Part 6 Ngunduh Mantu

3.2K 111 2
                                    



“Saat kehadiranmu membawa warna baru dalam kehidupan, kemana pun langkahku akan membersamaimu dalam suka maupun duka. Selalu bersama.”


“Dek, bangun kita sudah sampai.”

Tergagap aku bangun, oh ternyata sudah sampai di rumah orang tua Mas Baskoro. Rumah yang asri, banyak bunga di halamannya. Suasana terlihat ramai, mungkin saja karena untuk acara ‘ngunduh mantu’ besok.

Kedua orang tua Mas Baskoro terlihat berjalan menuju halaman rumah, diikuti oleh para kerabat dan tetangga lainnya. Sungguh mereka orang-orang ramah. Turun dari mobil, aku langsung dipeluk orang tua Mas Baskoro dengan haru

“Selamat datang mantu Ibu yang ayu,” kata Ibu Mertua sambil memelukku penuh rasa haru.

“Matur suwon geh , Buk,” jawabku sambil mencium takjim punggung tangan wanita yang sudah melahirkan Mas Baskoro.

“Ayo mari-mari semuanya, silakan masuk.”

Abah dan Ayah Mas Baskoro terlihat saling peluk lama sekali, kemudian melempar senyum dan tertawa bersama. Mereka memang sudah bersahabat sejak kecil.

Suasana kekeluargaan sangat kental di sini, seperti halnya di rumahku di Wonogiri. Kami berbincang cukup lama dengan ditemani kudapan khas Solo.
Hingga Ibu Mas Baskoro menghampiriku.

“Ayo, Nduk. Ibu antar ke kamar kalian. Kamu baru aja dari perjalanan biar istirahat dulu,” katanya lembut padaku.

“Inggih Buk,” jawabku sambil berdiri mengikuti beliau.
Umi juga sudah istirahat di kamar tamu.

Ibu membawaku memasuki kamar Mas Baskoro, yang sekarang juga akan menjadi kamar kami saat berkunjung ke rumah orang tua Mas Baskoro.
Kamar yang cukup luas dan termasuk rapi untuk ukuran seorang laki-laki. Sebuah kasur besar sudah dipersiapkan untuk menyambut kedatangan kami.

“Kamu istirahat dulu, Nduk,” kata Ibu lagi.

“Inggih matur suwon , Buk.”
Ibu meninggalkanku sendiri di kamar, sedangkan Mas Baskoro masih berbincang dengan Abah dan ayahnya di ruang tamu.

Sebenarnya mana mungkin aku dapat istirahat dengan tenang, karena di luar orang ramai mempersiapkan segala keperluan besok. Tenda-tenda juga sudah mulai dipasang, begitu juga dengan pelaminan.

Kamar Mas Baskoro juga tidak luput dihias. Seprai berwarna merah marun dengan taburan kelopak bunga melati. Membuat suasana seperti malam pertama lagi.

Setelah merebahkan diri cukup lama tetapi tidak dapat juga memejamkan mata. Kuputuskan untuk keluar kamar. Berbaur dengan para tetangga yang sedang sibuk di dapur mungkin akan lebih baik.

Berjalan ke arah dapur dengan tatapan beberapa orang yang memperhatikanku. Mereka tersenyum dan menganggukan kepala.

“Wah Mbak jenengan istirahat aja loh di kamar. Pengantin kok malah ikut ke dapur,” kata seorang perempuan berdaster kuning.

“Tidak apa, Buk. Di kamar malah suntuk,” kataku.

“Ya sudah, Mbak duduk saja ya tidak usah ikutan sibuk,” kata seorang ibu lainnya.

Akhirnya aku hanya berbincang-bincang dengan para tetangga yang ada di dapur. Setidaknya lebih baik dari pada aku sekadar berdiam diri di kamar. Dari obrolan dengan para tetangga ini aku dapat mengerti keluarga Mas Baskoro sangat dihormati oleh masyarakat sekitar. Mas Baskoro juga pribadi yang ramah dan mudah bersosialisasi.

***
Kami berkumpul di ruang makan. Makan malam berlangsung sangat akrab dan penuh rasa kekeluargaan. Ibu mertuaku ternyata orangnya sangat supel, sangat cocok dengan Umi yang gampang akrab dengan orang. Obrolan demi obrolan mengalir begitu saja, hingga suatu pertanyaan ibu mertua yang membuatku terbatuk.

“Kamu tidak memakai KB, Nduk? Ibu sudah sudah kebelet pengen punya cucu,” katanya.

“Iya sama Mbakyu. Saya juga pengennya cepet dapat cucu kok,” jawab Umi.

Sementara Abah dan Ayah mertuaku hanya saling melempar senyum dan menatap aku dan Mas Baskoro bergantian.

“InsyaAllah. Mohon doa semuanya agar kami cepat dapat momongan,” jawab Mas Baskoro sambil melirik ke arahku.

Aku semakin terpojok oleh tingkah mereka. Tersipu malu dan hanya menundukkan wajah.

“Sudah sana Bas. Bawa istrimu istirahat di kamar. Besok kalian ada acara loh, kalian perlu istirahat yang cukup,” ucap Ibu lagi.

Akhirnya setelah pamit, kami kemudian masuk ke kamar untuk istirahat. Istirahat? No! Bukan istirahat, karena Mas Baskoro terus menganggu. Tetapi karena belum salat Isya, akhirnya kami salat berjamaah terlihat dahulu.

Setelah salat dilanjutkan dengan merapalkan doa-doa kepada-Nya. Memohon ampunan, bimbingan, dan perlindungan-Nya. Selesai berdoa suamiku pun mendekat.

“Dek!”

“Ada apa?”

“Adek dengarkan kata-kata orang tua kita. Mereka sudah kebelet pengen punya cucu.”

“Terus?”

“Ya kita harus segera memberi mereka cucu,” jawab Mas Baskoro sambil menaik turunkan sebelah alisnya.

“Ah, modus.”

“Modus sama istri sendiri pahala loh, Dek.”

“Ah, alasan aja.”

“Suer,” jawabnya sambil mengacungkan dua jarinya.
Aku yang melihat tingkahnya mendadak tertawa terpingkal-pingkal. Lucu sekali. Melihatku yang mentertawakannya, membuat ia semakin gemas.

Diraihnya aku dalam pelukannya. Bahkan sangat erat. Tidak dibiarkannya aku lepas lagi. Semakin aku meronta, maka semakin ia menghadiahiku dengan ciuman. Ah, dasar laki-laki kalau sudah ada maunya tidak dapat dicegah.

Kembali kami mereguk madu asmara pengantin baru, merasakan kebahagiaan dalam tiap helaan napas. Untuk kesekian kalinya bibir kami mengucap rasa syukur. Atas nikmat halal yang kami raih. Semoga rahmat-Nya selalu menyertai dalam setiap ibadah-ibadah yang kami lakukan.

***
Persiapan untuk acara ‘ngunduh mantu’ mulai dikerjakan. Para ibu yang bertugas di dapur sudah sejak tadi mempersiapkan kelengkapan masakan. Tidak ketinggalan yang bertugas sebagai pramusaji, sudah mulai menata hidangan kecil atau kudapan di meja tamu. Aku yang memperhatikan hiruk-pikuk itu, hanya bisa tersenyum dan menggeleng.

Selesai sarapan, kami di arahkan oleh ibu mertua memasuki kamar tamu karena sudah tukang rias sudah menanti. Aku memakai pakaian kebaya modern dan stelan jas untuk Mas Baskoro. Untuk riasan wajah aku meminta senatural mungkin, disesuaikan dengan umurku yang baru delapan belas tahun.
Mas Baskoro berdecak kagum melihat penampilanku sekarang. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyuman. Bahkan ketika tukang rias lengah, ia sempat menggodaku.

“Luar biasa Adek cantik sekali. Aktris ibu kota saja lewat,” ucapnya sambil meremas jemari tanganku. Mendapatkan perlakuan seperti ini membuatku tersipu malu.

“Mas juga ganteng banget melebihi Dude Herlino,” balasku sambil mencubit pinggangnya.

“Aaaauuu udah mulai genit ya,” jawabnya sambil meringis kesakitan. Kemudian Ia malah terkekeh.

Selesai dirias kami diarahkan Umi dan Ibu menuju pelaminan. Teringat kejadian seminggu lalu, saat duduk di pelaminan acara resepsi di rumahku. Selama di pelaminan, masih saja menitikkan air mata.

Berbeda dengan sekarang, kami justru mengumbar senyum penuh kebahagiaan kepada semua tamu undangan. Allah memang Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya. Aku yang awalnya terpaksa menikah dengan Mas Baskoro, sekarang justru mulai bisa menerima keberadaan Mas Baskoro sebagai suami.

Melihat rona bahagia di wajah kami berdua, orang tua terlihat sangat bahagia. Bahkan binar kebahagiaan itu terlihat jelas sekali.

Hingga rombongan teman-teman seprofesi Mas Baskoro berdatangan. Setelah beramah tamah dengan orang tua kami dan mencicipi hidangan. Mereka satu per satu menyalami. Ucapan demi ucapan selamat kami dapatkan. Tidak sedikit juga yang meledek Mas Baskoro.

“Wah aura Baskoro sudah berubah. Sudah buka segel dia,” ucap seorang lelaki muda berkaca mata yang dikenalkan oleh Mas Baskoro bernama Wahyu. Wahyu memang orangnya agak kocak menurut suamiku.

Hingga rombongan teman selesai memberikan ucapan selamat. Netra ini menangkap ada seorang wanita cukup tinggi, langsing, serta sangat cantik matanya tak lekat menatap netraku dengan tajam. Sorot mata itu seolah mengobarkan api kebencian.

Wanita itu perlahan berjalan mendekat ke pelaminan. Dengan senyum yang dipaksakan, dia mengulurkan tangan kepadaku dan berkata cukup tajam.

“Selamat sudah mendapatkan Mas Baskoro. Kau bukan tandinganku sebenarnya,” ucapnya sambil menjabat tanganku cukup keras.

Mataku membelalak menatapnya. Antara binggung dengan ucapannya barusan. Kulihat Mas Baskoropun memandang tajam kearah wanita itu. Seolah mengisyaratkan rasa tidak suka. Wanita itu kembali menjabat tangan Mas Baskoro.

“Selamat, Bas. Ternyata seleramu rendahan,” katanya. Wajah Mas Baskoro mendadak berubah merah padam.Tetapi sedetik kemudian berusaha dinetralkan.

“Terima kasih atas kedatanganmu, Ana,” jawab Mas Baskoro.

Wanita itu pun berlalu. Berlalu dengan meninggalkan seribu pertanyaan dibenakku. Siapa sebenarnya Ana? Mengapa sikapnya sangat tidak bersahabat denganku?

Entahlah, hingga acara ngunduh mantu selesai. Masih belum hilang rasa penasaranku terhadap sosok Ana. Aku memang belum terlalu mengenal sosok Mas Baskoro yang sebenarnya.  Tetapi aku yakin suamiku punya penjelasan untuk ini.


















Jodoh Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang