Part 8 Penyesalan Airin

3.3K 103 0
                                    


“Semuanya sudah terlambat, tak mungkin kembali lagi. Bodohnya diri ini, harus terjebak rasa yang berlumur dosa dan hina. Diri ini sudah tak berarti, hanya sesal yang tak bertepi.”


Sudah hampir setengah bulan aku pergi dari rumah. Sekarang aku sangat merindukan Umi, Abah, dan  Nilam Sari. Entah bagaimana keadaan mereka sekarang. Sampai saat ini aku tidak berani sekalipun menghubungi mereka. Bahkan nomor ponselku pun sengaja berganti agar mereka tidak bisa menghubungi.

Aku belum siap untuk bertemu mereka saat ini.
Maafkan anakmu ini wahai Umi dan Abah. Karena ulahku kalian harus menanggung malu. Maafkan aku juga Baskoro, harus meninggalkanmu sebelum akad nikah kita. Semua ini kulakukan karena aku tidak memiliki keberanian menceritakan semuanya.

Aku pun tidak yakin kau mampu menerima kondisiku. Aku sudah ternoda, bahkan sekarang ada janin dalam rahimku. Aku merasa tak pantas untukmu, Baskoro. Kau lelaki tampan, baik hati, santun, ramah dan humoris, tidak pantas mendapatkan istri wanita hina sepertiku.

Semua ini berawal dari hari sialan itu. Tepat dua bulan sebelum hari keluarga Mas Baskoro melamar. Tadinya aku sudah bermaksud mengakhiri hubunganku dengan Rian Saputra. Semuanya karena rasa jenuhku dengan sikapnya yang arogan.

Saat itu aku hanya ingin menjalani kehidupan dengan normal, sehingga harus dapat mengambil sikap. Aku ingin putus dari Rian, tetapi sialnya justru terjerat bujuk rayunya.

Ketika keluarga Mas Baskoro datang melamar, aku langsung menerimanya. Semua itu karena aku sudah menyerah dengan sikap Mas Rian yang tidak pernah berubah, selalu tentramental dan arogan.

Entah setan dari mana yang merasuki pikiranku saat itu. Saat aku meminta putus dari Mas Rian, yang ada saat itu aku justru terpuruk dalam lembah dosa besar. Akal sehatku tidak mampu menolak saat Mas Rian justru mengambil mahkota paling berharga. Dan perbuatan dosa itu  membuahkan hasil.

Aku yang kalut saat menyadari telah telat mendapatkan tamu bulanan binggung harus berbuat apa. Satu- satunya jalan terbaik saat itu adalah pergi dari rumah untuk meminta pertanggung jawaban Mas Rian.

Malang tak dapat kuhindari. Lelaki brengsek itu justru menghilang tanpa jejak. Ia sudah tidak ada di Solo. Bahkan semua temannya tidak ada yang mengetahui keberadaannya, begitu juga bos sablon tempatnya bekerja tidak mengetahui kepergiannya. Lelaki sialan itu hilang bagai ditelan bumi.

Aku hanya sedikit mendengar cerita kalau orang tuanya bekerja di Solo kepada sebuah keluarga kaya raya. Tetapi identitas orang tuanya sendiri tidak jelas. Dengan putus asa aku mencari keberadaan Mas Rian, tetapi hingga saat ini belum juga mendapat titik terang.

Semua ini karena kebodohanku sendiri. Andai saat itu aku tidak terpedaya  rayuannya. Mungkin saat ini nasibku tidak menyedihkan seperti ini. Untuk kembali ke rumah jelas aku tidak memiliki keberanian. Abah dan Umi pasti murka kalau mengetahui kondisiku saat ini. Putri kebanggaannya hamil di luar nikah.

Aku hanya mampu merutuki kebodohan diri ini, tidak tahu harus berbuat apa. Ingin rasanya mengugurkan janin ini, tetapi aku takut sekali. Dosaku sudah terlampau banyak dan tak ingin menambahnya lagi.
Maka kuputuskan akan tetap mempertahankan janin tidak berdosa ini, walaupun masyarakat lambat laun akan mengetahui kehamilan ini tanpa suami. Tetapi semuanya sudah terlambat, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin aku memperbaiki semuanya.

Kuputuskan akan mencari pekerjaan apa pun demi dapat menyambung hidup.

Sore ini dengan tergesa kaki ini melangkah menyeberang jalan. Karena tidak konsentrasi menyeberang, hampir saja aku tertabrak sebuah mobil.

Awalnya perempuan cantik pengemudi mobil itu mengumpat dengan kata- kata kasar, tetapi sesaat kemudian sikapnya berubah baik dan lembut. Ia bahkan meminta nomer ponselku.

Perempuan cantik itu ternyata bernama Ana Darmayanti Sutedjo. Apakah mungkin ia adalah putri dari seorang konglomerat Darmayudha Sutedjo?

Siapa yang tidak tahu nama besar pengusaha kaya raya itu. Bahkan dulu, aku sempat magang disalah satu anak cabang perusahaan konglomerat Darmayudha Sutedjo.

Anganku tiba- tiba melayang, mengingat pertemuan tidak disengaja dengan Mbak Ana. Muncul sedikit harapan baru, barangkali ia berkenan memberiku bantuan pekerjaan.

Mencari pekerjaan ternyata sangat sulit, walaupun ijazah Sarjana Ekonomi kukantongi.
Saat pikiran ini sedang berkelana tiba- tiba ponselku bergetar tanda panggilan sesorang masuk.

Benar saja nama Mbak Ana sedang memanggil. Segera kuterima panggilan itu.

"Halo Airin, apa aku menganggumu?"

"Oh tidak Mbak Ana."

"Syukurlah kalau begitu. Apa bisa kita bertemu besok jam 16.00, Airin?"

"Bisa Mbak."

"Ya sudah kalau begitu, kutunggu besok sore di alun- alun kota ya."

"Baik, Mba."

Panggilan masuk pun terputus. Ada sedikit rasa senang kurasakan. Semoga saja Mbak Ana bisa membantuku mendapatkan pekerjaan.

Tidak sabar rasanya menunggu pagi. Bahkan sekarang mungkin aku bisa tidur dengan sedikit rasa tenang. Semoga saja aku benar- benar mendapatkan pekerjaan itu. Mengingat uang yang kupunya semakin menipis. Akhirnya kurebahkan tubuh ini ke kasur tipis di kamar kost dengan pikiran yang sedikit lebih tenang. Mencoba memejamkan mata. Tetapi entah mengapa justru bayangan wajah Baskoro yang muncul. Aku terduduk dengan keringat dingin yang membasahi pelipis.

Mengingat Baskoro, membuat rasa penyesalan tersendiri. Mengapa harus meninggalkan lelaki sebaik dia. Baskoro laki- laki yang tampan, berbudi pekerti luhur, sopan, ramah, dan humoris. Badannya atletis dengan kulit kuning langat dan tatapan teduh. Tetapi apakah dia juga masih mau menerimaku dengan kondisi yang begini.
Mungkin saja jika pernikahan itu tetap terlaksana, diapun tetap akan menolakku karena janin yang sudah ada di rahim ini.

Memikirkan itu kepala ini terasa pusing lagi. Ah...biarlah apa pun yang sudah terjadi maka terjadilah. Mungkin memang belum ada jodoh diantara kami. Semuanya harus berakhir seperti ini.

***

Waktu yang kunantikan akhirnya datang juga. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, bergegas kuayunkan kaki melangkah ke arah alun- alun kota. Duduk di sebuah bangku panjang yang ada di sana, menunggu kedatangan Mbak Ana.

Sekitar sepuluh menit ia diantarkan oleh seorang supir, lelaki paruh baya yang kuketahui bernama Pak Dirman. Mbak Ana langsung duduk di sampingku. Ia terlihat masih memakai jas putih, khas gaya seorang dokter. Atau jangan- jangan Mbak Ana memang seorang dokter?

"Sore Airin, sudah lama menunggu?"

"Oh, tidak Mbak baru sebentar."

" Ya, syukurlah. Ada beberapa berkas tadi yang harus kuselesaikan sebelum ke sini makanya agak lambat."

"Oh, tidak apa- apa Mbak. Mbak Ana ini seorang dokter ya?"

"Benar. Aku seorang dokter muda dan sekarang mengelola rumah sakit milik Papah."

"Maaf kalau boleh saya tanya, apa Mbak Ana anak dari konglomerat Darmayudha Sutedjo?"

"Dari mana kamu tahu, Airin?"

"Cuma nebak saja, Mbak. Menyimpulkan sendiri dari nama belakang, Mbak."

"Benar sekali tebakanmu. Jadi kau juga mengenal sosok Papahku?"

"Tidak mengenal terlalu jauh, Mbak. Bahkan melihat secara langsung orangnya juga tidak pernah. Dulu saya pernah magang disalah satu perusahaan cabang milik Papah, Mbak."

"Oh,begitu. Terus kamu sendiri di Solo ini bekerja atau bagaimana?"

"Panjang ceritanya, Mbak."

"Cerita saja, Airin. Barangkali aku bisa bantu."

"Benarkah, Mbak?"

"Ya..."

"Aku ini aslinya Wonogiri, Mbak. Aku sengaja kabur dari rumah sebelum akad nikah dengan seseorang. Dia seorang dokter di sini, Mbak."

"Benarkah?"

"Iya, aku kabur karena sedang mengandung janin laki- laki lain. Sekarang aku tidak berani pulang ke rumah orang tuaku. Aku putuskan akan tetap mempertahankan janin ini."

"Lalu bagaimana dengan kabar mantan calon suamimu, apa dia mencarimu?"

"Aku tidak tahu, Mbak."

"Kalau boleh aku tahu siapa nama calon suamimu?"

"Namanya Baskoro Cahyo Purnawan, Mbak"

Entah mengapa mendengar nama itu mendadak wajah Mbak Ana berubah tegang. Bahkan wajah itu terlihat pias sekarang. Untuk beberapa saat kami hanya saling diam. Kemudian wajah Mbak Ana kembali datar.

Pandangannya memandang jauh ke depan. Kemudian ia kembali membuka suara.

"Lalu apa tujuanmu selanjutnya, Airin?"

"Aku ingin mencari pekerjaan untuk menyambung hidup, Mbak. Maaf, bila Mbak berkenan bisakah memberiku pekerjaan?"

"Baiklah, besok pagi jam 07.30 datanglah ke rumah sakitku. Temui bagian personalia, bilang aku yang merekomendasikanmu diterima bekerja. Kebetulan ada posisi kosong dibagian administrasi."

"Benarkah, Mbak? Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak."

"Oke, kalau begitu aku permisi dulu."

"Baik, Mbak."

Akhirnya Mbak Ana pun pergi. Tinggallah aku yang masih merasa tidak percaya. Betapa mudahnya mendapatkan pekerjaan dari seorang Mbak Ana. Padahal ia baru saja kukenal kemarin sore.

Mungkin saja ia memang orang yang sangat baik hati. Dalam hati aku mengucap rasa syukur. Masih ada orang sebaik Mbak Ana yang mau membantuku.

Andai tidak ada pertolongannya, entah bagaimana, pasti aku akan terlunta- lunta di Solo dengan persediaan uang yang semakin menipis.

Kembali ke tempat kost dengan hati yang berbunga- bunga. Tidak sabar menanti hari esok. Menyambut hari pertama aku mulai bekerja.










Jodoh Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang