WD : 3

9 2 0
                                    


••••

"Woiy! Dengerin!" suara berat laki-laki terdengar dari arah pintu kelas. Membuat Teresa dapat bernafas lega melihat ketiga temanya akhirnya menghentikan acara tawa unfaedahnya. Tak henti-hentinya dia juga bersyukur dalam hati melihat ketiganya terdiam kembali. "Nanti Bu Febya, dia ada rapat! Jadi kita cuman diberi tugas." lanjut Fadric, si ketua kelas XII IPA 2. Setelah itu dia membagikan satu persatu kertas di tangannya ke semua penghuni kelas yang tengah menatapnya dengan berbagai macam ekspresi.

Jujur saja disaat seperti ini, sangat membosankan bagi Vallen. Kadang dia ingin tau bagaimana kabar Papanya, tapi dia sudah terlalu benci dengannya. Hingga rasa gengsi menyelimuti kepribadiannya sendiri. Vallen tidak mengerti kenapa Papanya bisa pergi selama ini tanpa mengirim pesan atau apa pun padanya bahkan Mamanya. Vallen kadang sangat menyesal terlahir di dalam dunia yang membingungkan seperti saat ini. Tapi, mau bagaimana lagi dan mungkin ini jalan hidupnya. Walaupun sering terombak ambik, dia tetap harus bersabar, toh Vallen juga percaya dibalik semua kesedihan pasti ada kebahagian.

Seorang laki-laki berdiri didepan meja yang Vallen temoati, kemudian berdehem. Detik berikutnya laki-laki itu meletakan selembar kertas dimeja Vallen. Vallen mengerjap ketika merasakan ada orang yang tengah berdiri didepannya. Keberuntungan besar baginya saat melihat Fadric. Vallen tahu kertas yang ada didepannya adalah tugas yang diberikan Bu Febya, guru Bahasa Inggris yang sering pelupa itu. Bukan surat cinta atau surat khusus untuknya yang Fadric berikan. Hahah! Apa Vallen sangat berlebihan saat ini? Jagankan surat, ngomong bareng saja jarang. Vallen juga tahu dirinya sangat terlalu berlebihan terhadap lelaki itu, tapi setidaknya dia tidak terang-terangan mengatakan itu. Entahlah.

"Lo sakit? Ke UKS aja. Daripada pingsan di kelas nyusahin orang nanti." yah, ucapan nada dingin Fadric berhasil membuat lamunan Vallen membuyar yang kedua kalinya.

"Nga kok. Gue baik-baik aja. Makasih tawar nya." jawab Vallen tanpa menatap Fadric. Jujur dia takut iris matanya tidak bisa terlepas dari iris mata hitam pekat milik lelaki itu. Hihi.

Fadric tersenyum bak iblis. "Sebagai ketua kelas! Asal lo tau ya gue cuma mau lo sadar dengan apa yang udah gue lekuin ke lo. Nga usah berharap lebih, gue nga suka sama orang yang suka berlebihan." ucapan Fadric dengan geram. "Nga ada gunanya juga gue ngomong sama lo!" lanjut Fadric dengan suara yang meninggi. Detik berikutnya Fadric melangkahkan kakinya meninggalkan meja tempat dimana Vallen duduk.

Vallen hanya diam. Dia sama sekali tidak menginginkan untuk menimpali omongan Fadric. Jika menimpali itu sama saja membuat laki-laki sialan itu marah. Dan sangat yakin akan ada kericuhan disini.

Bagaimanapun, Vallen tetaplah Vallen. Gadis yang amat cuek dan hanya peduli terhadap orang yang dekat dengannya saja. Sekali pun orang itu tak akan melukai.

Sungguh, Vallen benar-benar merasa seakan dirinya menginjak duri-duri tajam. Apalagi kini semua pandangan penghuni kelas tertuju kearahnya, dan begitupun dengan ketiga temanya dekatnya yang tengah duduk di kursi depan Vallen. Mereka sama-sama menoleh ke arah belakang dengan tatapannya yang seakan tengah bertanya tanya. Namun, Vallen mengabaikannya. Vallen sangat malu diperlakukan seperti itu. Beberapa kali dia terus menyabari sikap Fadric padanya. Namun, entah kini rasanya membuat dia sangat benci pada laki-laki beriris mata hitam itu.

Fadric Deva. Lelaki yang satu itu sangat Vallen kagumi dirinya. Bahkan sejak mereka sama-sama kelas dua SMA hingga saat ini mereka duduk di bangku kelas tiga. Gadis itu bahkan, sudah lama sekali membiarkan surat-surat yang berada di loker sekolah, dan yang tidak tau siapa pengirimnya juga. Entahlah, Vallen hanya tidak mau membukanya bahkan melihatnya saja sangat enggan. Gadis itu enggan membukanya karena dia tau bahwa surat itu bukan dari lelaki yang ia kagumi melainkan dari beberapa lelaki yang mengaguminya di SMA ini. Maka dari itu dia membiarkan surat tersebut menumpuk disana.

Bagi kebanyakan orang yang diluar sana, pasti akan senang saat menerima surat dari orang lain. Namun, Vallen sangat menghindari tentang hal itu. Dia menganggap secarik kertas itu adalah secarik sampah. Memang dia lebih suka seseorang yang apa-apanya bicara langsung. Walaupun, surat-surat itu dibentuk dengan berbagi rupa seperti, burung, kupu-kupu, bunga hingga beberapa bentuk lainnya yang sangat cantik, Vallen tetap saja enggan untuk membuka. Bahkan, dia sama sekali tidak berniat untuk membuka surat itu. Sama sekali tidak. Persetan dengan surat.

Menghela nafas kasar, detik kemudian dia menopang kedua sisi pipi. Vallen tidak tau mengapa selama ini Fadric yang dia anggap sempurna olehnya malahan tidak pernah mengangapnya ada. Vallen tau, Fadric sudah mengerti tentang perasaannya. Tapi seakan selama ini lelaki itu tidak memperdulikan apa yang di rasakan Vallen.

Tanpa disadari, Fadric kini tengah menatap kearah dimana Vallen duduk. Walaupun dari jarak yang terhalang oleh dua baris meja kursi kelas. Lelaki itu masih bisa melihatnya, sesekali dia mencerna kembali ucapannya sendiri yang tadi ia ucapkan. Nampaknya tidak ada yang salah. Dia terus menatap Vallen, sebenarnya ada rasa iba, namun dia tidak akan mau menghampirinya, menanyakan kenapa, ataupun mengucapkan maaf saja juga rasanya enggan. Muak, sangat muak bagi Fadric hanya buang-buang waktu. Toh! Nanti juga dia akan baikan sendiri, begitu yang dia pikirkan saat melihat Vallen seperti itu. Beberapa saat kemudian, Fadric membuang tatapanya ke arah lain. Hanyut dalam pikirannya sendiri. Sesekali helaan nafas kasar Fadric lakukan. Dia sangat geram dengan Vallen saat ini.

Hening, semua siswa tengah larut mengerjakan soal Bahasa Inggris masing-masing. Berbeda dengan Vallen yang memang mood nya memang sedang memburuk. Ia memilih mengerjakannya di rumah. Toh, tugas itu tidak dikumpulkan sekarang.

Gadis itu tetap saja diam di kursinya. Sedangkan, teman akrabnya yang lain tengah mengerjakan tugas di meja depannya. Dia saat ini hanya berharap jam pelajaran saat ini cepat usai. Ingin sekali pulang ke rumah dan menemani Mamanya. Karena hanya Mamanya lah yang bisa menenangkan Vallen saat ini. Walaupun Mamanya tidak tahu menahu tentang dirinya yang tengah menyukai seseorang. Tapi setidaknya dia bisa memeluk Mamanya saat situasi sedang buruk seperti ini.

•••

follow ntar gw back.*π

Salam,

LiiYa💙

Why DeploreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang