Tamu yang Diharapkan

519 62 15
                                    

Bentaaaaaaar!
Sebelum lanjut baca sampe bawah, vote dulu yooook buat hadiah aku nulis.
😗😗😗😗

-------------------------------------

"Hah? Ngedate?" pekik Fafa histeris.

Sachi menelungkupkan telapak tangannya pada mulut Fafa. "Diem, bego!" makinya dengan tatapan mata yang membunuh.

Masih dengan matanya yang melotot dan mengabaikan peringatan Sachi, Fafa kembali berbicara dengan suara keras setelah berhasil menyingkirkan tangan Sachi dari wajahnya. "Bener kan dia lagi pedekate?"

"Nggak usah teriak-teriak, Fafa!" desis Sachi. "Udah dikasih tahu juga," dengusnya sebal. "Itu Natasya kupingnya normal," tunjuknya pada Natasya yang duduk di deretan terdepan. "Bahaya kalo dia tahu."

"Terus, kamu mau ngedate sama dia?" Fafa sudah berbicara dengan suara normal.

"Ya ... aku iya-in aja biar cepet."

"Biar cepet apa? Cepet jadian?"

Sachi menoyor kepala Fafa. "Cepet udahan teleponnya. Dia itu telepon waktu aku nikmat-nikmatnya tidur siang. Sebel banget rasanya diinterupsi begitu. Makanya aku iya-in biar cepet kelar."

"Awas loh, dia nembak kamu di sana. Cieeeeee ... yang bentar lagi nggak jomlo lagi," ujar Fafa sok tahu.

Sachi menarik rambut Fafa kali ini. "Amit-amit. Hih!" jawabnya sambil pura-pura bergidik.

"Coba bayangkan kalo Dirga itu bukan mantan Tasya. Dalam keadaan orang senarsis itu, kamu mau pacaran sama dia?"

Sachi memandang Fafa lekat-lekat. Ia berpikir keras mencari jawaban yang paling logis. "Setiap orang pasti punya kelebihan, Fa. Termasuk Dirga."

"Dengan kata lain, di balik narsisnya, pasti ada sikapnya yang menyenangkan dan bikin kamu akhirnya nyaman dan jatuh cinta. Begitu, kan?" serang Fafa.

"Ya nggak gitu juga, Fa!" Kali ini Sachi yang berbicara dengan suara keras. Beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya, tepat dengan kedatangan dosen mereka.

"Ati-ati loh, Chi. Secara teori, cewek itu gampang banget ngerasa nyaman," ujar Fafa sambil membuka hand outnya.

***

Kuliah jam terakhir sudah usai. Sachi bergegas menuju tempat parkir. Ia sungguh ingin pulang, berganti pakaian dengan celana pendek kesayangannya dan menikmati semilir angin dari kipas di kamarnya.

Novel pinjaman dari perpustakaan plus segelas es sirup akan menjadi pelarian yang pas dari panasnya kampus hari itu. Begitu teringat akan keponakannya yang mungkin saja tengah merengak dan Izza yang butuh bantuan, Sachi jadi malas pulang.

Ia memutar otak mencari satu tempat pelarian agar tak pulang ke rumah, tapi percuma rasanya. Ia merasa lelah. Ia butuh kamarnya, kasurnya, dan baju santainya.

Laju motornya yang ia buat sepelan mungkin pun berakhir juga di depan pagar rumahnya. Satu sedan silver yang terparkir menandakan ada tamu. Sachi berdecak sebal. Istirahatnya benar-benar akan gagal. Keberadaan tamu berarti ia akan membantu Izza menggendong Ahimsa sementara kakaknya itu akan mengobrol seru dengan tamunya.

"Alamat disuruh gendong, deh," gerutunya.

Sachi mengarahkan motornya ke tempat parkir di samping mobil Riko. Mobil tersebut memang hanya digunakan untuk keperluan keluarga. Untuk ke kantor, Riko memilih motor besar yang sudah ia miliki sedari awal bekerja di bank.

Sachi menghampiri rak sepatu untuk menaruh miliknya di sana. Masih tanpa melepas helm dan wajah tertekuk, ia memasuki ruang tamu.

"Mbak Rani!" Begitu nelihat siapa yang datang, Sachi memekik. Ia melepas helm dan menaruhnya asal ke lantai di bawahnya. Ia menghambur ke pelukan Nurani yang berdiri untuk menyambutnya. Terlalu bersemangat, Sachi berjingkrak dan menggoyangkan tubuh Nurani seirama dengan pelukannya.

Hana SachikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang