Penyelamatan (3)

11 1 0
                                    

     Suasana di rumah itu berubah mencekam. Brecht telah mengambil posisi menyerang, dengan musket di tangannya. Adapun lima orang berdiri di hadapannya, sementara dua orang lainnya serta pemimpin perkumpulan itu mundur ke pojok. Dengan percaya diri, kelima  orang tersebut menyerang Brecht langsung dengan belati. Dengan tidak diduga, Brecht dengan mudah menghindari serangan mereka. Sembari menjaga jaraknya, dihabisilah kelima orang tersebut dengan bayonet yang ia pasang pada musketnya.

     Ketiga orang yang tersisa akhirnya terpojok. Brecht pun maju beberapa langkah sambil melihat-lihat ruangan itu. Terlihat sejumlah bekas darah yang tercecer pada dinding dan lantai ruangan tersebut. Ia menatap kedua pemuda yang terpojok itu. "Kalian, dua anak muda. Sebegitu senangkah kalian menyiksa orang-orang? Hah, sangatlah konyol." ujarnya. 

     Ia pun melanjutkan "Menurutku, pekerjaan seperti ini tidak cocok bagi kalian. Jadi agar tidak ada lagi pertumpahan darah, aku akan memberi kesempatan  sampai hitungan kelima agar kalian tidak kehilangan nyawa. Jatuhkan senjata kalian dan pergilah dari sini, maka kalian tak akan pernah melihat aku lagi. Satu." Kedua pemuda itu saling berpandangan. "Dua." Pemimpin perkumpulan itu pun mengancam mereka "Bodoh, mengapa kalian diam saja? Bunuh orang sinting itu sebelum kita bertiga yang mati!" 

     "Tiga."  Salah satu dari pemuda tersebut langsung membuang belatinya dan lari ke luar. "Empat. Putuskanlah hai pemuda, jangan buat aku berubah pikiran." ujar Brecht kepada pemuda yang lain sambil tersenyum. Pemuda itu pun maju dengan cepat untuk menikam Brecht. Dor! Matilah pemuda itu karena tertembak musket Brecht. "Oh, ternyata inilah alasan kau dihina bodoh." ujar Brecht sambil tertawa. Ia pun menghampiri pemimpin perkumpulan itu. 

     "Tuan Pastor, atau haruskah kupanggil kau Bapa Komandan? Perkenalkan, namaku Franciscoes Brecht. Yah, aku sangat puas dengan sambutan yang kau siapkan untukku. Itu adalah peregangan yang lumayan bagus sejak pengunduran diriku dari tentara Belanda sebagai prajurit bayaran lima tahun lalu. Lihatlah, aku hanyalah seorang perampok biasa; tetapi aku mendapati tindakan kalian sangatlah hina. Jadi, sebagai sesama umat Katolik, mari bereskan ini dengan adil".

     Brecht mulai memukuli pria tua itu dengan pangkal musketnya. Terpojok dan babak belur, pria itu pun berkata, "Brengsek, apa tujuanmu menghabisi kami? Bukankah Protestan memang dilarang di Prancis? Dasar pengkhianat!" Mendengar itu, Brecht akhirnya berhenti memukulinya dan bangkit berdiri.  Ia meletakkan musketnya dan menjawab, "Pertanyaan bagus. Aku memang tahu kalau Protestanisme  dilarang disini, tapi setahuku negara tidak menyarankan untuk membunuh orang terkecuali bagi tentara. Jadi mungkin aku punya hak juga untuk membunuhmu." 

     Pria tua itu pun berkata, "Tidak jika aku membunuhmu lebih dahulu!" Ia pun mengeluarkan pistolnya. "Pergilah ke nera-AHH!" Brecht ternyata berhasil memotong tangan pria tua itu sebelum ia menembak. Pisau yang dibawa Brecht terbukti berguna sebagai senjata cadangan. Brecht pun menghabisi pemimpin perkumpulan tersebut.

1711Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang