🍃Wahai diriku, jangan mudah menyerah. Bagaimana pun sulitnya bersabar, buah dari kesabaran itu pasti indah🍃
--HAPPY READING--
***Pagi untuk yang kesekian kali Dara lewati di Jakarta. Tak ada yang berubah. Hanya saja gedung pencakar langitnya terus bertambah dari tahun ke tahun.
Sebenarnya Dara sangat rindu Madura. Dia ingin pergi ke pulau itu meski hanya sebentar. Sekedar melepas rindu pada tanah kelahiran dan pusara kedua orang tuanya. Hanya saja Dara belum berani mengutarakan keinginannya itu pada Fadhlan dan Risma. Terakhir dia ke Madura, dulu, saat Dara masih kelas 1 SMP.
Habis memandangi panorama pagi dari balkon, Dara lantas turun ke bawah. Dimeja makan sudah tampak Fadlan dan Risma, termasuk Nayla yang langsung cemberut begitu melihat dia datang.
Dara menarik kursi. Lalu duduk disamping bibinya, Risma.
"Gimana Nayla, kamu masih gak mau nih nurutin permintaan Mama dan Papa?"
Sepertinya sejak tadi keluarga kecil itu membahas sesuatu yang serius. Kelihatan sekali dari wajah Nayla yang mendadak bad mood.
"Tapi Ma... Nayla gak bisa. Malu Ma sama temen-temen Nayla nanti. Apa kata mereka coba pas liat kita berangkat bareng. Mereka pasti bakal ngejek Nayla yang gak nggak Ma gara-gara masalah ini." Nayla merengut tak rela.
"Nayla, kamu jangan gengsi gitulah. Gimana pun juga Dara ini sepupu kamu, Putri dari saudara Papa kamu. Pikirkan juga gimana nasibnya Dara nak. Kasian dia setiap hari harus naik bis, berdesak-desakan, panas, sedangkan kamu?, kamu enak bisa bawa mobil sendiri, gak sumpek, bisa bebas pergi kemanapun kamu mau. Dara pun juga ingin kayak kamu Nayla. Ok kalian memang beda kelas, tapi itu bukan alasan untuk kamu bisa mentingin diri sendiri tanpa mau tau keadaan Dara, Nayla." Imbuh Risma.
Nayla memutar bola matanya lalu menghembuskan nafas kasar.
"Dara gak papa kok Bi meski cuma__"
"Eh lo, Suruh siapa maunya jadi anak pungut. Kenapa sih lo gak tinggal di Panti asuhan aja. Kenapa juga lo harus tinggal disini. Bumi itu luas, lo bisa kan minggat dari sini dan tinggal di kolong jembatan sana."
"Nayla!" Fadlan berkata tegas. "Jaga bicara kamu. Dara itu bukan anak pungut. Dia keponakan Papa. Sepupu kamu. Jika kamu tidak bisa untuk menyukai dia, setidaknya hargai keberadaan Dia disini. Dara itu yatim piatu Nayla. Tidak bisakah kamu sedikit saja bisa menganggap dan menghormati dia sebagai saudara kamu."
"Tidak bisa Pa, sampai kapan pun tidak akan pernah bisa. Ngapain juga nganggep orang kayak dia yang hidupnya numpang. Papa gak nyadar apa kalo dia udah manfaatin kebaikan Papa, seharusnya dia tau diri, dia itu numpang jadi gak usah minta yang aneh-aneh deh."
"Nayla___" Risma mencoba berkata pelan, Tapi Fadlan sudah naik pitam.
"Nayla cukup!!, kalo kamu gak bisa jaga omongan kamu, Papa gak segan-segan yah akan___"
"Akan apa Pa?, mau ngusir Nayla dari rumah ini?. Silahkan aja. Nayla gak takut. Hanya demi anak pungut ini Papa rela bentak Nayla kayak gini. Yang putri Papa itu Nayla apa dia, Papa berubah sejak dia numpang disini. Nayla benci Papa!"
Usai mengucapkan itu, Nayla langsung mengambil tas dan melangkah pergi.
"Nayla..., Nayla. Papa belum selesai bicara, Nayla!"
Nayla tak mau mendengar lagi. Kakinya terus melangkah cepat tanpa peduli dengan panggilan Papanya.
"Sudahlah Pa, biar Mama nanti yang ngasih pengertian sama Nayla." Risma menyentuh tangan suaminya sembari tersenyum teduh.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEADED FOR LILLAH✔
Espiritual_______________________ Jika mencintai dia bisa membawa gue pada Taat, gue terima(:(:(: --ROMAN ISLAMI MODERN-- --TEEN FICTION ISLAMIC-- @hak cipta dilindungi undang-undang.