The 7ᵗʰ Sin: 𝕾𝖑𝖔𝖙𝖍

1.6K 142 9
                                    

Turns out, Xiao Dejun adalah seorang dokter.

Siapa yang menyangka? Di lingkungannya, Dejun tampak seperti — dan memang adalah — seorang pemalas. Kerjaannya berbaring di atas sofa, menyetel televisi dengan volume cukup rendah dan mengemil beberapa bungkus makanan ringan serta beberapa kaleng soda. Adalah sebuah keajaiban tubuhnya tidak menjadi gempal, karena dengan gaya hidup serba malasnya, seharusnya ia sudah terkena obesitas sekarang.

Xiao Dejun, is the depiction of the last deadly sin: SLOTH.

 

 

"Ini adalah kasus terburuk yang pernah kulihat."

Mark berkedip, menatap sang dokter dengan mata penasaran. Ia tak mengerti maksud dokter itu. Mungkin leftover effect dari anestesi yang beberapa waktu lalu disuntikkan padanya, atau mungkin efek baru dari penghilang rasa sakit yang dimasukkan ke sistem tubuhnya bersamaan dengan cairan infus.

"Hummm?"

Dokter itu tersenyum, terlihat ramah dan baik. Oh, betapa Mark berharap, orang sepertinya lah yang masuk ke dalam hidupnya dan menaruh kasih padanya. Bukan orang-orang problematik yang beberapa bulan ini terus keluar masuk dalam hidupnya.

Siapa tadi nama dokter itu— ah, benar. Moon Taeil. Dokter Moon. Dokter bulan. Dokter yang merawat bulan? Apakah itu artinya Mark adalah bulan?

Mark terkekeh geli. Ah, sepertinya otaknya memang sedang korsleting.

"Dokter Moon. Anda dibutuhkan di ruang perawatan 110 sekarang."

"Ah," Dokter Moon mengangguk, sebelum kembali menatap Mark seraya tersenyum kalem, "Mark Lee, sementara ini, kau akan dijaga oleh Dokter Xiao Dejun, oke?"

Mark — di tengah keadaan setengah intoxicated — hanya terkekeh. Xiao Dejun? Sepertinya ia pernah mendengar nama itu. Bukankah tetangga lantai atasnya memiliki nama yang sama?

Pintu yang tertutup kembali terbuka, menampakkan sesosok pemuda terbalut jas dokter berwarna putih, dengan rambut setengah acak-acakan dan wajah mengantuk. Meski begitu, matanya memancarkan sinar yang menunjukkan bahwa ia paling tidak mengenal siapa yang berada di ruang rawat inap itu.

"Hm? Bukankah kau tetanggaku?"

Mark menatap Dejun, mata bulatnya berkilau. Dejun sedikit tersenyum melihatnya. Apakah ada yang lucu pada wajah Mark, sehingga pemuda itu tersenyum?

Eh, Mark juga tidak terlalu peduli — untuk saat ini. Pengaruh obat yang masih menjalar di tubuhnya membuatnya tak mampu berkonsentrasi barang sebentar saja pada keadaan sekitarnya.

Dejun menyeringai, sedikit tertarik.

 

 

Bukannya Mark tidak mensyukuri hidupnya saat ini, tapi ia akan mulai menginginkan kehidupan di mana ia tak tampak di mata orang-orang jika begini caranya.

Mark tahu, Dejun seperti mereka. Orang-orang problematik dengan mindset gila yang terus menyusup ke dalam hidupnya, semua memiliki sorot mata dan seringaian khas sepertinya. Tatapan mata tajam dengan kilat sadistik, seringaian menyeramkan yang tampak mematikan, dan otak yang mengusulkan hal-hal gila sekaligus tidak waras setiap kali masalah muncul dalam kehidupan mereka.

Mark merutuki hidupnya, yang dipenuhi ketidakberuntungan yang sangat tidak masuk akal. Hidupnya di bumi serasa seperti hidup di neraka, dengan iblis-iblis yang mengikutinya ke manapun ia pergi.

"Oh? Kau tampak pucat, Mark?"

"Tentu saja, bodoh," rutuk Mark dalam batinnya, "bagaimana bisa aku sehat, kalau penjagaku tidak becus seperti dirimu."

"Apa kau lapar, Mark?" Dejun menyeringai, menatap selang cairan infus yang terlepas, membasahi lantai dan pinggiran kasur. "Ah, tentu saja kau lapar. Infus itu seharusnya menjadi salah satu sumber nutrisimu, hm?"

"Sayang sekali, aku terlalu malas untuk memasang infus itu kembali."

Seharusnya Mark tahu, ditinggal oleh Dokter Moon dan diserahkan kepada Dejun, bukanlah pilihan baik.

"Aku juga terlalu malas untuk menegur perawat baru itu — siapa namanya? Liu Yangyang? Aku terlalu malas untuk menegurnya karena terus menghabiskan porsi makananmu. Lagipula, kau tampak lebih baik dalam keadaan seperti ini."

Oh, Dejun likes him just fine. But he likes Mark more if he looks sickly and pale, with shadows of death hanging on his face features.

Di saat-saat seperti ini, Mark selalu bertanya kepada Sang Sosok di Atas Sana. Apakah Mark memang ditentukan untuk tidak bahagia? Apakah Mark memang ditakdirkan untuk tinggal bersama orang-orang yang tidak waras? People with disturbed minds and sadistic glee?

'Kalau begini caranya,' Mark membatin dengan senyum miris, nafas berat dan putus-putus, 'lebih baik aku resign saja sekalian dari kehidupan ini.'

⸢ ii ⸥ sinners ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang