Masalah

795 15 7
                                    

---------------------------◙◙◙◙-------------------------

Sejak pertemuan pertama, Reza semakin banyak mengisi hari-hari Nur. Kejutan-kejutan kecil seringkali Ia berikan. Dan bahkan ada yang menjadi rutinitas harian. Semisal, setiap jam empat sore selalu ada delivery service yang mengantarkan kopi untuk Nur. Aneh rasanya melihat kurir J&Co atau Starbuck Caffe mengantar pesanan kopi ke kantor Nur. Rasanya tidak biasa melihatnya. Tapi hal itu sekarang sudah menjadi rutinitas harian yang membuat rekan-rekan sekantornya jadi punya kebiasaan baru. Menggodanya.

“Oh, please deh. Jangan aneh-aneh. Apalagi kalau nanti ada misua gue. Bisa ribut tau.”tukas Nur sambil mencibir namun berikutnya ikut tergelak bersama mereka.

Yaah, mau bagaimana lagi. Kejutan-kejutan kecil dan rutinitas ringan yang menyenangkan itu tak mungkin ditampiknya. Meskipun tak satupun orang dikantor yang tau siapa si pelaku karena identitasnya nyaris tak tercium jejaknya. Karena Nur tutup mulut tentang Reza. Tak satupun yang tau atau dikasih tau olehnya. Diam itu emas, katanya. Hehehe..

Dari jam masuk kerja hingga menjelang istirahat Nur asyik bekerja dengan ditemani suara “Ping” dari contact YM-nya. Mewarnai suasana kerjanya, membuatnya bersemangat. Saat makan siang, biasanya Ia lebih suka makan ditempat sambil ber-video call dengan Reza. Membuatnya lebih berselera. Terlebih lagi bila Ia melihat tawa ceria Reza. Yang tanpa disadarinya bahwa arti tawanya jauh lebih berharga bagi Reza.

Dan kehidupan barunya sudah beranjak meniti waktu selama tiga bulan dengan sesekali bertemu langsung dan jalan bersama. Tentu saja dengan tanpa aral rintangan yang pastinya tak lepas dari campur tangan Reza. Segala berjalan lancar dan menyenangkan bagi mereka berdua.

Hingga satu hari, Nur bertengkar dengan Dhika. Cukup hebat hingga Nur merasa perlu untuk pergi dari rumah.

Malam itu, untuk yang keratusan kalinya mereka bertengkar. Meributkan tentang satu masalah yang ibarat bom waktu dalam biduk rumah tangga mereka. Lagi-lagi, Dhika lebih mementingkan kepentingan adiknya, Nayara. Seorang wanita yang baru menginjak awal 25 tahunan. Tidak cantik dan sangat tidak pandai merawat diri.  Tetapi cukup nakal dan selalu membuat masalah. Sering gonta-ganti pacar, tak pernah peduli jika dinasehati, sering kali berkunjung ke rumah Nur hanya untuk membuat rumahnya semakin berantakan, karena Nayara wanita yang sangat malas dan sangat cuek. Setiap kali dimarahi Dhika, paling cuma bilang “Ya”. Tapi tetap saja sikap buruknya berulang dan berulang lagi. Kedua orang tua mereka pun tak pernah melakukan apa-apa. Selalu saja mendiamkan sikap dan sifat buruk Nayara yang semakin menjadi.

Hal itu yang membuat Nur semakin gerah. Memang itu urusan keluarga mereka. Hanya saja, Dhika selalu punya andil dalam setiap masalah Nayara. Entah itu sebagai penyokong dana, pendukung perbuatannya atau sebagai orang yang harus terjun langsung untuk mengatasi masalah.

Nayara sering kali pulang larut atau bahkan tidak pulang sama sekali. Menginap di rumah teman dan bahkan menginap di rumah teman lelakinya. Lulus SMA pun tak pernah mau mencoba melamar kerja. Karena untuk kuliah, orang tua Dhika tidak semampu itu untuk membiayai. Pernah Nayara mencoba membujuk Dhika untuk mau membiayainya kuliah. Tapi hal berikutnya yang terjadi, Dhika dan Nur malah ribut besar. “Bukan aku gak setuju. Kalau adikmu benar, mungkin gak masalah. Tapi orang gak benar begitu? Trus mau kau buang kemana tanggung jawabmu sebagai kepala rumah tangga di rumah ini. Kau masih punya istri dan empat anak. Empat, Yah. Coba dipikir baik-baik. Jangan Cuma karena kau begitu sayang sama ‘Adik tercinta’ kau itu, kau jadi hilang akal sehat..”, begitu ungkap Nur dulu. Ia sangat marah dengan ketergantungan Nayara pada suaminya. Uang saku dan uang untuk  hura-hura (beli baju, jalan-jalan dan senang-senang hingga nginap di luar rumah) apa belum cukup.

Dan sekarang, Nayara hamil. Entah dengan siapa. Dan Dhika sibuk mengurus adik kesayangannya itu. Meski akhirnya ketauan juga siapa lelaki yang menghamili Nayara. Tapi setelah pencarian dan negosiasi dengan si lelaki, akhirnya diambil satu keputusan. Mereka akan dinikahkan. Semua itu bukan masalah bagi Nur. Yang menjadi permasalahannya, Nayara ingin pernikahannya dirayakan tidak dengan sederhana. Ia ingin lebih. Dan Dhika yang harus menanggung semuanya. Rencana Nur dan Dhika untuk pembelian rumah yang sedikit lebih besar, agar keempat anaknya memiliki kamar tidur yang layak, terpaksa dibatalkan. Itu yang membuat Nur sangat berang.

“Menikah, Okay.! That’s fine. Mmm, maksudnya gak papa (Nur lupa Dhika kurang bisa berbahasa Inggris--). Tapi kenapa musti pesta meriah?! Bisa kan sederhana saja. Itu perut mau dikemanain?.. Aaah terserahlah urusan kau!.. Toh apa hakku. Tapi yang jelas aku keberatan.”, tukas Nur dalam perdebatan itu.

Dan dengan ngototnya Dhika yang ingin membahagiakan Nayara. Ia beralasan bahwa ini terakhir kalinya Ia melakukan sesuatu untuk adiknya itu. Toh nanti Nayara akan menjadi tanggung jawab suaminya. Hal yang menurut Nur hanyalah omong kosong. Ia yakin ‘Adik tercinta’ suaminya itu tetap akan kembali merongrong suaminya. Itu bukan hal aneh dan luar biasa. Terlalu biasa terjadi hingga membuat Nur muak.

Malamnya saat Dhika tertidur. Dhika biasa tertidur lebih dulu dari seluruh anggota keluarga. Biasanya Nur harus mengurus tiga anaknya yang paling kecil hingga mereka tertidur. Yang sulung sih sangat mudah tertidur bila sudah menjelang jam sembilan malam. Tapi yang ketiganya, Afikah, Alya dan Farry, mereka bertiga tidur bergantian. Kadang Afikah duluan tidur, kadang Alya atau kadang Farry. Kalau Nur beruntung, mereka tidur bertiga berbarengan. Tapi itu sangat jarang terjadi.

Nur terbiasa tidur setelah semua anak-anaknya tidur, perabotan di rumah sudah bersih, rapih berada di tempatnya semula, dan Ia sudah membersihkan diri.

Dan malam ini, setelah Dhika tidur, Nur langsung menghampiri keempat anaknya. Dia segera mengurus anak-anak hingga mereka siap untuk pergi. Semua keperluan mereka sudah Ia siapkan dalam dua buah koper. Untungnya semua anak-anak Nur sangat penurut dan sayang sama bundanya. Mereka patuh saja saat diajak keluar rumah.

Perlahan mereka menyelinap keluar rumah setelah Nur lebih dulu meninggalkan sepucuk surat untuk Dhika diatas meja disamping tempat tidurnya. Mereka berjalan menuju jalan raya dan memberhentikan sebuah taxi. Setelah duduk di dalam taxi, Nur menelpon Reza. Sepanjang jalan tak ada suasana kaku atau tidak nyaman. Karena Nur mengatakan bahwa kepergian mereka untuk jalan-jalan. Anak-anak Nur menikmati sepanjang perjalanan sambil bercanda dan berceloteh riang, kecuali Amru, si sulung. Ia tau situasi kedua orang tuanya. Dan Ia sangat menyayangi bundanya. Ia jugalah yang membantu Nur mengurus adik-adiknya sepanjang perjalanan. Karena Amru sudah merasa cukup dewasa di usianya yang kesembilan. Baginya, bunda adalah panutannya dan Ia akan melakukan apa saja yang bundanya minta untuk kebahagiaan sang bunda. Ia pun sayang pada ayahnya. Hanya saja, untuk anak seusianya, Ia sudah bisa menangkap ketidak adilan sang ayah terhadap bundanya. Dan tak jarang Ia pun merasakan ketidak adilan itu. Sang ayah lebih mengutamakan keluarga besarnya (nenek, kakek dan tantenya) ketimbang Ia, bunda dan adik-adiknya. Bukan berarti ayahnya tidak perhatian, hanya saja, jika dihadapkan pada suatu hal dimana ayahnya harus memilih antara mereka dan keluarga itu. Ayah pasti tidak akan memilih mereka. Malah seringkali, jika ayahnya merasa jengkel terhadap bunda, Ia dan adik-adiknya, maka ayah akan menginap di rumah neneknya. Dan Amru jelas bisa melihat bahwa selama ini, bundalah yang lebih sering terjun langsung dalam mengurus Ia dan adik-adiknya. Meskipun bunda bekerja, akan tetapi Ia tetap memperhatikan semua keperluan Amru, Afikah, Alya dan Farry. Karena itulah Amru sangat menyayangi sang bunda.

Taxi berhenti di pintu masuk Ancol. Reza sudah menunggunya di sana. Dibukanya pintu taxi, lalu Ia masuk kedalam taxi. Tak lama taxi melaju ke arah yang Ia instruksikan, Putri Duyung Cottage. Di sana Ia sudah menyewakan satu unit Marlin Suite untuk Nur dan keempat anaknya di Putri Duyung Cottage.

Dan saat itulah untuk pertama kalinya Reza mengenal secara langsung keempat buah hati Nur. Demikian juga sebaliknya. Meski tak mengerti, anak-anak Nur pun berkenalan dengan Reza. Dan dalam waktu sebentar saja Reza sudah dapat menyesuaikan diri dengan anak-anak itu. Membuat mereka nyaman bersamanya. Itu tentu saja sangat meringankan beban Nur saat ini. Meredakan ketegangan yang tersembunyi dari anak-anaknya tapi dapat terlihat jelas di mata Reza.

Malaikat dari MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang