Thalia menarik tangan Sena ke arah tempat lain, lalu merengkuh tubuh sahabatnya itu penuh ketulusan. Di dalam dekapannya, Thalia kembali menangis, merasa sangat bersalah dengan sahabatnya yang cukup lama dilupakannya.
"Sena. Aku minta maaf. Aku enggak sadar, kalau selama ini aku terlalu fokus dengan Toni, sampai lupa kalau aku masih punya sahabat baik kaya kamu." Thalia meluapkan perasaannya, merasa sangat menyesali perbuatannya. Sedangkan Sena hanya tersenyum, lalu menarik tubuhnya dari rengkuhan temannya tersebut.
"Aku enggak apa-apa kok. Seharusnya aku enggak bilang itu dan pada akhirnya kamu tahu. Aku tadi terlalu kesal karena selama ini kamu cuma dibohongi sama Toni, aku enggak terima." Sena meneteskan air matanya, seolah bisa merasakan apa yang Thalia rasakan.
"Emmh ... terima kasih, Sena. Aku enggak tahu akan bagaimana aku tanpa kamu. Sekali lagi, terima kasih." Thalia merengkuh lembut kedua tangan teman baiknya itu, merasa sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Sena.
"Iya. Sudah, jangan nangis lagi. Cowok kaya Toni enggak pantas kamu tangisi. Tapi tadi dia bilang kalau kamu sudah punya pacar, terus kamu juga bilang, kalau cowok itu cuma pura-pura. Itu maksudnya bagaimana sih? Aku enggak paham, kamu enggak pernah cerita soal itu." Sena bertanya heran, merasa sangat penasaran akan hal itu.
"Sebenarnya, kemarin aku melihat Toni bergandengan tangan sama cewek cantik. Karena aku enggak mau terlihat lemah di depan dia, makanya aku langsung gandeng lengan cowok yang berjalan di depanku. Aku enggak tahu dia siapa, untungnya dia lebih cakep dari Toni. Dan untungnya lagi, dia enggak mengatakan apapun ke Toni, dia cuma diam kaya mau membantuku." Thalia menyunggingkan senyum mirisnya, merasa lucu saja bila mengingat kejadian konyol itu.
"Oh begitu? Tapi kamu tahu nama dia siapa?"
"Enggak tahu. Setelah aku bilang terima kasih, dia langsung pergi. Padahal aku juga mau tahu nama dia." Thalia tertunduk lesu, merasa menyesal belum mengetahui nama lelaki baik yang sudah membantunya itu. Meski sebenarnya, Thalia merasa pernah melihatnya entah di mana.
"Dia kuliah di sini kan? Enggak akan susah cari dia."
"Iya sih. Aku juga kaya pernah lihat dia, mungkin di kampus ini." Thalia menjawab seadanya, yang hanya Sena anggukki. Sampai saat ponselnya berdering, menandakan ada telepon masuk. Tanpa menunggu lagi, Sena langsung mengambil ponselnya di dalam tasnya lalu melihat siapa yang sedang menghubunginya.
"Kak Sean?" ujarnya syok, terlebih lagi panggilan itu bersifat video, tentu saja Sena merasa belum cukup siap untuk menerimanya.
"Kak Sean video call kamu?"
"Iya nih. Mana mukaku lecek banget." Sena mengeluh frustasi sembari memperbaiki tatanan rambutnya.
"Coba aku perbaiki rambut kamu." Thalia mencoba membantu Sena, setelah merasa cukup, Thalia mengacungkan kedua jempolnya ke arah Sena yang mengangguk mantap.
"Halo, Kak Sean." Sena menyapa hangat sembari melambaikan tangan kanannya dan berbagi layar dengan Thalia yang juga ingin menyapa idolanya itu.
"Halo, Kak Sean. Aku Thalia, masih ingat kan?" sapanya tak kalah hangat, namun di layar ponsel itu, idolanya justru melipat keningnya seolah ada yang salah dengan penglihatannya.
"Kenapa lo bareng Sena?"
"Memangnya kenapa? Aku kan temannya."
"Itu mengganggu privasi gue sama Sena. Pergi sana!" Sean mengeluh sebal, yang ditatap tak percaya oleh Thalia. Berbeda dengan Sena yang tersenyum kaku, merasa tidak enak hati dengan Thalia yang terlihat kesal.
"Kak Sean jangan begitu! Thalia kan temanku." Sena mencoba mendinginkan suasana di antara idola dan sahabatnya itu.
"Terserah lah." Sean menjawab tak acuh, membuat Thalia kesal terlihat dari caranya mundur tanpa mau berbagi layar dengan Sena.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Most Beautiful Fan (TAMAT)
Romance"Selama ini, aku bekerja keras menjadi aktor. Memposisikanku sebagai selebritis terkenal ke dalam pusaran dunia perfilman. Kamu tahu karena apa aku mau melakukannya?" "Karena aku ingin kamu terus melihatku tanpa bisa melupakan ku. Tapi sekarang, kam...