Bab 3 Hari Pertama Menjadi Istri

4.1K 154 3
                                    



“Cinta menyapa tak kenal waktu dan bermuara pada rasa. Saat hati siap menerima, maka cinta terasa nyata”


Sayup azan Subuh terdengar dari ventilasi jendela kamar. Mata masih belum terbuka sempurna, kulirik jam dinding yang ada tepat di atas meja hias. Pantas saja suara azan sudah berkumandang di musala dekat rumahku.

Aku kaget dan hampir meloncat dari tempat tidur. Tepatmya saat netraku menangkap sosok lelaki bersarung serta berbaju koko tengah terlelap di sofa pojok kamar. Mengapa harus kaget, bukankah lelaki itu adalah Mas Baskoro? Suamiku sendiri. Sontak kuketok kepala ini. Lucu rasanya mengingat kalau aku sudah menikah.

Meskipun masih ada juga rasa kesal dan kecewa, mengingat aku tidak benar-benar menginginkan pernikahan ini sebelumnya.

Perlahan aku bangkit dari ranjang, ingin masuk ke dalam kamar mandi. Tetapi tiba- tiba aku terhenti sejenak. Ragu antara ingin membangunkan Mas Baskoro atau tidak. Tetapi jika tidak kubangunkan, takutnya Mas Baskoro kesiangan salat Subuh.

Akhirnya kuputuskan untuk membangunkan Mas Baskoro meskipun ada rasa malu. Hati-hati aku menggoyang lengan Mas Baskoro. Agak sedikit lama, tetapi akhirnya netra Mas Baskoro terbuka. Dengan netra yang masih menyipit, ia tampak kaget melihat keberadaanku yang sudah ada di sampingnya. Terlonjak kaget bahkan langsung memegang tanganku.

Aku jadi serba salah sekarang. Seperti pencuri yang ketahuan, gugup sekali rasanya. Bahkan jantungku bertambah kencang debarannya.

“Maaf Mas kalau membuatmu kaget. Nilam cuma mau membangunkan Mas buat salat Subuh. Takutnya kesiangan,” ucapku ragu.

“Ah, i-ya. Tidak apa-apa aku cuma kaget aja. Tadi aku mimpi sedang dibangunkan seorang bidadari. Eh, ternyata benar, ini bidadariku,” jawab Mas Baskoro sambil menatap lekat netraku.

Aku yang mendapat tatapan seperti itu, nyaris menundukkan pandangan. Tak sanggup lagi rasanya membalas tatapan mata Mas Baskoro. Gugup semakin menjalari setiap pori-pori tubuhku. Lalu kucoba palingkan pandangan dan kembali melangkah ke dalam kamar mandi. Sebelum aku menghilang di balik pintu kamar mandi, Mas Baskoro kembali berucap, “Nilam, jangan lupa keramas. Basahi rambut panjangmu.”

“Mengapa harus keramas, Mas. Kita belum melakukan apa pun, Mas,” kujawab dengan malu-malu.

“Oh, jadi kamu sudah mau kita ‘apa-apa’ Nilam?” jawab Mas Baskoro dengan muka cengar-cengir seraya memainkan sebelah alisnya.

“Ish … tidak,” jawabku, lalu membuka kasar pintu kamar mandi dan segera menutupnya kembali.

Kenapa bunyi jantungku mendadak berirama seperti ini. Kuraba sendiri dada ini. Gemuruhnya kian bertambah. Akhirnya aku mandi dengan pikiran yang entah bagaimana rasanya.

Kubuka sedikit pintu kamar mandi. Kulirik dengan sedikit ujung netra. Mas Baskoro masih duduk di posisinya tadi. Hanya saja kakinya diselonjorkan ke lantai dan menggeleng-geleng, mirip gerakan orang sedang senam kepala. Benar-benar orang aneh.

“Mas,” panggilku.  Ia tidak mendengar panggilanku yang pertama.

“Iya ada apa? Apa kau ingin aku menyusulmu ke dalam?” jawabnya.

Mendengar jawabannya itu sontak membuatku membelalakan mata.

“Ih, ge’er. Mas tolong dong ambilkan handuk, dalaman, gamis, dan kerudungku di lemari,” ucapku lagi. Aku masih bersembunyi di balik pintu.

“Ah, banyak benar. Upahnya apa kalau kuambilkan barang-barang itu,” jawabnya nyaring agar aku mendengar kata katanya.

“Ayolah Mas lekas ambilkan. Udah kedinginan ini,” jawabku dengan suara merengek.

Kudengar Mas Baskoro pun terkekeh, sambil tangannya merogoh ke lemari baju. Mencari benda-benda yang kuminta. Ia kemudian menyerahkan barang-barang yang kuminta. Selesai berganti baju aku segera keluar. Mas Baskoro akhirnya mandi dan meminta izin salat Subuh di musala. Selesai melakukan salat Subuh, aku membaur bersama Umi di dapur berkolaborasi membuat membuat menu sarapan pagi. Sementara Mas Baskoro sudah pandai sekali mengambil hati Abah. Sepulang dari musala ia langsung bergabung dengan Abah memberi makan ayam di kandang. Abah memang senang memelihara ayam kampung untuk dikonsumsi sendiri jika sedang ingin makan dengan lauk ayam kampung.

Menu sarapan pagi akhirnya selesai dan sudah tersaji di ruang makan. Umi kemudian memintaku memanggil Abah dan Mas Baskoro untuk sarapan.
Kami sarapan berempat dengan lahap. Mas Baskoro tampak mencuri pandang ke arahku. Ia masih saja senyum-senyum sendiri. Mungkinkah masih mengingat kejadian Subuh tadi? Ah biarlah, abaikan saja. Aku sengaja memalingkan wajah menutupi rasa malu.
Tiba-tiba Umi membuat kami terkejut.

“Ehem … ehem. Pengantin baru lirik-lirikan,” kata Umi sontak membuatku terbatuk- batuk.

“Ini diminum, Dek,” kata Mas Baskoro sambil menyerahkan segelas air putih.

Segera kuraih gelas berisi air putih dari tangan Mas Baskoro dan meminumnya hampir separuh. Kami pun melanjutkan lagi sarapan, dengan tatapan mata Abah dan Umi yang sesekali memandang ke arah kami. Mereka terlihat senyum-senyum sendiri.
Sebelum kami beranjak dari tempat duduk, Umi tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju dapur. Tidak berselang lama kemudian Umi kembali dengan membawa dua gelas berisi cairan yang kurasa itu adalah jamu.

“Nah Nilam dan kau Baskoro, ayo diminum ini. Ini jamu ramuan keluarga. Sudah turun- temurun, baik diminum oleh pasangan pengantin baru biar tambah mesra,” ucap Umi.

Bukan main terkejutnya aku dan Mas Baskoro, saling pandang dan menggeleng bersamaan. Umi yang melihat tingkah kami hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng.

“Sudah, ayo diminum. Umi tunggu sampai habis,” ucap Umi bak ultimatum.

Aku dan Mas Baskoro akhirnya meminum jamu racikan Umi. Aku yang tidak terbiasa minum jamu, harus berjuang keras meminumnya. Sedangkan Mas Baskoro terlihat lebih cepat menghabiskan jamunya. Mungkin ia sudah terbiasa minum jamu.
Melihat jamu racikannya sudah habis kami minum, Umi tersenyum lega.

“Ya, begitu toh. Lah Umi dan Abah ini sudah kebelet pengen punya cucu,” ucap Umi.

Mendengar ucapan Umi barusan hanya membuatku mencebik. Tetapi tidak bagi Mas Baskoro, ia malah senyum-senyum memandang ke arahku. Ish … menyebalkan sekali!

****
Sekitar jam sepuluh pagi Umi dan Abah sudah terlihat sangat rapi. Abah menenteng sebuah tas dan Umi membawa sebuah kado besar. Aku yang melihat tingkah mereka, tiba-tiba merasa aneh. Mau ke mana mereka?

“Umi sama Abah mau ke mana kok sudah rapi banget?” tanyaku pada mereka.

“Oh, kami lupa bilang Tante Harmi yang di Ngawi sudah melahirkan. Kami mau menjenguk ke sana. Mungkin akan bermalam,” jawab Umi.

“Kok mendadak, Umi. Aku juga ingin ikut.”

“Ah, kalian di rumah saja. Masih capek baru kemarin selesai resepsi lebih baik istirahat saja di rumah,” ucap Abah ikut-ikutan menimpali.

“Baik-baik di rumah ya. Titip Nilam ya, Nak,” kata Umi lagi kepada Mas Baskoro.

“Iya, Buk,” jawab Mas Baskoro.

Umi dan Abah akhirnya berangkat diantar oleh sopir keluarga kami. Setelah keberangkatan Umi dan Abah, aku memilih menyibukkan diri dengan membuka kado-kado yang sejak kemarin belum tersentuh. Sedangkan Mas Baskoro duduk santai di sofa di pojok kamarku sambil membaca majalah.
Hampir satu jam aku membongkar kado-kado itu, tidak terasa letih juga. Niat hati ingin merebahkan badan di kasur. Tetapi entah mengapa pandangan mata Mas Baskoro lekat menatap netraku.

Wajahnya juga terlihat memerah, dengan keringat yang mulai membahasi.
Aku merasakan juga sesuatu yang aneh. Tiba-tiba badanku terasa menghangat. Degupan jantungku mulai berirama. Keringat mulai membasahi. Ada hasrat yang tiba-tiba muncul. Hasrat apa ini? Mungkinkah ini efek jamu yang sudah kuminum tadi pagi?
Aku lihat Mas Baskoro berulang kali memejamkan mata dan menelan salivanya. Dadanya terlihat naik turun menahan gelora. Sesekali netranya menangkap netraku. Seolah meminta persetujuan. Aku yang sedari tadi duduk meringkuk di tepi ranjang, seolah ragu menatap netranya. Di dalam hati, aku merasa kasihan melihat kondisi Mas Baskoro dengan hasrat yang sedemikian menggebu.

Perlahan aku melangkah mendekat. Menatap netranya untuk sesaat, kemudian menunduk dan berkata.

“Ambillah yang menjadi hakmu, Mas. Aku ikhlas,” ucapku sambil terus menundukkan wajah.

Mas Baskoro terlihat kaget mendengar ucapanku barusan. Kemudian netranya menatap lekat netraku. Diangkatnya daguku hingga pandangan kami bertemu.

“Benarkah ucapanmu barusan, Dek? Apa kamu sudah siap?’ tanya Mas Baskoro kepadaku.

“Jika itu bentuk ibadahku sebagai istri. Aku siap Mas.”

“Terima kasih, Sayang.”
Mas Baskoro akhirnya membopongku ke ranjang pengantin kami. Ranjang yang tadi malam masih kutiduri sendiri.

Tetapi siang ini menjadi awal pengikat jasmani kami dalam balutan ibadah suami-istri. Memecah kebekuan hatiku, membukanya untuk sebuah nama yaitu Baskoro Cahyo Purnawan.

Mas Baskoro sudah sempurna menjadikanku istri yang seutuhnya. Tak ada lagi jarak di antara kami. Kami sudah bersatu dalam ibadah suci bernilai pahala. Berulang kali bibir Mas Baskoro menyungingkan senyum kebahagiaan dan disertai ucapan terima kasih. Ia berbisik lirih di telinggaku.

“Terima kasih, Sayang. Kau sudah menjadikanku sempurna menjadi seorang suami. Maafkan kalau apa yang selama ini kau jaga harus kuambil.”

“Aku ikhlas, Mas.”

Kami akhirnya saling berpelukan. Aku bahkan sangat malu sekarang. Mendapati kenyataan sekarang aku satu selimut bersama seorang lelaki. Tetapi rasa malu itu berganti rasa syukur dan bahagia. Bahagia karena dapat mempersembahkan mahkota paling berharga yang selama ini terjaga hanya untuk lelaki halalku.

Jodoh Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang