Nasihat Ibu

388 51 14
                                    

Sachi menutup pintu kamarnya lalu melompat ke tempat tidur. Ia kesal. Sudah mengeluarkan tenaga untuk menolong, justru bentakan ia dapat sebagai balasannya.

Kedatangan Riko langsung disambut omelan istrinya. Meski samar, Sachi bisa mendengar dari kamarnya.

"Aku dari beli sate. Barangkali kamu laper malem-malem, Sayang."

"Pamit kek, apa kek."

"Kamu tidur tadi, Sayang. Dari sore juga kan kamu bilang ngantuk."

Entah apa lagi yang didebatkan pasangan itu, Sachi memasang earphone dan memutar daftar lagu kesayangannya. Suara Billie Eilish lah sekarang satu-satunya yang telinganya tangkap. Mulutnya mengikuti lirik lagu meski pun tanpa suara yang keluar.

Sachi mendongak ketika Riko masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Di tangannya ada Ahimsa yang matanya masih terbuka lebar. Satu tangan laki-laki itu menarik kabel ear phone dari telinga Sachi.

"Kamu mau makan lagi? Aku beli sate ayam. Izza juga lagi makan."

Sachi menggeleng tanpa menatap lawan bicaranya.

"Kita yang sehat banyak maklumin Izza, Chi. Hormonnya lagi nggak seimbang setelah lahiran. Emosinya jadi nggak kekontrol. Dia kan juga habis berjuang bertaruh nyawa. Hamil 9 bulan, dilanjut lahiran, sekarang masih harus nyusuin. Cape rasanya, Chi," jelas Riko lembut. Jelas, ia tidak ingin istrinya mendengar kalau dirinya sedang dibicarakan.

"Udah resiko nikah, kan?" Sachi masih belum mau menatap Riko. Wajahnya masih jauh dari belas kasih.

"Kamu bener. Itu resiko perempuan yang sudah menikah. Kamu juga nanti ada di posisi Izza, kan?"

Sachi bergeming. Ia memainkan ujung guling.

"Coba kamu inget-inget waktu Izza ngidam dulu. Muntah-muntah sampe pucet, sampe nggak ada yang bisa dimuntahin karena perutnya kosong. Apa dia ngeluh dan minta kita buat maklum? Semua kerjaan rumah masih tetep rapi. Dia tetep ngantor, ngadepin nasabah. Semangatnya luar biasa, Chi."

"Aku sendiri belum bisa jadi suami yang baik buat Izza, papa yang baik buat dedek, dan kakak yang baik buat kamu. Tugasku di sini adalah bikin suasana rumah tetep kondusif dan penuh kekeluargaan. Adu urat itu cape, Chi. Nggak ada enaknya."

Riko membawa Ahimsa keluar kamar Sachi lagi. Ia menutup pintu dengan pelan.

Kantuk Sachi tiba-tiba enyah. Pidato Riko masih terngiang jelas, bahkan setiap kata. Perutnya mulai berisik. Sudah 4 jam sejak ia makan malam tadi. Terbayang sate ayam yang Riko bawa. Sayang, gengsinya terlalu tinggi untuk diobral. Ia memilih menikmati nyanyian cacing dalam perutnya.

***

Harusnya Sachi bisa dengan lancar menjelaskan. Sudah sekian Minggu malam ia berkutat dengan materi itu. Dari mulai menghafal, sampai memahami, ia yakin itu. Namun berkali-kali ia harus meralat ucapannya karena terbalik antara definisi akuisisi dan merger; metode biaya dan metode ekuitas. Terakhir, Natasya harus membantu memberikan tambahan penjelasan Sachi yang kurang lengkap atas pertanyaan dari salah satu mahasiswa tentang ilustrasi proses konsolidasi.

Materi Akuisisi Antar Perusahaan dan Investasi pada Entitas Lain pun sudah selesai dipresentasikan. Pak Yanuar sudah meninggalkan kelas, diikuti oleh beberapa mahasiswa yang lain. Dalam diam, Sachi meng-eject kabel USB yang menghubungkan antara laptopnya dan LCD proyektor lalu mematikan laptop.

"Semoga pak Yanuar kasih kita nilai maksimal ya, Genk, walaupun tadi ada materi yang kebalik-balik dan jawaban yang hampir fatal salahnya," ucap Tasya sambil memainkan ponselnya. "Harusnya sih, penguasaan materi nggak perlu diragukan lagi. Secara kan setiap malam Senin kita baca ulang. Tapi ya nggak tahu juga sih, ya. Aku kan nggak bisa mantau kegiatan setiap anggota kelompokku."

Hana SachikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang