Martabak Pisang Keju

507 57 14
                                    

Sachi selesai mencuci piring bekas makan malam. Ia merebus sedikit air dengan ceret untuk membuat cokelat panas. Ia akan mulai mencari materi untuk tugas dari pak Yanuar. Gara-gara Tasya tadi, ia belum sempat mencari tahu nama teman-temannya di UKM Jurnalistik.

Ia membawa gelas cangkirnya ke kamarn. Langkahnya terhenti ketika mendengar ketukan di pintu utama. Ia meletakkan gelas cokelatnya di meja makan, lalu menuju menyambut tamu yang datang.

Takut hanya berhalusinasi, Sachi mengedipkan matanya berkali-kali untuk meyakinkan pandangannya.

"Kamu ... kenapa bisa tahu alamatku?"

Laki-laki di depannya tersenyum puas. "Aku pernah ke sini dulu, waktu jemput ... Tasya," jawabnya sambil tersenyum lebar.

"Oooh iya, hehehe. Aku ... nggak inget," jawab Sachi apa adanya. "Eee
... kamu bawa apa, Ga? Kok besar banget?"

"Hadiah buat keponakan kamu yang baru lahir." Dirga menyerahkan kotak besar yang dibungkus rapi pada Sachi. Gadis itu menerima dengan susah payah, berusaha agar tangannya tak menyenggol tangan Dirga.

"Eh, masuk dulu, ayo!" Langkah Sachi diikuti Dirga. "Aku panggil kakakku, ya."

"Tunggu, Chi! Ini, buat kamu." Dirga menyerahkan kantong kresek berwarna putih dan sedikit hangat.

"Ini ... apa?"

"Martabak pisang keju, kesukaan kamu, kan?"

Sachi ternganga. "I-iya. Kok bisa tahu aku suka ini?" Sachi menerima dengan wajah penuh tanda tanya.

Dirga hanya menjawab dengan senyuman. Perlahan Sachi berjalan mundur lalu mengetuk kamar Riko dan Izza.

"Ada tamu," kata Sachi setelah membuka pintu kamar. Kedua kakaknya sedang berbaring sambil berpelukan. Ia sudang sering melihat pemandangan macam ini.

"Siapa?" Riko bangun dari rebahannya.

"Dirga."

"Dirga siapa?" tanya Riko.

"Dirga anu, eee ... Dirga temen aku."

Riko dan Izza berpandangan. "Loh, ngapain temen kamu mau ketemu aku?"

"Anu ... dia ... mau nengok Ahimsa. Dia bawa kado."

"Terus kenapa kamu ngeremet tangan kamu? Salah tingkah?" Izza sudah duduk sekarang.

Sachi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Anu ... itu jelasinnya nanti aja. Ayo, ke depan, dia nungguin," pinta Sachi.

"Yuk, Za!" ajak Riko pada istrinya.

"Aku bikin minum dulu." Sachi bergegas ke dapur. Antara gugup dan khawatir yang ia rasakan. Kemunculan Dirga dan serangan perhatiannya sedari siang membuat Sachi tidak habis pikir.

Ia bergerak gelisah, mondar-mandir selagi menunggu air mendidih. Di 3 cangkir, ia sudah menyiapkan gula dan teh celupnya. Berkali-kali ia membuka tutup ceret dan mendesah kesal ketika air yang dinantinya belum juga mendidih.

"Temen kuliah Sachi?" Suara Riko terdengar sampai ke dapur.

"Kakak kelas, Mas. Udah 2 tahun lulus. Sekarang kerja di notaris."

Asap yang keluar dari ceret membuat Sachi tidak lagi memfokuskan pendengarannya dengan obrolan di ruang tamu. Ia memilih konsentrasi menyeduh teh panas.

3 cangkir teh sudah siap di atas nampan. Ia berjalan pelan menghindari suara gelas dan pisin yang beradu agar tidak membangunkan keponakannya. Begitu melihat tumpukan air mineral gelas yang tadi sore ia susun di nampan, ia merasa bodoh.

"Eh, si bibi bikinin aer minum. Makasih ya, Bi."

Sachi meringis meremas pinggiran nampan. "Sama-sama, Nyonya. Kalo kemanisan, jangan salahin tehnya, salahin saya aja yang udah dari sononya manis."

Hana SachikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang