Separuh Jiwa

773 23 8
                                    

Nur keluar dari kamar. Keempat anaknya sudah tertidur setelah bermain sebentar. Hari memang sudah larut dan Nur sendiri sudah sangat lelah.

Ketika Ia keluar kamar, Reza menoleh kearahnya dan tersenyum. Layar laptopnya masih menyala dengan ditemani dua cangkir kopi yang masih mengepul di atas meja. Diamatinya wajah kelelahan itu, sebersit rasa sakit hinggap di dadanya. Membuatnya menggeram dalam hati, meski Ia tetap tersenyum.

“Kemarilah….”, seru Reza sambil menepuk permukaan sofa sebelahnya. Nur menurut. Ia duduk perlahan sambil menarik nafas dalam-dalam.

“Sudah merasa baikan? Atau masih sangat tidak karuan di dalam sana.” Tutur Reza sambil dengan binar nakal dagunya ditunjukkan ke arah dada Nur. “ Kau menghibur atau menggoda?..” seru Nur sambil mencibir. Tapi jelas Ia tidak tersinggung. Kembali Ia menghela nafas, lalu memejamkan matanya sambil menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Lelah rasanya. Ingin tidur, tapi Ia tak bisa tidur.

Perlahan diangkat kepalanya dari sandaran sofa, melirik ke arah layar monitor lapton Reza. Sedikit terkejut saat Ia melihat ada wajahnya terpampang jelas di sana. Wajahnya yang menurutnya sangat tidak cantik sedang tersenyum dengan latar belakang laut biru. Ancol. Kapan Reza mengambil gambarnya? Ia tidak ingat. Dialihkan pandangannya ke Reza. Ia tertegun saat menyadari kalau Reza sedang memandang lekat dirinya.

“Anak-anak sudah tidur? “, Tanya Reza.

“Ya.., mereka cukup lelah. Jadi mudah menidurkannya. Lagipula ini sudah larut..”, jawab Nur.

“Apa Ia belum bisa lebih berpihak padamu?, apa kau ingin bercerita?”, tanya Reza. Nur bingung. Tanpa Ia cerita sepertinya Reza sudah tau masalahnya.

“Apa bisa kau yang lebih dulu cerita tentang semua kehebatanmu itu?”, jawab Nur balik bertanya.

“Kehebatan apa sayang..?”, balas Reza.

“Tentang kau yang tau segalanya. Apa kau seorang cenayang…atau semacam FBI gitu?”, sahut Nur ingin tau. Seakan lupa masalahnya, Ia jadi penasaran akan hal itu.

Reza tersenyum. Berpikir sejenak. Apa sudah saatnya Nur tau hal itu.

“Apa hal itu penting untukmu?..” Tanya Reza ragu-ragu. Ia takut cintanya tersinggung.

“Ya.. itu penting untukku… Karena aku tak ingin berprasangka padamu”, Nur menjawab tanpa ragu. Menunjukkan keseriusannya. Dan dibalas senyuman manis Reza.

Reza meraih tangan Nur. Menggenggamnya lembut sambil menatapnya lembut. Nur balas menatapnya. Menikmati manik matanya yang sangat indah. Reza belum berkata-kata. Tapi Nur bisa melihat dari binar mata biru safirnya, ada cinta yang teramat besar disana. Cinta yang begitu hangat yang kini membuat Nur ikut merasakan kehangatannya.

“ Entahlah honey….. yang pastinya aku buka FBI. Hahaha…. Itu sangat tidak mungkin. Aku pun tidak merasa menjadi seorang cenayang. Hanya saja, aku memiliki satu bakat. Dan rasanya sangat aneh untuk dibahas  my dear..”, penjelasan Reza mengambang, Ia terdiam sesaat. Memutuskan apakah ini perlu dilanjutkan atau tidak. Nur menunggu dengan sabar.

Akhirnya Reza kembali bersuara. “ Mmm..Okay. Sebenarnya sudah sejak lama, aku mengenalmu. Jatuh cinta saat pertama kali mendapat visi tentangmu. Mungkin, itulah saat pertama kau mengkhayalkan tentangku..” suara Reza mengalun pelan, namun memberikan efek luar biasa bagi Nur.

Jadi, Reza tau tentang khayalannya. Tentang Reza yang sama, yang seringkali menjadi bagian dari sisi liar dirinya.

“Bagaimana kau—“, suara Nur langsung terpotong. “SShhhtt… Ya, aku tau sayang. Bakat itulah yang memberikanku visi, penglihatan tentangmu. Bakat itu pula yang membuatku bisa membaca semua pikiran orang lain. Dan bisa melihat masa depan mereka…”, Reza berhenti menantikan reaksi dari Nur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2012 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Malaikat dari MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang