01. Pasca

4 1 0
                                    

Aku mengikuti langkahnya hingga kami tiba di depan pintu sebuah rumah besar (menurutku) yang di kelilingi pagar tinggi menjulang. Saat tak sengaja kulihat atas mataku menangkap sebuah CCTV yang menyorot ke arah depan pintu dan sekitarnya, membuatku berfikir tentang betapa terjaga kemanan rumah ini.

Mas Rayyan (aku berencana akan memanggilnya begitu, sesuai dengan CV yang di sodorkan padaku tiga hari sebelum akad nikah dilakukan, dan kakakku tercinta_ Amisya Radya  memaksaku untuk menghafal dan memahami setiap kata yang tertuang di dalamnya) membuka kunci pintu dan mempersilahkanku untuk masuk.

Refleks,mata ku memindai setiap sudut ruangan yang aku temui, kesan pertama melihat rumah ini,nampak sangat bersih juga rapi. Semua barang dan dekorasi khas laki-laki, warna dinding dan furniture dominan monocrome, hanya ada warna hitam putih dan abu-abu.

Mas Rayyan terus melangkah ke dalam dan menaiki sebuah tangga yang terhubung ke lantai dua rumah ini. Di sana ada dua kamar bersisian, dan ada beberapa ruangan lagi yang belum ku ketahui fungsinya.

Mas Rayyan berhenti pada kamar yang berada di sebelah kanan, membuka pintunya dan memasukkan koperku kedalam sana, kemudian dia berbalik, berdehem sebentar sebelum mengatakan "ini kamarmu, kamar utama di rumah ini. Kau bisa menyusun barang-barang mu di sini, istirahat lah."

"Kamarku?" Untung saja wajahku tertutup niqab yang belum sempat ku lepas, kalau tidak aku tidak bisa membayangkan sebodoh apa wajah ku saat aku mengatakannya. Karena beberapa detik setelahnya aku merasa sangat malu.

"Ehm... Iya kamarmu, aku sadar pernikahan kita terlalu cepat. Mungkin kamu butuh waktu untuk beradaptasi. Karena akupun merasakannya, kita akan menjalani semua secara bertahap."

"Iya." Daripada aku mengatakan hal yang memalukan lagi, aku memilih untuk mengiyakan saja, biar cepet.

"Baiklah, apa kau butuh bantuan untuk mengemas barang-barang mu?"

"Tidak terima kasih, a.. aku bisa melakukannya sendiri."

"Kalau kau butuh sesuatu aku ada di kamar sebelah."

"Iya." Sekali lagi aku hanya akan mengiyakan kata-katanya. Biar cepet, karena setelahnya mas Rayyan meninggalkanku dan masuk kedalam kamarnya.

Setelah masuk ke kamar, aku menutup pintu tanpa menguncinya. Dalam kondisi ini aku sadar betul kalau segala yang ada di rumah ini bukan milikku, sedang dia yang ada di kamar sebelah adalah utusan Allah yang bisa membawa tiket untuk ku ke surga. Jadi dia berhak melakukan segala hal atasku selama tidak melanggar undang-undang yang sudah tertulis pada Al-Qur'an dan di contohkan Rasullullah melalui Sunnah dan hadist.

Aku membaringkan tubuhku di atas kasur. Bukan capek, hanya saja hari ini aku sedang malas. Lagian masih pagi dan kami sudah sarapan tadi di rumah ku.

Ruang kamar ini sangat besar, kalau aku perkirakan bisa empat sampai enam kali luas kamarku. Dengan jendela kaca yang besar dan tertutup gorden yang berlapis-lapis, ada lapisan tipis dan tebal. Aku tidak membukanya juga tidak menyalakan lampu, maka hanya kegelapan yang ada di sekitar ku.

Dalam keheningan dan kesunyian ini aku melantunkan shalawat kepada Baginda Rasulullah, karena itu bisa menambah ketenangan dalam diriku.

Aku sangat suka menyenandungkan shalawat, memuji dia pahlawan yang aku idolakan sejak kecil, tapi masih belum bisa aku tiru dengan baik dan benar segala apa yang beliau ajarkan.

**********

Takut-takut aku ketuk kamar suamiku, karena ini sudah mau Dzuhur tapi dia tidak keluar juga dari kamar. Aku takut dia ketiduran dan meninggalkan shalat berjamaah di masjid, Abi sudah mewanti-wanti ku untuk selalu mengingat kan suamiku shalat berjamaah.

Aku sudah mengetuk pintu dan mengucap salam beberapa kali, tapi tak juga ada sahutan dari balik pintu. Maka ku beranikan diri untuk membuka kenop pintu dan melongokkan kepalaku untuk melihat keadaan di dalam.

Aku memutarkan kepala ku ke sekeliling kamar tapi tak menemukan bayangnya sekalipun. Ku beranikan diri melangkahkan kakiku untuk masuk sambil terus mengucap salam.

"Assalamualaikum, mas Rayyan"

Dan saat ragaku sudah masuk sempurna kedalam kamar, tiba-tiba dia yang kucari keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang menutup bagian bawah tubuhnya.

"Astaghfirullahal adzim" refleks aku berbalik dan segera berlari keluar.

Tak lama mas Rayyan keluar dari kamar sudah dengan setelan baju Koko lengkap dengan sarung dan peci.

MasyaAllah

Aku kembali pada kegiatan ku menyiapkan makan siang, yang rencananya akan ku makan bersama mas Rayyan selepas dia pulang dari masjid. Insyaallah

"Tadi... ada apa?" Mas Rayyan bertanya dengan nada kikuk dan wajah memerah, apa dia juga sama malunya seperti ku?

"Mem...mmaafkan aku Mas, tadi beberapa kali aku ketuk pintu tapi Mas Rayyan ndag keluar, jadi aku masuk. Maaf udah lancang masuk kamar Mas." Sejujurnya aku sangat takut membuatnya marah, ini adalah hari pertama aku menjadi seorang istri, dan aku berencana akan membaktikan diriku pada suami ku, dan membuatnya marah akan mendatangkan murka Allah atasku. Tentu saja aku sangat takut.

"Oh, sudahlah jangan dipikirkan. Aku ke masjid dulu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam." Aku mengulurkan tanganku untuk mencium tangannya. Bukankah mencium tangan suami serupa dengan mencium Hajar Aswad? Jadi aku sebisa mungkin yg tak akan melewatkan momen ini.

RinganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang