IRENE POV
Meminjam helikopter adalah perkara mudah. Menaikkan ayahnya ke helikopter lah yang tidak gampang. Irene hanya perlu mengutarakan beberapa patah kata lewat megafon buatan Hoesok untuk meyakinkan sang pilot agar mendarat di gunung. Helikopter Jagawana berukuran cukup besar untuk evakuasi medis atau proses pencarian dan penyelamatan korban bencana, dan ketika Irene memberi tahu pilot jagawana yang teramat ramah bahwa menerbangkan mereka ke Bandara Oakland adalah ide hebat, wanita itu serta-merta setuju.
"Tidak," gumam ayah Irene selagi mereka naik, meninggalkan tanah. "Irene, apa-ada monster-ada monster-" Irene membutuhkan pertolongan Hoesok dan Taehyung untuk memegangi ayahnya, sementara Pak Pelatih Hedge mengumpulkan perbekalan mereka. Untungnya Hedge telah mengenakan celana dan sepatunya kembali, jadi Irene tidak perlu menjelaskan kaki kambingnya. Hati Irene hancur melihat ayahnya seperti ini-terdorong hingga melampaui titik kewarasan, menangis seperti anak kecil. Irene tidak tahu apa persisnya yang telah dilakukan si raksasa pada ayahnya, bagaimana para monster telah menghancurkan jiwa ayahnya, tapi menurut Irene dia takkan tahan jika tahu.
"Semuanya pasti baik-baik saja, Yah," kata Irene, membuat suaranya semenenangkan mungkin. Dia tidak mau menggunakan charmspeak untuk ayahnya sendiri, tapi sepertinya charmspeak adalah satu-satunya cara. "Orang-orang ini temanku. Kami akan menolong Ayah. Ayah aman sekarang." Ayahnya berkedip, dan memandang baling-baling helikopter.
"Bilah tajam. Mereka punya mesin dengan banyak sekali bilah tajam. Mereka punya enam tangan ..." Ketika mereka memapah ayah Irene ke pintu helikopter, sang pilot menghampiri untuk membantu.
"Kenapa dia?" tanya wanita itu.
"Menghirup asap," tukas Taehyung. "Atau kelelahan karena sengatan panas."
"Sebaiknya kita antar dia ke rumah sakit," kata sang pilot.
"Tidak apa-apa," kata Irene. "Bandara saja sudah cukup."
"Iya, bandara saja sudah cukup," sang pilot langsung setuju. Kemudian dia mengerutkan kening, seolah tidak yakin apa sebabnya dia berubah pikiran. "Bukankah dia Bae Eun Sik, sang bintang film?"
"Bukan," ujar Irene. "Dia cuma mirip bintang film itu. Lupakan saja."
"Iya," kata sang pilot. "Cuma mirip bintang film itu. Aku-" Dia berkedip, kebingungan. "Aku lupa apa yang kukatakan. Ayo berangkat." Taehyung mengangkat alis kepada Irene, jelas jelas terkesan, namun Irene merasa menderita. Dia tidak mau mengacaukan pikiran orang-orang, meyakinkan mereka akan hal yang tidak mereka percayai. Rasanya teramat sok dan keliru-seperti sesuatu yang bakal dilakukan Nay di perkemahan, atau Medea di toko serbaada jahatnya. Dan bagaimana pula charmspeak dapat membantu ayahnya? Irene tidak bisa meyakinkannya bahwa semua bakalan baik-baik saja, atau bahwa tak ada yang terjadi. Traumanya terlalu dalam. Akhirnya mereka menaikkan ayah Irene, dan helikopter pun berangkat. Sang pilot terus-menerus memperoleh pertanyaan dari radio, menanyakan dia hendak ke mana, tapi dia mengabaikan semuanya. Mereka menikung, menjauhi gunung yang dilanda kebakaran dan menuju Perbukitan Berkeley.
"Irene." Ayahnya mencengkeram tangannya dan berpegangan seakan takut jatuh. "Ini benar-benar kau? Mereka memberitahuku- mereka memberitahuku bahwa kau akan mati. Mereka bilang hal-hal buruk akan terjadi."
"Ini aku, Yah." Irene harus mengerahkan segenap tekadnya agar tidak menangis. Irene harus tegar demi ayahnya. "Semuanya pasti akan baik-baik saja."
"Mereka monster," kata ayahnya. "Monster sungguhan. Roh bumi, persis seperti dalam dongeng Kakek Tom-dan Ibu Pertiwi marah padaku. Dan si raksasa, menyemburkan api-" Dia memfokuskan perhatian pada Irene lagi, matanya seperti kaca pecah, memancarkan cahaya yang ganjil. "Mereka bilang kau demigod. Ibumu ..."
"Aphrodite," ujar Irene. "Dewi Cinta."
"Aku-aku-" Dia menarik napas dengan susah payah, lalu sepertinya lupa mengembuskannya lagi. Teman-teman Irene berhati-hati agar tidak menonton. Hoesok memain-mainkan mur dari sabuk perkakasnya. Taehyung menatap lembah di bawah-jalanan macet ketika para manusia fana menghentikan mobil dan memandangi kebakaran di gunung sambil melongo. Gleeson mengunyah puntung anyelirnya, dan sekali ini sang satir tidak terlihat antusias untuk berteriak-teriak atau menyombong. Bae Eun Sik tak seharusnya tampak seperti ini. Dia seorang bintang. Dia percaya diri, modis, memesona-selalu pegang kendali diri. Itulah citra publik yang diproyeksikannya. Irene pernah melihat citra itu terbuyarkan sebelumnya. Tapi ini lain. Kini citra tersebut hancur lebur, lenyap.
"Aku tidak tahu tentang Ibu," Irene memberi tahu ayahnya. "Tidak sampai Ayah diculik. Ketika kami menemukan di mana Ayah berada, kami langsung datang. Teman-temanku membantuku. Takkan ada yang menyakiti Ayah lagi."
Ayahnya tak bisa berhenti menggigil. "Kalian pahlawan-kau dan teman-temanmu. Aku tak percaya. Kau pahlawan sungguhan, bukan seperti aku. Bukan berakting. Aku bangga sekali padamu, Renes." Tapi kata-kata itu digumamkan dengan lesu, seperti ucapan orang yang setengah radar. Ayah Irene menatap lembah di bawah, dan cengkeramannya di tangan Irene mengendur. "Ibumu tak pernah memberitahuku."
"Dia bilang itulah yang terbaik." Alasan seperti itu kedengar-annya basi, bagi Irene sekalipun, dan charmspeak sebanyak apa pun tak bisa mengubahnya. Tapi Irene tidak memberi tahu ayahnya hal yang sesungguhnya dikhawatirkan Aphrodite: Jika dia harus menghabiskan sisa hidupnya dengan ingatan itu, mengetahui bahwa dewa-dewi dan roh-roh berjalan di muka bumi ini, kenyataan tersebut akan membuatnya remuk redam. Irene meraba-raba bagian dalam saku jaketnya. Vial itu masih berada di sana, terasa hangar saat disentuh. Tapi, bagaimana mungkin Irene menghapus memori ayahnya? Ayahnya akhirnya tahu siapa Irene sebenarnya. Ayahnya bangga padanya, dan sekali ini Irene adalah pahlawan bagi ayahnya, bukan sebaliknya. Ayahnya takkan mengirimnya pergi lagi sekarang. Mereka memiliki rahasia bersama. Bagaimana mungkin Irene mau kembali ke keadaan semula? Irene menggandeng tangan ayahnya, bicara kepadanya mengenai hal-hal kecil-waktu yang dihabiskannya di Sekolah Alam Liar, pondok di Perkemahan Blasteran. Irene menceritakan bagaimana Pak Pelatih Hedge memakan anyelir dan semaput di Gunung Diablo, bagaimana Hoesok menjinakkan seekor naga, dan bagaimana Taehyung membuat para serigala mundur hanya dengan berbicara dalam bahasa Latin. Teman-temannya tesenyum enggan saat Irene mengisahkan petualangan mereka. Ayah Irene tampaknya menjadi santai selagi putrinya berbicara, namun dia tidak tersenyum. Irene bahkan tak yakin apakah ayahnya mendengarnya. Selagi mereka melintasi perbukitan untuk menuju East Bay, Taehyung menegang. Dia mencondongkan badan sejauh mungkin ke luar ambang pintu. Irene khawatir dia bakal jatuh.
Taehyung menunjuk. "Apa itu?" Irene melihat ke bawah, tapi dia tidak melihat apa pun yang menarik-cuma perbukitan, hutan, rumah-rumah, jalan kecil yang mengular menembus jurang. Jalan bebas hambatan yang menembus bukit, membentuk terowongan penghubung East Bay dengan kota-kota yang lebih jauh dari pesisir.
"Mana?" tanya Irene.
"Jalan itu," ujar Taehyung. "Jalan yang menembus perbukitan." Irene mengambil helm komunikasi yang diberikan pilot kepadanya dan menyampaikan pertanyaan itu lewat radio. Jawabannya tak terlalu menggairahkan. "Dia bilang itu Highway 24," Irene melaporkan. "Itu Terowongan Caldecott. Memangnya kenapa?" Taehyung menatap jalan masuk terowongan lekat-lekat, tapi dia tak berkata apa-apa. Terowongan tersebut menghilang dari pandangan selagi mereka terbang di atas pusat kota Oakland, tapi Taehyung masih menerawang ke kejauhan, ekspresinya hampir sama resahnya seperti ayah Irene.
"Monster," ayah Irene berkata, air mata meninggalkan jejak di pipinya. "Aku hidup di dunia yang penuh monster."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adventures of The Demigods Season 2 #1(Bangvelt)
AventuraTujuh Demigod akan menjawab panggilan. Karena badai atau api dunia akan terjungkal. ... Tiga Demigod baru bergabung di perkemahan Blasteran. Taehyung yang tidak bisa mengingat jati dirinya, Irene yang penuh misteri, dan Hoseok dengan kemampuan meka...