WD : 4

6 2 0
                                    


••••

Sore ini, Vallen pulang dengan kepala yang ditekuk. Padahal jam pulang sama seperti jam kemarin-kemarin. Ia merasa sangat lelah dengan aktifitas yang dia lakukan beberapa hari belakangan ini. Mulai dari mengikuti les tadi seusai jam sekolah, hingga dilanjutkan dengan adanya ekstra di sekolahnya. Cita-citanya yang ingin menjadi seorang dokter, tidak salah baginya jika memilih ekstrakurikuler PMR-kan?

Itu juga salah satu alasan gadis cantik itu memilih jurusan IPA di SMA tersebut. Karena baginya dengan banyak menguasai ilmu tersebut dia bisa lebih sedikit mudah untuk mengejar cita-citanya. Mungkin saja bisa.

Gadis itu membuka pintu kamar. Meletakan tasnya di lantai yang berdekatan dengan meja belajar. Setelahnya dia memilih untuk memasuki kamar mandi berniat membersihkan badan kusutnya.

Setelah beberapa saat kemudian, Vallen keluar dari kamar mandi dan merebahkan badannya di atas ranjang king size empunya yang dibaluti dengan seprai warna biru laut hingga matanya terpejam.

Diatas sandaran ranjang tersebut terdapat sebuah foto besar yang tidak lain dan tidak bukan adalah fotonya dia sendiri. Foto saat dia berusia sekitar sepuluh tahun lalu dan menetap tinggal di rumah Neneknya. Vallen tidak sepenuhnya ingat waktu dirinya yang tinggal dirumah Nayana, Neneknya. Namun, Mamanya bilang mereka tinggal disana sangat lama, dari Vallen kecil hingga dirinya kelas enam Sekolah Dasar. Beberapa hari setelah kelulus siswa Sekolah Dasar, Neneknya meninggal dunia. Hingga akhirnya Lauryn, membawa buah hatinya kerumah Adiknya yang bernama James. Rumah James tidak terlalu jauh jaraknya dengan tempat tinggal Ibunya atau Nenek Vallen.

Vallen tidak tau selebihnya, bahkan tentang bagaimana Papanya dulu. Vallen tidak pernah memaksakan Lauryn untuk menceritakan kejadian sebenarnya. Toh, dirinya juga sangat benci atas sikap dan perilaku Papanya. Walaupun Vallen belum pernah sekali pun bertemu bahkan melihatnya dia berjanji pada dirinya sendiri. Karena saat itu Mamanya bercerita, pasti Papanya akan kembali menemui dirinya. Disaat nanti dia bertemu dengan orang itu Vallen juga sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan mau memanggilnya dengan sebutan 'Papa'. Walaupun, Vallen tau dirinya sangat merindukan kasih sayang sosok Ayah. Namun hantinya selalu menolak jika membayangkan Papanya ada di sampingnya. Seakan akan hati dan keinginannya sangat bertolak belakang bak suatu kutub magnet dengan satu kutub yang sama.

***

Seorang laki-laki tengah duduk manis di atas ranjang tidurnya. Wajahnya datar dengan tangan menggenggam erat poselnya. Dia tidak tau apa yang sebenarnya membuat dirinya seperti ini. Seneng engga tapi kaya orang dongo iya.

Tok tok tok

Fadric terkejut dengan suara ketukutan pintu itu. Menghela nafas berat, dan mengacak acak rambutnya dengan perasaan kalut. Namun beberapa saat kemudian dia menyadarkan dirinya tetapi tidak beranjak membukakan pintu. Dia masih saja dengan posisi anteng terduduk di atas ranjang.

Suara decitan pintu terbuka terdengar oleh Fadric hingga membuat dirinya merasakan gugup. Entah kenapa rasanya tidak enak saja. Meletakan ponselnya di atas nakas. Sebenarnya hal itu dia lakukan hanya untuk membuat orang yang memasuki kamarnya mengira dirinya telah bermain ponsel.

Wanita yang berdiri diambang pintu menatap pergerakan anak laki-lakinya dengan satu alisnya yang terangkat. "Boleh Mama masuk?." kata wanita itu kemudian.

Sangat aneh bukan? Biasanya saja mereka para orang tua akan masuk nyelonong saja saat memasuki kamar anaknya. Fadric tidak menjawab. Beberapa saat kemudian Mamanya memasuki kamar anaknya dan duduk ditepi ranjang. Tak lupa juga sebuah senyuman manis tertera diwajah wanita berusia akhir empat puluhan itu.

Why DeploreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang