BAB 14 BADAI

437 8 3
                                    

“Grrrrraungggg......!!!”

“Grraaaaaauuuuuunngggggg.....!!!:

Suara Gunung Raung meraung-raung. Membuat siapa saja menciut nyalinya untuk mendekat. Fajar yang katanya sudah beberapa kali mendaki Gunung Raung sempat ketakutan begitu mendengar suara raungan dari dalam kaldera.

“Baru kali ini gue denger suara Gunung Raung seperti ini.” Ucap Fajar.

“Memang dulu enggak meraung-raung kaya gini Jar?” tanya Adit.

“Enggak sekencang ini Dit. Gue sampai takut tadi.”

“Kayaknya mau meletus deh” ucap Fajar lagi.

Kami bersembilan telah sampai di Puncak Sejati. Awalnya gue juga seperti Fajar, takut. Karena jujur gue juga baru pertama kali mendengar suara menggelegar dari dalam gunung seperti itu.

Suara Raung berhenti dengan jeda 3-5 menit lalu meraung lagi.

Kaldera Gunung Raung sangat luas. Bahkan menjadi terluas di Pulau Jawa. Bentuknya melingkar seperti sebuah danau. Di bagian tengah terdapat gundukan sebesar gunung kecil yang adalah kubahan lava. Gundukan kecil itu adalah lubang keluarnya suara raungan Gunung Raung sekaligus lubang keluarnya lava pijar.

Gue lihat dari sini jelas sekali keluar asap-asap tipis dari dalam kubahan lava tersebut.

“Jar, kalau turun ke bawah bisa enggak?” tanya Adit iseng.

“Bisa aja Dit kalau lo pengen mati.” Jawab Fajar.

“Lihat sepertinya memang habis meletus ya?” tanya Mas Siswanto.

“Kayaknya begitu Mas. Lihat ada bekas-bekas hitam di sekitar kubah lava itu. Kayaknya itu magma yang keluar terus dingin dan menghitam.” Jawab Fajar.

Beberapa menit kami berdiri di Puncak Sejati sampai sekarang masih merasakan merinding. Gunung Raung tak henti-hentinya mengeluarkan suaranya. Gue khawatir kalau sewaktu-waktu gunung ini meletus kencang. Belum meletus saja suaranya sudah sekencang ini.

Beberapa saat kemudian langit mulai tertutup kabut bercampur asap dari letusan kecil di dalam kaldera sana. Gue terus memanjatkan dzikir dari dalam hati. Rasanya seperti mendengar sambaran petir terus-terusan. Kita yang orang awam pasti spontan baca doa kalau mendengar petir. Apalagi gue sekarang mendengar raungan gunung yang terus menerus bergejolak.

Ini adalah pengalaman yang tak akan terlupakan dalam hidup gue. Berhadapan dengan maut berkali-kali. Setelah jembatan Siratal Mustaqim lalu ada kaldera Raung yang kapan saja bisa meletus hebat. Sungguh gue merasa begitu kecil dan rapuh menjadi manusia. Gue benar-benar tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan alam.

Sambil menikmati kaldera yang sungguh indah namun menakutkan. Kami memutuskan duduk sambil makan bekal yang kami bawa. Berjalan sejak pagi buta hingga sekarang menjelang siang kami sama sekali belum makan. Perut rasanya keroncongan.

Fajar mengeluarkan botol aqua penuh yang diisi dengan serbuk agar-agar. Rupanya dia sudah menyiapkannya sejak tadi sehingga sekarang agar-agarnya sudah jadi dan siap dimakan. Satu botol aqua ukuran besar kemudian dibagi-bagi untuk sembilan orang. Lumanyan untuk mengganjal perut.

Setelah mengganjal perut kemudian barulah kami mengabadikan momen dengan berfoto. Adit, dan Farid mengeluarkan kertas mereka.
Gue keluarkan kertas yang telah gue gambar dengan foto Mila. Lalu gue minta Mas Siswanto untuk memfotokan gue yang sedang memegang kertas tersebut dengan latar belakang kaldera Gunung Raung. Ini akan menjadi oleh-oleh yang paling mahal buat Mila.

Setelah beberapa menit berlalu tampak dua orang pendaki dari rombongan Malaysia pun akhirnya sampai di Puncak Sejati. Setelah mereka mendekat rupanya salah satunya adalah Cak Nyong.

MISTERI GUNUNG RAUNG: Novel Horror Seri #1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang