Bab 2 Kecewa

3.9K 148 3
                                    


Baskoro

“Ketika hatimu terluka karena makhluk-Nya, ikhlas dan bersabarlah. Biarlah kuasa-Nya yang menyembuhkan lukamu.”


Sungguh tak pernah terpikirkan Airin akan memperlakukanku seperti ini. Harga diri sebagai seorang laki-laki telah diinjak-injak olehnya. Jika tidak karena kedua orang tua kami sudah bersahabat sejak kecil, lebih baik membatalkan pernikahan hari ini.

Kedua orang tua Airin juga terlihat sangat malu dan kecewa. Mereka lantas memintaku mengikutinya ke ruang tengah. Mata Abah Airin terlihat berkaca-kaca, begitu juga dengan uminya. Lelaki paruh baya itu bahkan rela menjatuhkan harga dirinya demi putrinya yang tidak tahu sopan santun.

“Maafkan Bapak, Nak. Bapak gagal mendidik,” ucapnya terbata-bata.

Aku terdiam tanpa bisa berkata apa pun. Dada ini terasa sesak dengan kekecewaan, emosi, bahkan rasa malu. Kemudian Burhanudin kembali membuka suaranya yang parau karena isakkan tangis yang tertahan.

“Menikahlah dengan Nilam Sari, Nak,” ucap Pak Burhanudin kemudian. Kepala ini terasa pusing sekarang. Di luar rombongan keluarga dan para tetangga sudah lama menunggu di ruang tamu. Penghulu juga sudah datang satu jam lalu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang saling berbisik, mempertanyakan mengapa akad nikah belum juga dimulai.

Umi Airin perlahan mendekat ke arah kami, ia merangkul pundakku dan terisak.

“Maafkan Airin, Nak. Menikahlah dengan Nilam, anak kami yang bungsu! Meskipun dia masih belia, tapi ibu yakin dia bisa jadi istri yang salehah,” pinta Umi Airin dengan mata berkaca-kaca.

Sementara Ayah dan ibuku hanya menyimak pembicaraan kami, tetapi sorot mata mereka seolah mengisyaratkan tanda persetujuan. Aku menghela napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan. Dengan mantap akhirnya kusanggupi permintaan mereka. Semua ini demi kehormatan dan menutupi aib kedua keluarga.

“Baiklah, Pak. Nikahkan saya dengan Nilam Sari,” ucapku mantap.

Setelah itu kami berjalan beriringan menuju ruang depan yang sudah dihias layaknya tempat resepsi perkawinan. Penghulu dan orang-orang yang ada di sana  menghela napas lega. Ijab qobul kulafazkan dengan nama mempelai wanita yang berubah. Untung saja dalam satu tarikan napas bisa mengucapkannya tanpa ada kesalahan. Kulirik wajah Abah dan kedua orang tuaku terharu dan menitikkan air mata.

Hati ini masih gerimis dan gelisah, mendapati pengantin perempuan tak kunjung turun ke bawah. Perasaan was-was kembali menghantui, mungkinkah dia juga kabur sekarang? Berbagai prasangka berseliweran di otak. Apa wajah ini sedemikian menakutkan bagi wanita? Hingga mereka meninggalkanku bahkan menjelang akad nikah.

Gadis belia bernama Nilam Sari itu kini telah sah menjadi istriku, perlahan ia berjalan menghampiri dengan lengan yang digandeng Uminya. Ia memakai gaun pengantin berbentuk kebaya modern berwarna putih. Wajahnya terlihat ayu dengan riasan yang natural. Bahkan jika kutatap lebih dekat, Nilam lebih ayu jika dibandingkan dengan Airin. Hidungnya mancung dan berlesung pipit.  Dulu saat aku datang ke sini, tepatnya setahun yang lalu, gadis ini masih duduk di bangku SMA kelas dua.
Saat itu kami hanya sempat berjabat tangan dan berbalas senyum. Nilam yang kala itu baru pulang dari sekolah menyalamiku di ruang tamu, sebelum akhirnya dia meminta izin masuk ke dalam kamarnya.

Menurut cerita Airin, Nilam gadis yang pemalu dan tergolong siswa berprestasi di sekolahnya.

Sungguh jodoh, umur, dan rezeki memang rahasia Tuhan. Aku yang direncanakan menikah dengan kakaknya, tetapi justru menikahi adiknya. Sedangkan hubunganku dengan Airin cukup dekat. Kami sudah berteman sejak kecil, bahkan akhirnya satu almameter hanya beda fakultas. Saat itu aku memilih Fakultas Kedokteran, sedangkan Airin memilih Fakultas Ekonomi. Karena faktor usia yang sudah matang untuk berumah tangga, akhirnya kuberanikan diri mendekati Airin. Tujuan hati tidak lagi ingin berpacaran, melainkan langsung  membawanya ke jenjang pernikahan.

Kutatap mata Nilam dari dekat. Kudapati mata itu terlihat sembab, ciri khas orang yang lelah menangis. Bahkan saat tamu undangan menyalami masih menitikkan air mata. Mendapatinya demikian hatiku terasa perih. Merasa kasihan dan entahlah perasaan apa. Tetapi takdir sudah berkata lain, Nilam sekarang adalah istriku yang sah. Aku bertekad akan membuatnya mencintaiku. Seperti halnya aku yang akan terus belajar mencintainya. Toh kenyataannya apa yang kita pikir baik, ternyata belum tentu menurut pandangan-Nya. Kupikir Airin adalah jodoh dari-Nya, tetapi kenyataannya  justru Nilam jodohku.

Sekarang di kamar pengantin ini kami bersama. Dengan perasaan yang entah bagaimana macamnya. Antara canggung, gugup, atau belum terbiasa. Aku memperhatikannya yang sedang membersihkan bekas riasan di wajah.
Menyadari aku tengah menatapnya, wajah itu terlihat bersemu merah. Perlahan langkah kaki ini mendekat , tetapi justru tubuh ini didorongnya hingga terjungkal ke kasur dengan kepala bahkan kejedot pinggir ranjang,  aku meringis kesakitan.

Di luar perkiraan, Nilam tergopoh langsung mendekat dan mengelus pelipisku dengan tangan halusnya. Entah mengapa mendapat sentuhan tangannya membuat darahku berdesir lirih. Hawa panas menyelimuti tubuh. Disertai degupan jantung yang mulai berirama. Perasaan apa ini?

Ketika kuucapkan terima kasih sudah menyelamatkan dari rasa malu, Nilam justru terisak.  Aneh sekali rasanya.  Mungkinkah karena ia masih belia jadi emosinya masih labil atau memang sebenarnya ia belum siap menerimaku?

Binggung apa yang harus kulakukan, maka kaki ini melangkah mendekat ke arahnya dan berbisik.

“Maaf. Berhentilah menagis, percayalah suamimu ini tidak akan menyentuh sebelum kau benar-benar sudah menerimaku.”

Mujarab kata-kataku itu membuat isakan tangisnya mereda. Jujur aku paling lemah jika dihadapkan dengan wanita yang menangis. Kami salat sunah dua rakaat bersama sebagai amalan pengantin baru di malam pertama. Meskipun tak yakin akan terjadi malam pertama antara aku dan Nilam malam ini. Masih ada tembok yang membentang di antara kita. Tetapi kenyakinan mengatakan dengan kesabaran, menetesinya dengan air kasih sayang dan cinta, tembok di hati Nilam lambat laun akan hancur.

Setelah selesai melaksanakan salat sunah,  aku meminta izin untuk mencium ubun-ubunnya. Ia hanya mengangguk tanda setuju. Maka kucium pucuk ubun-ubunnya sambil merapalkan doa pengantin baru.
Entah mengapa bersentuhan kulit secara langsung dengannya, membuat napasku menghangat. Degupan jantung ini bahkan terdengar bertambah nyaring. Berulang kali aku harus menelan saliva untuk menetralisir perasaan aneh ini.

Bagaimanapun aku tetap lelaki normal, sekamar berdua dengan wanita yang sudah berstatus halal, pasti membangkitkan gairah biologis. Untuk menepisnya, segera melangkah menuju ranjang dan mengambil sebuah bantal lalu membawanya ke sofa.

“Tidurlah di ranjang, biar aku yang tidur di sofa. Bisa  khilaf aku jika harus seranjang dengan gadis manis sepertimu,” ucapku padanya.
Lalu kumerebahkan tubuh ini di sofa yang ada di kamar Nilam. Tidur di sofa membuat badan terasa pegal. Sebenarnya mata ini tak bisa dipejamkan sepanjang malam. Mengingat hasrat biologis yang belum tertuntaskan. Aku masih saja perjaka hingga usia 28 tahun dan hingga malam ini status perjaka sepertinya masih belum akan hilang. Nasib memang!

Sekuat tenaga menahan sendiri gejolak itu. Diam-diam aku terbangun dan berjalan mendekat ke arah ranjang. Kutatap wajah ayu Nilam dari jarak yang sangat dekat. Ia terlihat sudah terlelap dengan dengkuran halus. Entah mengapa menikmati lekuk demi lekuk wajahnya dari jarak yang sangat dekat membuat hati ini berbunga-bunga. Mungkinkah aku mulai jatuh cinta pada wanita halalku ini?

Nilam masih terlelap, bahkan sangat pulas. Mungkin ia memang kelelahan akibat acara resepsi tadi siang. Atau memang batinnya yang lelah, sehingga tenaganya pun ikut terkuras. Aku tidak ingin menganggu tidurnya. Hanya ingin menikmati kecantikan wajahnya dari dekat. Perlahan kuberanikan mengelus rambutnya yang hitam terurai, kemudian beralih membelai pipinya yang halus. Ingin sekali mencium bibirnya, tetapi ku urungkan niat itu. Teringat dengan janji yang tak akan menyentuhnya hingga ia sendiri yang meminta.

Untuk menghalau perasaan yang campur aduk, aku melangkah ke kamar mandi. Kuguyur rambut dengan air, mandi membuat pikiran sedikit rileks. Selesai mandi aku lantas merebahkan tubuh ini di sofa.

Berusaha memejamkan mata, berharap bermimpi yang indah bersama Nilam Sari, wanita halalku sekarang.

Jodoh Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang