BAGIAN 4

744 23 0
                                    

“Hup! Hap! Yeaaah..!”Glarrr!
Sebuah ledakan keras terdengar menggelegar memecah kesunyian malam. Tampak api menyemburat terang bersama hancurnya sebongkah batu sebesar kerbau yang hitam berkilat tertutup lumut tebal. Di antara kilatan cahaya api, terlihat seorang gadis mengenakan baju merah muda tengah berdiri tegak sambil merentangkan kedua tangan lurus ke depan. Kedua telapak tangannya terbuka lebar dengan jari-jari merapat menjadi satu.
Perlahan-lahan gadis berbaju merah muda itu menurunkan tangannya hingga menjuntai ke samping. Dipandanginya dalam-dalam batu yang hancur berkeping-keping. Bibir yang memerah dan agak tipis itu, menyunggingkan senyuman tipis. Sinar matanya berkilatan penuh kepuasan.
Plok! Plok...!
“He...!” gadis itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar tepukan tangan beberapa kali dari belakang. Tubuhnya langsung berbalik dengan tangan terkepal di sisi pinggang. Lalu dengan cepat, tangan kanannya bergerak memutar hingga menyilang di depan dada.
“Hei, tunggu...!” terdengar sentakan keras bernada mencegah.
Sinar mata gadis itu demikian tajam kala melihat seorang laki-laki muda mengenakan baju rompi putih tahu-tahu kini sudah berada di depannya. Perlahan gadis itu menurunkan tangan kanannya yang telah menyilang di depan dada. Dan perlahan pula kakinya dirapatkan kembali. Namun sikapnya masih tetap waspada, dan ini terpancar jelas dari sinar matanya yang menyorot tajam.
“Siapa kau...?” tanya gadis itu ketus.
“Kau sendiri siapa? Dan kenapa berbuat gaduh di sini?” pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya.
“He...?! Aku yang bertanya padamu!” bentak gadis itu keras.
“Maaf, Nisanak!” timpal pemuda berbaju rompi putih itu. “Terus terang saja, aku hanya ingin mengatakan agar untuk sementara kau jangan membuat kegaduhan di sini.”
“Kenapa?! Aku bisa bebas melakukan apa saja di sini. Ini tanah milik ayahku, dan kau tidak berhak melarangku! Tahu?!” ketus sekali nada suara gadis itu.
“Siapa pun dirimu, dan siapa pemilik daerah ini, kuminta kau jangan membuat gaduh malam ini,” tegas pemuda berbaju rompi putih itu.
“He.... Kenapa?” gadis berbaju merah muda itu mendelik.
“Aku lihat, kepandaianmu cukup tinggi. Jadi kau pasti tahu, bagaimana suasana yang diinginkan seseorang jika sedang melaksanakan semadi.”
Gadis itu mengernyitkan keningnya.
“Bukan aku yang bersemadi, tapi temanku,” sambung pemuda itu memberi tahu.
“Kenapa bersemadi di tempat seperti ini?”
“Tidak ada waktu lagi. Dia terluka cukup parah, dan harus segera bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya.”
Gadis itu mengayunkan kakinya mendekati pemuda itu, dan kini semakin jelas bisa melihat. Agak tertegun juga hatinya begitu mengetahui kalau pemuda berbaju rompi putih itu ternyata memiliki raut wajah tampan. Bentuk tubuhnya tegap berotot terbungkus kulit yang kuning langsat bagai seorang putra bangsawan. Untuk sesaat gadis itu memandangi sosok tampan di depannya.
“Kau pasti bukan dari Desa Banggal ini,” tebak gadis itu. Kali ini nada suaranya terdengar lebih lunak dan agak lembut.
“Benar. Aku berasal dari tempat yang jauh,” sahut pemuda itu.
“Kau tadi mengatakan, temanmu sedang terluka dalam dan kini bersemadi. Di mana semadinya?”
“Tidak jauh dari sini.”
“Boleh kulihat?”
Pemuda berbaju rompi putih itu tidak langsung menjawab. Dipandanginya gadis cantik yang mengenakan baju merah muda di depannya ini. Meskipun gadis itu tidak lagi berkata ketus, namun sorot mata pemuda itu tetap mengandung kewaspadaan. Dan rupanya gadis itu mengetahui, maka langsung memberi senyuman manis.
“Maaf atas kekasaranku tadi,” ucap gadis itu lembut. “Namaku Murasi. Aku tinggal tidak jauh dari sini.”
Sebentar pemuda itu memandangi gadis berbaju merah muda yang memperkenalkan namanya sambil menyodorkan tangan. Kemudian pemuda berbaju rompi putih itu menyambut uluran tangan itu. Dan kini mereka berjabatan tangan beberapa saat.
“Rangga,” pemuda berbaju rompi putih itu juga memperkenalkan namanya.
Kemudian mereka sama-sama melepaskan jabatan tangannya. Entah kenapa, tiba-tiba saja mereka sama­-sama tersenyum. Mungkin teringat kekasaran masing­masing yang baru saja terjadi. Untung saja satu sama lain bisa menjaga diri, sehingga tidak terjadi sesuatu yang lebih buruk lagi.
“Kenapa temanmu terluka dalam?” tanya gadis berbaju merah muda yang mengaku bernama Murasi.
“Bertarung,” sahut Rangga singkat
“Parah sekali?”
“Kelihatannya. Mungkin baru besok pagi dia bisa bangun dari semadinya. Hanya saja mungkin belum sembuh benar dari luka-luka dalamnya.”
“Aku punya sedikit kebisaan tentang pengobatan luka dalam akibat pertarungan. Mungkin dia bisa sedikit diobati,” Murasi menawarkan jasa.
Sebentar Rangga berpikir menimbang-nimbang tawaran gadis yang baru dikenalnya ini, kemudian mengangkat bahunya sedikit dan memutar tubuhnya. Pemuda berbaju rompi putih itu melangkah, sementara Murasi mengikuti. Langsung ayunan langkahnya disejajarkan di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
Murasi memandangi seorang gadis yang duduk bersila dengan kedua tangan berada di lututnya. Kedua mata gadis berbaju kuning itu terpejam rapat. Wajahnya kelihatan memucat, dan bibirnya agak membiru. Perlahan Murasi menghampiri, sedangkan Rangga hanya berdiri saja mengawasi.
Murasi meletakkan ujung jari tangannya di leher gadis berbaju kuning, tepat di bawah rahangnya. Kepalanya menggeleng beberapa kali, lalu berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti yang mengawasi saja dari jarak yang tidak seberapa jauh.
“Sudah berapa lama dia terluka begini?” tanya Murasi.
“Baru kemarin,” sahut Rangga.
“Kau pasti sudah memberikan hawa murni,” tebak Murasi.
Rangga agak terkejut juga atas tebakan yang tepat itu, tapi kepalanya terangguk sedikit. Dibenarkannya dugaan Murasi yang begitu tepat. Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam saja memperhatikan Murasi yang mulai memeriksa bagian-bagian tubuh gadis berbaju kuning.
“Siapa namanya?” tanya Murasi tanpa berpaling pada Rangga.
“Paranti. Itu juga katanya...,” sahut Rangga.
“Katanya...?”
“Aku baru mengenalnya beberapa hari ini. Jadi, wajar kalau aku tidak begitu jelas mengetahui tentang dirinya,” jelas Rangga.
“Baru kenal beberapa hari sudah mengakui teman...!” gumam Murasi pelan.
Begitu pelannya, sehingga tidak bisa terdengar oleh Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti itu sendiri sudah duduk, dan menyandarkan punggungnya pada sebatang pohon yang tumbang dan sudah mengering. Dipungutnya ranting kering dan dilemparkannya ke dalam api unggun. Terlihat percikan api naik ke atas, saat ranting itu terjilat api yang berkobar tidak terlalu besar.
Rangga kembali memperhatikan Murasi yang kini sudah membaringkan tubuh Paranti. Entah apa yang dilakukannya, karena gadis berbaju merah itu duduk bersila membelakangi. Tapi terlihat kalau tangannya selalu bergerak-gerak. Dan terdengar beberapa kali napas ditarik dalam-dalam.
Agak lama juga Murasi mencoba mengobati luka dalam yang diderita Paranti akibat pertarungannya melawan si Siluman Kera. Dan luka yang dideritanya ini juga akibat pukulan si Siluman Kera. Rangga mengangkat kepalanya sedikit ketika Murasi bangkit berdiri dan memutar tubuhnya. Kemudian kakinya melangkah menghampiri, lalu duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti.
“Maaf. Aku tidak bisa menyembuhkannya. Terlalu parah luka dalam yang dideritanya,” kata Murasi memberitahu sebelum ditanya.
Rangga hanya mengangkat bahunya sedikit. Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tahu kalau luka dalam yang diderita Paranti sangat parah. Dan luka dalam itu hanya bisa disembuhkan oleh orang yang mengetahui ilmu pengobatan luka dalam. Sedangkan dia sendiri, sama sekali tidak mengetahui ilmu pengobatan dalam tingkat tinggi. Kalau yang sedang-sedang saja, mungkin bisa diobatinya. Tapi luka yang diderita Paranti..., tidak sembarang orang bisa menyembuhkannya.
“Dengan luka seperti itu, kemungkinan dia hanya mampu bertahan dua atau tiga hari,” jelas Murasi lagi.
“Apa yang bisa kulakukan?” tanya Rangga.
“Hm...,” Murasi menggumam kecil.
Cukup lama juga mereka berdiam diri dengan benak berpikir keras untuk menyelamatkan Paranti yang kini terbaring, beralaskan tumpukan rerumputan kering. Sebentar Murasi memandangi gadis berbaju kuning itu, kemudian kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti.
“Dalam keadaan seperti ini, segala kemungkinan harus dicoba dulu. Mungkin ibuku bisa menyembuhkan,” kata Murasi setelah cukup lama berdiam diri saja.
“Jauhkah rumahmu dari sini?” tanya Rangga.
“Tidak.”
Rangga segera bangkit berdiri, kemudian menghampiri Paranti yang masih terbaring tak sadarkan diri. Sebentar dipandanginya wajah pucat yang bibirnya agak membiru itu. Kemudian tubuh ramping terbungkus baju kuning itu dipondongnya. Perlahan kakinya terayun melangkah menghampiri Murasi yang sudah berdiri menanti.
“Kita berangkat sekarang,” ajak Rangga.
“Lebih cepat, lebih baik,” sahut Murasi.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka kemudian bergegas beranjak pergi. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mereka akan lebih cepat sampai di tempat kediaman gadis berbaju merah muda itu.

49. Pendekar Rajawali Sakti : Gelang Naga SokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang