Chapter 1 | How to Keep Your Arisan

19 1 0
                                        

Suara tangisan bayi dalam stroller membuat keempat wanita yang duduk di sofa L di salah satu meja kafe menoleh. Hampir bersamaan mereka menghela napas. Salah satu dari mereka, perempuan bongsor berambut pendek sebahu dan berkulit kuning langsat berdiri. Dia melihat ke arah pintu.

"Eh, Kev lama amat, sih?" katanya resah lalu kembali duduk. "Ah, tau gini gue balik aja, nerusin kerjaan. Untung laki gue masih di luar kota, jadi nggak perlu repot mikir dia siang ini makan apa."

Gianna terkekeh sambil memeriksa kuku tangannya yang baru saja dicat. "Your idea of being alive is so weird, Dira. Aslinya mah isinya drama Korea, alibinya aja kerja." Gianna merapikan rambut panjangnya yang kecokelatan. Kulitnya putih pucat, paling pucat di antara mereka semua. Saking putihnya, wajahnya pun terkesan merah muda, khas blasteran yang cantiknya selalu tampak effortless.

"Daripada hidup lo isinya story romantis tiap dua jam, Gi. Lo tuh baru nikah, bukan syuting sinetron kejar tayang," celetuk Dira sambil mengangkat alis.

Gianna nyengir. "Sorry not sorry, hidup gue emang sinetron, tapi yang high rating, obviously."

"Ra, sabar sedikit, paling sebentar lagi Kev nyampe. Kita kan tahu si Kev sibuknya kayak apa?" kata perempuan berhijab pashmina di sampingnya. Dengan lembut Syifa menimang anaknya setelah mengangkatnya dari baby chair. "Kev baru buka cabang kafe di Tebet, belum ada seminggu. Belum lagi bisnis florist & gift shop dia yang lagi rame-ramenya. Pasti dia membelah jalanan buat mantau itu semua."

"Ya kita juga sibuk kali buat kumpul hari ini. Nggak dia doang." Dira mendengus. "Anak lo aja udah bosen, Syif. Tuh nangis terus buktinya."

"Ra, Ra," ucap Syifa kalem seperti biasa. Syifa berpaling ke perempuan di sebelahnya yang sibuk menatap ponsel. Wajahnya resah. "Eh, gimana, Ndin? Udah ada kabar lagi belum?"

Yang ditanya menghela napas. "Udah, Syif. Tetep. Cuman dua infonya, pertama, tadi katanya sempet ribut sama pelanggan. Kedua, terakhir respon sih masih di jalan." Andina sedikit membenarkan ikatan rambutnya. "Mungkin macet. Tapi ... udah susah-susah nentuin waktu buat kumpul bareng cuma demi dia juga ... jangan-jangan dia nggak dateng lagi. Gue takut dia tiba-tiba nggak jadi dateng kayak biasanya, kayak pas dia cuma transfer setoran. Ketemu sebulan sekali kenapa susah banget ya buat dia?"

"Tuh! Bener kan apa kata gue," celetuk Dira.

"Udahlah, guys. Don't overthink, okay? I'm sure, trust me, Kevanya bakal dateng. Lagian mikirin yang aneh-aneh tuh bahaya juga buat dia, nyetir sambil pegang HP gitu. Just chill, just wait. It's really that simple," ujar Gianna lelah.

"Oke-oke," jawab Andina. Mereka semua diam, sampai Andina menyeletuk, "Eh apa gue telepon aja ya?"

"Oh come on, Babe. I didn't hear wrong, right?" sahut Gianna tajam.

"Ndin, udahlah. Tetep aja nggak tenang itu namanya," sergah Syifa. "Bahaya kalau sampe telepon. Dia kan nyetir mobil sendiri. Iya kalau pas lampu merah, kalau enggak? Tambah panik dia nanti malah takutnya bisa kenapa-kenapa. Lagian sekarang pegang HP di mobil kalau lagi apes ya tetep kena tilang."

"Iya juga ya, bego," lirih Andina yang akhirnya menyerah.

Sementara itu, di bagian Jakarta yang lain, Kevanya Namiramanda memukul setir saat klakson dari mobil di belakangnya menyadarkannya bahwa lampu lalu lintas sudah berganti hijau.

"Ya ampun, sabar kek!" gerutunya kaget, refleks menggeser posisi tuas ke transmisi D dan menginjak pedal gas. Kevanya kesal. Hari ini nampaknya tidak begitu beruntung. Termasuk berhenti di lampu merah dengan posisi paling depan. Kevanya sangat berisiko kena klakson, dan peristiwa itu baru saja terjadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEAREST EXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang