WD : 2

17 2 0
                                    


••••

Selama beberapa menit, barang yang mereka beli dicek dan ditotal harganya oleh seorang seorang kasir didepannya, Vallen hanya diam dan sesekali pandangannya menengok kepenjuru Mall yang sangat dipadati pengunjung. Tanpa dia sadari, hingga sepasang matanya mengarah pada lelaki bertubuh tinggi di sebelah rak madu. Tidak salah lagi. Gadis cantik itu tersenyum kecil. Sebenarnya, dia ingin menghampirinya namun ia urungkan. Dia memilih meperhatikannya daripada kearah sana. Hingga beberapa saat kemudian tanpa disadari lelaki yang dilihatnya melihat kearahnya. Dengan gerakan cepat, Vallen membuang muka. Ah, pasti wajahnya sudah memerah saat ini.

"Totalnya enam ratus dua puluh ribu, Ibu." kata seorang kasir yang mampu didengar oleh Vallen.

Beberapa saat kemudian Mamanya mengeluarkan sebuah benda serupa kartu yang Vallen yakini itu kartu ATM dan menyerahkannya pada kasir tersebut.

"Terima kasih, Ibu. Semoga barang yang anda beli memuaskan." kata kasir itu lagi hingga Vallen merasa jengah mendengarnya.

Sekali lagi Vallen menoleh ke arah rak madu. Namun kosong tidak ada lelaki yang tadi dia lihat sebelumnya. Vallen hanya menganggap lelaki itu telah pergi. Toh, lelaki itu sering ia temui di sekolahnya. Bahkan sering mendengar ocehan ala pemimpin kelas di XII IPA 2.

***

05:00 AM

Gelap telah berganti terang. Seperti saat ini. Jam dinding menunjukkan pukul lima dini hari. Gadis berambut pirang itu menuruni ranjang king sizenya dengan gerakan pelan. Lalu dia memposisikan dirinya berdiri di depan sebuah cermin besar berniat menguncir rambutnya tinggi. Cermin yang menjadi saksi bisu setiap dirinya menangis. Cermin itu juga yang pertama kali melihat dirinya tersenyum setelah menangis. Kemudian Vallen melangkah menuju kamar mandi.

Melakukan rutinitas pagi bagi kebanyaknya orang, mandi. Dimana hari ini juga hari Senin pasti tau akan ada apa di sekolah nanti pagi. Sangat membosankan.

Tidak butuh waktu lama bagi Vallen untuk bersiap-siap. Setelah tiga puluh menit kemudian dirinya sudah siap dengan setelan seragam sekolah dan mengendong sebuah ransel dengan sebelah bahu lalu melangkah menuju ke lantai dasar. Tidak lama bukan? Ck! Lupakan.

"Tumben pagi banget udah siap!?" seru Mamanya ketika Vallen ingin duduk di kursi meja makan.

"Lagi pengin." jawab Vallen dengan cepat.

"Mau bawa bekal?"

"Engga usah. Nanti Vallen pulang awal kok." jawabnya meyakinkan padahal dirinya hanya bohong, karena merasa bosan membawa bekal terus. Lauryn hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya.

Hingga bebrapa saat, mereka berdua tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Toh, mereka sedang makan. Namun jujur saja Vallen yang menyukai keheningan. Baginya situasi begini dapat bebas melakukan apa saja baginya.

Setelah lama kemudian, mereka menyudahi acara sarapan dengan sepeninggala Vallen dari meja makan. Dia ingin berbalik dan alhasil menuju pintu utamapun dia urung.

"Mama nga mau nganterin Ellen?" tanya Vallen dengan mimik wajah memelasnya.

"Setelah Mama beresin ini." Lauryn berkata tanpa menghentikan aktifitasnya yang tengah membereskan meja makan.

"Vallen bantu." katanya seraya mengambil piring dan meletakanya di wastafel. Walaupun Vallen terkenal dingin dan cuek. Namun gadis itu sebenernya sangat lembut dan ramah pada orang bila yang dia rasakan orang tersebut tidak akan menyakitinya. Toh, saat ini dia di rumahnya sendiri.

***

Gadis berambut pirang itu berjalan memasuki area lapangan sekolah. Gadis yang selalu di sanjung oleh kaum adam itu tak jeran jika saat ini merasa banyak yang iri dengannya. Sesekali dia mengedarkan pandangannya ke samping sambil menyimpangkan rambutnya yang terjuntai kedepan. Semua orang yang tengah duduk di tepi lapangan sekilas menoleh dan seperti mengatakan yang entah apa kepada teman mereka yang berada didekat mereka.

Vallen tidak peduli. Entah mereka membicarakan tentang dirinya atau tidak yang Vallen inginkan saat ini adalah cepat-cepat berada di dalam kelasnya dan melihat reaksi seseorang. Apakah orang itu masih ingat dengan malam kala dia melihatnya di Mall atau tidak Vallen tidak tau. Sebenarnya malam itu Vallen ingin menghampirinya tapi, kacau karena tiba-tiba kasir yang cerewet itu berkata hingga membuatnya menoleh ke arah kasir. Setelah itu saat Vallen menengok ke arah rak madu malah lelaki itu menghilang. Kau sudah tahu bukan-[WD : 1]?-.

"Len!" suara cempreng bak toa terdengar ditelinganya hingga gadis yang disebut namanya menoleh kearah empunya suara. Dia melihat Anin yang tengah berlari kearahnya. Anin adalah salah satu teman kelasnya. Gadis berambut sebahu itu berlari kecil ke arah Vallen. Dan...

Bugh

Anin menubruk bahu kiri Vallen. Untung saja dia bisa mengimbangi tubuh Anin yang beda tiga kilo darinya.

"Sakit, lol!." aku Vallen sambil memegang bahu kirinya.

Anin hanya tersenyum kikuk dan memperlihatkan dua jari tangannya bak akan goyang dua jari sebagai isyarat kata maaf kemudian melangkah mengikuti langkah Vallen hingga keduanya memasuki kelas.

Jam didinding kelas menunjukan pukul tujuh pas. Saat ini, sepertinya sebentar lagi akan dilaksanakan Upacara pagi dan sudah pasti. Karena setiap jam dinding masing-masing kelas diatur sama seperti jam di ruang guru.

-kriingg ... kriing

Benar saja baru saja mereka berdua memasuki kelas bel itu berbunyi. Tanda keseru dua kali bel yang tidak lain tidak bukan adalah tanda perintah pada semua siswa SMA ini.

Semua siswa sudah keluar kelas dan menata barisannya di area lapangan. Terlihat juga beberapa orang yang sedang melakukan kegiatan menata barisan di sana. Mungkin itu anggota OSIS.

Hari Senin. Untung saja amanat kali ini bukan dari kepala sekolah. Bisa ditebak kalo orang itu yang memeberi amanat akan seperti apa.

Sepuluh menit...

Dua puluh menit...

Tiga puluh lima menit...

Akhirnya acara Upacara usai. Dengan langkah lelah, Vallen dan ketiga teman akrabnya berjalan menuju kelas XII IPA 2.

Saat tiba dikelas, Vallen langsung menangkup kudua sisi wajahnya dengan tanganya sendiri.

"Sama saja! Kepsek sama guru lain! Mereka sama-sama seakan njemur ikan pepes." celoteh Metta saat mereka sudah berada di dalam kelas.

"Yang penting, sekarang udah selesaikan?" entah apa yang tengah dipirkan Teresa, gadis itu biasanya akan merasakan mudah sekali bosan dengan suatu hal. Namun sekarang dia malah seakan menikmati nya membuat ketiga temannya yang berada disampingnya menoleh. Sesaat kemudian ketiganya tertawa ala ciwi-ciwi. Tahu kalau biasanya para ciwi tertawa sambil memukul-mukul bahu temanya atau sekedar mendorong seseorang yang ada didekatnya. Ya! Itulah yang sedang mereka bertiga lakukan!

Teresa yang merasa ditertawakan hanya memutar bola matanya. Merasa jengah sekalipun malu. Dia sama sekali tidak tau menahu apa yang tengah mereka tertawakan. Baginya tawaan temannya sangat lah unfaedah. Tapi, dia yakin mereka sedang menertawakan dirinya.

Teresa, gadis itu kini tengah berdiri dengan kedua tangan ia letakan di dadanya, kaki yang berdiri menantang, tak lupa juga pandangan matanya yang terarah ke depan kelas. Dia terus saja mengumpat dalam hati. Menyumpah sarapah ketiga temannya. Situasi ini membuat dirinya bingung harus bersikap bagaimana.

••••

Follow cans ntar di back :-!

Salam,

LiiYa💙

Why DeploreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang