BAB 12 CAMP 7 - PUNCAK BENDERA

514 8 2
                                    

Selesai beribadah, kami mengisi malam di tenda masing-masing. Formasi tenda kami masih sama seperti di Camp 4 kemarin. Gue satu tenda lagi dengan Adit dan Farid.
Besok adalah hari ketiga. Dan kami akan melakukan summit attack atau pendakian menggapai puncak. Fajar menyuruh kami untuk tidur cepat dan jangan begadang karena besok jam 3 pagi kami sudah harus memulai pendakian kembali.

Dulu sewaktu masih kuliah, gue hobi membawa kertas ke puncak gunung. Kertas itu gue tulis dengan berbagai macam kata-kata. Yang paling berkesan adalah tulisan ‘i love u’ di kertas A3 kemudian di bawahnya gue tulis nama pacar gue saat itu. Indah sekali kalau mengingat-ingat masa lalu. Tapi sayangnya pacar gue yang dulu sekarang sudah jadi isteri orang. Sedih juga kalau dikenang, tapi sayang kalau dilupakan.

Dan malam ini di delam tenda gue berpikiran untuk mengulang masa lalu. Gue sudah bawa kertas dari Jakarta. Gue ingin membawa kertas perasaan gue ini ke puncak tertinggi Gunung Raung besok.

“Lo bawa kertas buat ditulisin?” tanya Adit penasaran begitu gue kaluarkan ketas hvs dari tas.

“Iya Dit. Lo mau?” tanya gue.

“Mau deh. Gue juga pengen nulis”
Farid yang dari tadi diam juga akhirnya ikut-ikutan minta kertas ke gue. Dia juga ingin menulis sesuatu.

“Eh Gas... emang lo sering ya bawa kertas beginian kalau naik gunung?”

“Dulu waktu masih kuliah sih sering Dit. Makanya karena gue udah lama enggak naik gunung. Jadi gue kangen-kangen gitu.”

“Emang menurut lo filosofinya apa Gas bawa kertas terus lo bawa ke puncak gunung?”

Gue diam sejenak.

“Bukan apa-apa sih Dit. Cuman ada kebanggaan tersendiri bisa mengungkapkan perasaan di atas selembar kertas yang kita bawa ke puncak gunung. Kalau cuman sekadar foto-foto kan udah biasa banget. Lagian kalau foto doang kan kita enggak bisa mengungkapkan perasaan kita Dit.

“Misalnya nih gue waktu kuliah dulu naik gunung, terus foto-foto biasa. Abis itu bertahun-tahun kemudian gue lihat lagi foto itu. Rasanya biasa Dit. Ingatan gue Cuma flashback ke pendakian itu aja.

“Tapi bakalan beda kalau gue naik gunung terus foto sambil bawa kertas dan gue tulisin perasaan gue. Nah kalau gue lihat lagi foto itu bertahun-tahun kemudian, di situ gue bisa flashback lebih berwarna Dit. Ternyata waktu itu gue punya pacar ini, abis itu kuliah begini, dan terus sampai jadi cerita. Itu semua bakalan muncul hanya saat kita melihat kertas itu.”

Adit dan Farid diam. Mungkin mereka terlalu menghayati ucapan gue tadi.

“Ngopi dulu deh Gas.” Adit menyodorkan kopinya yang masih awet dari tadi sore.

“Makasih Dit” tanpa sadar gue jadi bawa perasaan, mengenang masa-masa lalu. Tapi setelah gue ngopi dikit setidaknya luapan emosi perasaan gue lebih reda.

“Jadi itu sebenarnya berangkat dari pengalaman pribadi lo Gas?” tanya Adit lagi.

“Ya begitulah Dit. Gue inget dulu pernah bawa kertas yang isinya ucapan cinta buat pacar gue. Tapi sialnya habis itu pacar gue diambil orang.”

“Yah... kenangan buruk dong”

“Pahit memang Dit. Tapi sayang kalau dilupakan iya enggak sih”

“Hmm...sabar ya Gas.”

“Udah lama Dit. Masa lalu”

“Tapi kan sekarang pacar lo ajib banget Gas?”

Kali ini gue kembali terdiam. Iya gue sebenarnya terpaksa menunjukkan foto Mila ke teman-teman pendakian tadi. Tapi kalau disuruh jujur gue susah untuk bilang kalau sebenarnya gue dan Mila belum pernah bertatap muka sekalipun.

MISTERI GUNUNG RAUNG: Novel Horror Seri #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang