Kemunculan Pertama

733 69 14
                                    

"Sya!" Sachi memanggil Natasya yang baru saja keluar dari ruangan pak Yanuar. Natasya menoleh sekejap, lalu melanjutkan berjualan menuju ruang mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi. Di belakangnya, ada Fafa yang mengikuti.

"Kelompok kita ditunjuk nggak?" Sachi menyejajari langkah Natasya yang seperti terburu-buru.

Natasya bergeming. Pandangannya lurus ke depan, melirik Sachi pun tidak.

"Aman kok, Chi. Tadi giliran kelompok Rizka sama temen-temennya." Fafa yang menjawab pertanyaan Sachi.

"Alhamdulillaah. Lega, deh," jawab Sachi sambil mengelus dadanya.

"Anak mbak Izza udah lahir, Chi?"

Sachi menggeleng. "Tadi baru bukaan enam. Mas Riko belum ngabarin lagi. Belum lahiran berarti."

Langkah Natasya makin cepat. Fafa dan Sachi tergopoh mengikutinya dari sisi kanan dan kiri.

"Sya, kok buru-buru banget?" Sachi masih berusaha menegur Natasya.

"Iya, kita jadi kesusahan nyusulnya," keluh Fafa.

Natasya mendadak berhenti. Dua gadis di Samping kanan kirinya ikut berhenti dengan terkejut. "Eh, nggak ada yang nyuruh kalian ngikutin aku, kok. Kalo mau ngobrol, iya udah, ngobrol aja!" ujar Natasya galak. Ia berlalu meninggalkan kedua sahabatnya yang terpaku.

Di ruangan mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi, ia duduk menjauh. Lewat teman-temannya, Sachi memberikan kertas yang berisi gambar lawakan untuk membuat Natasya tertawa. Sayang, kertas itu berakhir kusut di antara buku jari gadis itu.

Di akhir kelas pun, Natasya memilih berjalan pergi sendiran tanpa menoleh.

"Yah, Tasya kabur, Chi," keluh Fafa.

Sachi mengikuti arah pandang Fafa. Ia mengendikkan bahu lalu kembali merapikan alat-alat tulisnya. "Seminggu ini Tasya jutek banget. Kamu ngerasain nggak, Fa?"

Fafa mengangguk. "Iya. Lebih jutek dari biasanya. Aku yang sering kena bentak kalo kamu pulang duluan."

"Emang ada apaan, sih? Dia yang ada masalah, kita yang ikut ketimpa sialnya. Lagian kalo emang ada masalah, tinggal cerita ke kita aja. Daripada diem-diem gitu, akhirnya pusing sendiri, deh."

"Kayaknya gara-gara Dirga, deh, Chi."

"Kenapa emang?" Sachi memasang ranselnya, bersiap meninggalkan ruang kelas. "Lagian kan biasanya juga dia nyerocos curhat, nggak peduli pendengarnya bosen atau nggak."

Fafa berjalan menyejajari langkah Sachi. "Dirga komen-komenan di IG sama cewek, terus Tasya bete."

"Lha, bebas dong Dirga mau ngapain aja. Kan mereka udah putus."

"Tapi Tasya masih sayang, Chi. Dia masih berharap. Dia masih rajin stalking. Foto-foto mereka berdua aja masih ajeg bersarang di hp Tasya. Nama di buku teleponnya juga masih 'Dirgaku'."

"Oooh, derita dia, deh! Orang berkali-kali dikasih tahu buat buruan move on, malah menikmati penderitaan. Eh, aku mau ngadep pak Yanuar. Berabe kalo ngga masuk tanpa kabar gini."

"Yaudah, aku ke perpus, ya. Daaaah!"

"Oke, nanti aku nyusul ke sana," balas Sachi sambil melambaikan tangannya.

**

Pak Yanuar, yang mungkin sedang dalam kondisi hati yang baik, memberikan Sachi keringanan tentang ketidakhadirannya pagi tadi. Meskipun harus ditebus dengan tugas pengumpulan jurnal organisasi nirlaba, yang ditentukan sendiri oleh pak Yanuari, yaitu Jurnalistik, yang merupakan salah satu UKM di Fakultas Ekonomi. Sachi menerimanya dengan lapang dada mengingat sang dosen biasa lebih kejam pada teman-teman kuliahnya yang lain.

Hana SachikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang