"Kalian! Cepat ke lapangan! Masa telinga kalian tidak mendengar bel yang sudah seperti suara halilintar?" Ujar Bu Galih di depan pintu sambil berdecak kesal melihat masih banyak siswa siswi di dalam kelas.
"Iya Bu. Sebentar. Lagi nunggu si Ayana," jawab Lea yang langsung disenggol bahunya oleh Namira
"Gak usah lah nunggu nunggu, memangnya dia anak SD. Sudah cepat ke lapangan semuanya!!"
Dengan gerakan cepat mereka semua keluar kedalam kelas, takut oleh tatapan tajam Bu Galih yang siap akan menerkam mereka kapan saja.
"Kata gue juga apa, lo jangan sekali kali ngebantah omongan guru di sini, Le. Bisa-bisa lo auto masuk ruang BK."
Lea meringis,"Ya maaf gue kan gak tau."
"Udah lebih baik lo suruh si Ayana nyusul aja nanti, kita sisain tempat di lapangan aja kaya biasa," lerai Sana, kemudian mereka semua berjalan ke arah lapangan yang hampir semua murid sudah berkumpul tetapi belum mulai berbaris, salah satu penyebabnya adalah "malas".
Ketika mereka berjalan masuk ke barisan yang ada didepan sana, tiba tiba Lea berbisik kepadanya, "Di belakang sana ada Gio San, cepet nengok."
Sana segera menoleh ke belakang dan mendapati Gio yang tidak sengaja juga sedang menatapnya. Sana langsung memalingkan wajah dengan semburat merah di pipi putihnya.
"Cie keciduk lagi natap doi," ledek Namira tertawa sedangakan Sana hanya bisa mendelik tajam kearahnya.
Lalu mereka kembali berjalan dengan cepat menuju barisan karena ada Pak Sugito sang guru killer sedang menatap mereka tajam.
Sudah hampir 20 menit upacara dilaksanakan, Kepala Sekolah sedang membacakan pidatonya yang panjang di depan sana, namun dari banyaknya siswa yang berada di lapangan hanya segilintir yang mendengar ucapan sang Kepala Sekolah. Yang lainnya? Jangan ditanya, banyak yang jongkok, ngobrol, dan ada pula yang sedang tidur dengan posisi berdiri.
"Eh cepet coba lo tepuk tangan, nanti gue ikutin. Biar itu si Bapak ngerti kalo kita udah pegel dari tadi," Sana tidak sengaja mendengar ucapan anak laki laki di sampingnya, walau agak jauh sedikit tapi masih tetap bisa terdengar ucapannya.
Kode anak murid, ketika guru menyampaikan pidato yang cukup panjang. Bosan. Pegal. Panas. Alasan-alasan lainnya yang membuat mereka bertepuk tangan diikuti semua angkatan padahal tidak ada hal yang harus diberi tepuk tangan. Mendengarkan saja tidak.
"Nanti tunggu dia jeda dikit," jawab temannya.
Sana sendiri tersenyum mendengarnya, tepuk tangan disaat seorang guru sedang membaca amanat itu sudah hal wajar bagi sekolah ini.
Tak lama kemudian tepuk tangan yang tadinya hanya segilintir orang menjadi ramai karena hampir semua yang ikut bertepuk tangan tak terkecuali Sana dan teman temannya. Mendengar tepuk tangan yang hampir meriah, si Bapak Kepala Sekolah pun menghela nafas dan segera menyelesaikan pidatonya pagi ini. HAHA.
*****
Upacara telah selesai sekitar sepuluh menit yang lalu, Gio dan teman temannya sudah sampai dikelas dengan muka yang penuh dengan keringat karena matahari membakar merreka di lapangan tadi.
"WOI WOI PAK UDIN GAK MASUK HARI INI," teriak Arya dari luar dengan wajah gembira.
"Demi apa Ar?" tanya salah satu teman sekelasnya.
"Emang wajah tampan gue ada gitu raut raut bohong," jawabnya dengan tangan mengangkat kerah seragamnya.
"Emangnya Pak Udin kemana, tumben dia gak dateng biasanya dia udah siap siap buat ke kelas kita."

KAMU SEDANG MEMBACA
A moment
Teen FictionKita, sama-sama terluka. Tetapi tidak mau untuk mengaku. Mengaku bahwa kita ditakdirkan semesta untuk saling menyembuhkan luka.