Bab I Pernikahan Nilam

6.5K 214 1
                                    

Judul: Jodoh Pilihan Allah metamorfosa dari judul Terpaksa_Menikah
Penulis: Eni Murdayani
Isi:

Part 1 Pernikahan Nilam

“Menikahlah dengan pilihan Allah, walaupun tidak sesuai dengan keinginanmu. Sesungguhnya apa yang terbaik menurutmu, belum tentu terbaik menurut-Nya.”

“Saya terima nikah dan kawinnya Nilam Sari binti H. Burhanudin dengan mas kawinnya seperangkat alat salat dan perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai!”

“Sah!”

Lafaz ijab qobul dibacakan Mas Baskoro dengan lantang hingga terdengar sampai ke kamarku yang berada di lantai dua. Semakin mengalir deras bulir air mata ini. Entah sudah berapa puluh kali tukang rias pengantin membenahi riasan di wajah ini yang luntur karena air mata.

Ibu yang sejak tadi berada di sampingku juga meneteskan air mata penyesalan. Bukan mereka tidak menyanyangiku sebagai putri bungsu. Mereka terlampau sayang, tetapi demi menutupi aib keluarga.

Bila ada orang yang paling kubenci saat ini adalah Mbak Airin Pertiwi. Kakakku sendiri. Seharusnya ia yang bersanding dengan Mas Baskoro sekarang, bukan aku!
Mbak Airin benar-benar keterlaluan. Kalau seandainya ia tidak siap menikah dengan Mas Baskoro, lalu mengapa menerima pinangan laki-laki itu tempo hari. Undangan sudah disebar, segala persiapan sudah selesai, para keluarga jauh sudah berdatangan. Mbak Airin malah pergi dari rumah.

Pernah suatu hari Mbak Airin mengenalkan pacarnya pada Abah dan Umi. Pacar Mbak Airin seperti bukan orang baik. Tidak punya sopan santun kepada orang tua. Mungkin karena itulah Abah dan Umi tidak menyukainya.

Sebulan yang lalu, keluarga Mas Baskoro datang melamar Mbak Airin. Ayah Mas Baskoro dan Abah bersahabat sejak kecil, tetapi mereka pindah ke Solo karena mutasi kerja. Sedangkan keluarga kami tetap di Wonogiri. Mas Baskoro dan Mbak Airin bersahabat sejak kecil. Menurut penuturan Abah dan Umi, Mas Baskoro adalah seorang dokter muda. Ia lelaki yang baik, tampan, sopan, lembut dan mudah bergaul. Pria berlesung pipit ini juga gemar berolah raga dan memasak. Itulah informasi tentang sosok Mas Baskoro.

Aku masih terus terisak. Alhasil mata menjadi sembab. Bagaimana tidak? Terpaksa menikahi orang yang tidak kucintai serta harus mengubur impian melanjutkan kuliah. Ini sungguh terasa sangat menyakitkan, semua ini karena ulah Mbak Airin!

“Sudah. Ayo kita ke bawah Cah Ayu, para tamu undangan sudah lama menunggu di bawah,” pinta Umi dengan mata berkaca-kaca.

Pandangan mata masih tertunduk, punggung tangan sesekali menyeka air mata. Riasan wajahku mungkin sudah luntur sekarang, sehingga tukang rias kembali sibuk memperbaiki.

Perlahan Umi mengandengku menuruni anak tangga. Dengan hati remuk redam, tak berani sedikitpun memandang wajah pengantin laki-laki dan tamu undangan. Hingga saat kami sudah berdampingan, Umi meminta agar aku mencium punggung tangan lelaki halalku. Meskipun sedikit ragu, kuterima uluran tangan Mas Baskoro, mencium takjim punggung tangannya dengan rasa gugup. Sesaat mata kami bertemu, tetapi kucoba palingkan ke arah lain. Ia terlihat menghela napas beratnya. Sepertinya kondisinya tak jauh berbeda denganku. Merasa tertekan dengan pernikahan ini.

Hanya ingin menutup rasa malu Abah dan Umi, terpaksa mengabulkan permintaan Abah untuk menikah dengan Mas Baskoro, menggantikan posisi Mbak Airin. Calon pengantin perempuan yang melarikan diri.

Acara berikutnya adalah pemakaian cincin di jari manis, tetapi cincinnya kebesaran, karena memang bukan ukuran jariku.

“Untuk sementara pakai dulu ya, nanti kuganti dengan ukuran jari manismu,” ucap Mas Baskoro. Hanya mampu kujawab dengan anggukan.

Kemudian Abah membawa beberapa berkas yang harus ditanda tangani. Setelah urusan tanda tangan berkas pernikahan selesai, kami digandeng Umi menuju pelaminan.

Bukan main riuhnya hatiku. Ingin menjerit senyaring-nyaringnya. Meluapkan beribu kekesalan dan kecewa. Tetapi melihat wajah kedua orang tua yang sendu, membuatku mampu membendung amarah. Hanya tetesan air mata yang masih mengalir. Sesekali kuseka air mata dengan ujung jari, tetapi tidak membuatnya berhenti.

Saat tamu undangan bergantian menyalami dan memberikan doa restu, rasa sedih, dan kecewa tak terbendung lagi. Semakin terisak sendiri.

Lelaki yang sudah sah menjadi suamiku ini terlihat tegang. Melihat kondisiku yang berderai air mata. Ia menarik napas beratnya, seolah mengeluarkan sesak di dadanya.

“Hapus air matamu, Nilam. Kau telihat jelek jika menangis,” ucap Mas Baskoro tiba- tiba sukses membuat diri ini semakin gugup. Tangannya memberikan selembar tisu.

“Terima kasih, Mas.” Kujawab singkat sambil mengambil selembar tisu darinya.

Perlahan para keluarga sudah berpamitan pulang. Karena lelah, aku sudah lebih dulu masuk ke kamar, sedangkan Mas Baskoro masih berbincang dengan Abah di luar.

Terlampau sibuk menghapus riasan di wajah, hingga tanpa kusadari Mas Baskoro sudah berada di samping ranjang. Ia terlihat tertegun menatapku dan menelan salivanya.

“Nilam, terima kasih ya.”

“Terima kasih untuk apa?”

“Pengorbananmu menyelamatkanku dan keluarga dari rasa malu.”

Aku pun terdiam. Hening kembali menyergap ruang hati kami. Sama-sama merasakan kesepian, kepedihan, dan kekecewaan atas takdir ini. Mendengar ucapannya tersebut membuat hatiku kembali gerimis. Kembali terisak dalam tangisan.

“Nilam, maaf. Berhentilah menangis. Aku janji tidak akan menyentuhmu sebelum kau yang menginginkannya.”
Mendengar penuturannya merasa ada setetes rasa sejuk di relung hati. Tak menyangka hati lelaki di hadapanku ini seluas samudera. Mengapa Mbak Airin begitu tega menyia- nyiakannya?

Setelah tangis ini mereda, ia mengajakku salat sunah bersamanya. Katanya walaupun tidak akan menyentuhku, tetapi tetap ingin melakukan amalan di malam pertama. Demi menjaga perasaannya, kuturuni saja kemauan Mas Baskoro.

Usai melakukan salat sunah dua rakaat bersama, ia meminta izin ingin mencium ubun- ubunku dan merapalkan doa pengantin baru. Awalnya ingin menolak dan risih, tetapi tatapan teduhnya membuatku urung menolak keinginannya. Sebuah anggukan kecil pertanda setuju.

Mas Baskoro akhirnya perlahan mencium pucuk ubun-ubunku. Entah mengapa bersentuhan secara langsung dengannya membuat bulu kudukku merinding. Degup jantung kian bertalu-talu. Sungguh sangat memalukan. Wajah ini sudah berubah memerah.

Katika mencium ubun-ubun, dapat kurasakan hangat napasnya,  bahkan detak jantungnya terdengar lebih nyaring di telinggaku. Ia berulang kali terlihat menelan saliva dan mengusap kasar rambutnya. Perlahan ia berjalan kearah kasur dan mengambil sebuah bantal kemudian menatap lekat mata ini.

“Tidurlah di ranjang, biar aku tidur di sofa. Aku takut khilaf bila seranjang dengan gadis manis sepertimu.”

Kemudian Mas Baskoro mulai merebahkan diri di sofa. Kulihat tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan saling mendekap. Mungkinkah ia sedang kedinginan? Ingin rasanya memberikan selimut ini, tetapi rasa malu lebih mendominasi.

Maafkan aku, Mas. Belum bisa menerimamu seutuhnya. Kau masih terlalu asing bagiku. Biarlah aku berproses dulu dengan waktu. Agar nanti waktu bisa mengantarkan aura kerinduan di antara kita. Aku hanya butuh waktu mengeja hatiku dan hatimu. Biarlah nanti waktu akan menemukan rasa itu. Rasa ingin menerima sepenuh hatiku.

Mba-mba, bisa minta tolong bantu share kan ke grup-grup wa yang mbak-mbak punya untuk sarana promosi, terima kasih banyak mbak❤️❤️❤️❤️

Jodoh Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang