BAGIAN 1

1.3K 30 0
                                    

Malam ini bulan bersinar penuh, tampak indah menggantung di langit kelam bermandikan taburan bintang gemerlapan. Cahayanya yang keperakan begitu lembut menyirami permukaan bumi yang seharian tadi terpanggang sang raja siang. Suasana malam ini benar­-benar sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Namun semua keindahan itu terusik oleh suara-suara gaduh dari sebuah desa yang terletak di kaki Bukit Parut. Tampak api berkobar, seakan-akan hendak mengalahkan sinar rembulan yang keemasan. Jeritan-jeritan melengking tinggi disertai teriakan-teriakan keras terdengar membahana. Itu pun juga masih diselingi oleh denting senjata beradu.
Memang tidak lama suara-suara gaduh itu mengusik kesunyian dan keindahan malam ini. Dan kini suasana kembali sunyi tenang, bagai tak pernah terjadi sesuatu. Tinggal cahaya api yang masih berkobar bersama kepulan asap tebal membumbung tinggi ke angkasa. Semua ini menandakan kalau malam ini telah terjadi sesuatu. Tampak mayat-mayat bergelimpangan tak tentu arah. Angin yang berhembus menebarkan udara dingin, menyebarkan bau anyir darah, menambah rusaknya keindahan malam ini.
Tak berapa lama kemudian, terdengar derap langkah kaki kuda. Terlihat seorang pemuda berbaju putih tanpa lengan tengah menunggang seekor kuda hitam yang dipacu cepat menuju desa itu.
“Hup...!” Dengan gerakan ringan dan indah sekali, pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya. Matanya agak menyipit memandangi keadaan Desa Gandus yang porak poranda disertai kobaran api menghanguskan beberapa rumah. Mayat bergelimpangan di mana-mana dalam keadaan bersimbah darah. Bau anyir darah menyebar menusuk hidung, membuat perut serasa bergolak hendak muntah. Pemuda berbaju rompi putih itu mengayunkan kakinya perlahan-lahan, namun matanya tetap beredar berkeliling merayapi tubuh-tubuh berlumuran darah yang berserakan di sekitarnya.
“Hiyaaat...!”
Pemuda itu terkejut ketika tiba-tiba terdengar teriakan keras melengking tinggi. Dan sebelum keterkejutannya hilang, tahu-tahu dari arah samping meluncur seseorang sambil mengayunkan golok berlumuran darah ke arahnya.
“Uts!”
Buru-buru pemuda itu memiringkan tubuhnya, sehingga tebasan golok hanya lewat di samping. Namun sebelum tubuhnya sempat ditarik kembali, golok berlumuran darah itu berputar cepat mengarah ke perut. Terpaksa pemuda berbaju rompi putih itu melompat mundur dua langkah ke belakang.
“Hei, tunggu...!” teriak pemuda itu.
“Mampus kau. Hiyaaat...!”
Namun penyerang gelap itu tidak memberi kesempatan lagi. Kembali pemuda itu diserang dengan ganas. Serangan-serangannya sungguh cepat luar biasa, membuat pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan menghindarinya. Namun pada saat golok berlumuran darah itu hampir menyambar dadanya, cepat sekali tangannya dikibaskan.
Plak!
“Akh...!” Terdengar pekikan keras agak tertahan. Pekikan itu jelas sekali kalau datangnya dari seorang wanita. Tampak gadis yang menyerang dengan golok itu terhuyung-huyung ke belakang saat satu gedoran yang tidak terlalu keras mendarat di dadanya. Golok berlumuran darah itu langsung terlepas dari genggaman, setelah pergelangan tangannya juga terkena sampokan keras mengandung sedikit pengerahan tenaga dalam.
“Hup...!” Pemuda berbaju rompi putih itu melompat cepat, dan tahu-tahu sudah meringkus penyerangnya. Dipegangnya tangan gadis itu kuat-kuat ke belakang, lalu ditekan kepunggung.
“Akh...!” gadis itu memekik merasakan sakit pada tangannya yang dipelintir ke belakang. Dia berusaha memberontak melepaskan diri, tapi pegangan pemuda itu kuat sekali. Dan semakin berusaha memberontak, tangannya semakin terasa sakit.
“Lepaskan...!” sentak gadis itu keras.
“Aku akan melepaskan jika kau tidak menyerangku lagi, Nisanak,” tegas pemuda itu.
“Baik. Aku tidak akan menyerang lagi,” janji gadis itu.
Pemuda berbaju rompi putih itu melepaskan ringkusannya. Buru-buru gadis yang pakaiannya serba kuning itu menjauh dan langsung berbalik. Bibir yang berbentuk indah itu meringis, sedang tangan kirinya mengurut-urut pergelangan tangan kanan yang terasa nyeri. Sepertinya, tulang pergelangannya remuk tercengkeram tangan kekar tadi.
“Siapa kau, Nisanak? Mengapa tiba-tiba menyerangku?” tanya pemuda itu.
“Huh! Kalau kau ingin membunuhku, bunuh saja sekarang, Iblis!” dengus gadis itu ketus.
“Tidak semudah itu membunuh orang, Nisanak.”
“Hhh! Bicara memang gampang. Tapi kenyataannya, kau bantai habis orang-orang tidak berdosa!” rungut gadis itu dengan wajah memberengut dan mata menyorot tajam menusuk.
“Aku baru saja datang ke sini, dan tidak tahu apa yang terjadi terhadap mereka. Ada apa sebenarnya?” tanya pemuda itu.
“Huh!” gadis itu hanya mendengus saja.
Tubuhnya kemudian berbalik dan terus melangkah cepat. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu jadi tertegun tidak mengerti. Sebentar dipandanginya mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah. Kemudian pandangannya beralih pada gadis berbaju kuning yang sudah cukup jauh meninggalkan tempat ini.
“Hei, tunggu...!” seru pemuda itu. “Hup...!”
Hanya sekali lesat saja, pemuda berbaju rompi putih itu sudah berhasil menyusul gadis berbaju kuning, dan langsung memandangnya. Gadis yang cukup cantik dengan rambut sebahu itu mendengus sambil membuang muka ke samping. Seketika ayunan langkahnya dihentikan.
“Mengapa kau mengejarku?” dengus gadis itu ketus.
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Nisanak,” sahut pemuda itu
“He...?!” gadis itu mendelik.
“Aku baru saja tiba, sedangkan keadaan di desa ini sudah begini. Lalu kau tiba-tiba saja muncul, langsung menyerang. Seharusnya akulah yang menuduhmu melakukan semua ini, bukannya kau yang menuduhku demikian,” tegas pemuda itu dengan nada suara agak tertekan.
“Siapa kau sebenarnya...?” tanya gadis itu jadi berkerenyut keningnya.
Dipandanginya pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya, dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Matanya agak menyipit, seakan-akan ingin menegaskan kalau yang berdiri di depannya ini adalah seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh tegap berotot.
“Namaku Rangga. Aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di sini,” sahut pemuda itu memperkenalkan diri.
Pemuda berbaju rompi putih itu memang bernama Rangga yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Terpaksa dirinya diperkenalkan lebih dahulu, karena tatapan gadis itu demikian tajam penuh selidik.
“Benar kau bukan salah seorang dari mereka...?” tanya gadis itu, ragu-ragu nada suaranya.
“Mereka siapa...?” Rangga malah balik bertanya.
Gadis yang memiliki wajah cantik dan berbaju agak ketat berwarna kuning itu semakin dalam mengamati pemuda tampan di depannya. Sepertinya, benar-benar ingin meyakinkan dirinya kalau pemuda itu hanya seorang pengembara yang kebetulan saja lewat di desa ini.

49. Pendekar Rajawali Sakti : Gelang Naga SokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang