya kau bisa menilainya sendiri. Menurutku, hal yang paling membedakan aku dan kau adalah bahwa kau tak bisa melihat malaikat maut, tapi aku berjalan bersamanya sepanjang karir militerku."
"Jujur, hidupku selama itu hanyalah budak dari bahaya. Memang kami tidak rentan terhadap kelaparan seperti yang kalian alami (dan justru karena kamilah kalian tertimpa kemalangan), tapi percayalah bahwa segala yang kami dapat habis lenyap dalam satu malam, terutama sahabat-sahabat kami. Satu-satulah yang menguatkan kami hanyalah keinginan untuk menjaga 'kehormatan' dan harga diri kami. Bisa dikatakan bahwa kehidupan kami hanya sebatas seragam kami," ujar Brecht. Margoton pun mengalihkan pandangannya lagi ke langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
1711
Historical FictionMargoton adalah seorang gadis muda dari Prancis yang ingin mencari kebahagiaan dibalik hidupnya. Tak disangka, tahun 1711 tiba dan mengubah hidupnya seiring perjalanannya bertemu bermacam-macam orang. Diupdate setiap hari Jumat.