BAGIAN 5

694 24 0
                                    

Nyi Enoh tidak bisa lagi membendung keserakahan Eyang Congkok untuk memiliki benda-benda bertuah yang mempunyai kekuatan. Laki-laki tua itu memang terkenal gemar mengumpulkan benda-benda bertuah. Apa saja akan dilakukannya. Bahkan tidak memandang siapa pun untuk mendapatkan benda yang diinginkannya. Malah kalau mungkin, saudara kandung sekalipun akan digempur bila mempertahankan benda yang diinginkannya.
Antara Nyi Enoh dan Eyang Congkok, sebenarnya sudah cukup lama bersahabat. Tapi semua persahabatan itu luntur setelah terdengar kalau suami Nyi Enoh menyimpan suatu benda yang menyimpan jiwa si Siluman Kera. Sebagai orang yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam rimba persilatan, Eyang Congkok tentu tahu siapa itu Siluman Kera. Dan tentu saja jiwa Siluman Kera yang tersimpan di dalam Gelang Naga Soka ingin dimilikinya. Namun beberapa kali dia gagal mendapatkannya. Dan, baru sekarang inilah dirinya mulai lagi gencar memburu benda itu setelah mendengar kabar kalau Ki Enoh sudah tewas di tangan orang-orang si Siluman Kera.
Pertarungan yang terjadi di halaman belakang rumah itu rupanya menarik perhatian seluruh penghuni rumah ini. Bukan saja Murasi dan kedua pamannya yang datang ke halaman belakang rumah itu, tapi juga Pendekar Rajawali Sakti dan beberapa orang bayaran yang diundang Nyi Enoh untuk menghadapi anak buah si Siluman Kera.
“Siapa yang bertarung dengan Nyi Enoh?” tanya Rangga yang berdiri di samping Murasi.
“Eyang Congkok,” sahut Murasi.
“Huh! Orang tua itu memang selalu bikin ulah...!” dengus Paman Katir sambil memelintir kumisnya yang tebal seperti ijuk.
“Kalau saja dia bukan sahabat Kakang Enoh, sudah dari dulu kukirim ke neraka!” sambung Paman Julak.
Sementara Rangga hanya mendengarkan saja gerutuan kedua laki-laki yang selalu dipanggil paman oleh Murasi itu. Sementara, matanya tidak berkedip memandang jalannya pertarungan itu. Entah sudah berapa jurus berlalu. Padahal, matahari semakin naik tinggi. Namun, kelihatannya pertarungan itu masih akan terus berlangsung lama. Rangga bisa menilai kalau kekuatan mereka seimbang. Hanya saja, ada kemungkinan Nyi Enoh kalah tenaga.
“Awas kepala...!” seru Eyang Congkok tiba-tiba. Dan seketika itu juga, tongkatnya bergerak cepat mengibas ke arah kepala Nyi Enoh.
Wut!
“Uts...!”
Buru-buru Nyi Enoh merundukkan kepalanya. Namun pada saat tongkat itu berada di atas kepala, mendadak saja tangan kiri Eyang Congkok menghentak ke arah dada. Begitu cepatnya sentakan tangan kiri itu, sehingga Nyi Enoh tidak sempat lagi menghindar.
Deghk!
“Akh...!” Nyi Enoh memekik agak tertahan. Perempuan yang mengenakan baju putih itu terhuyung­-huyung ke belakang beberapa langkah sambil mendekap dadanya. Namun sebelum keseimbangan tubuhnya sempat terkuasai, Eyang Congkok sudah mengibaskan tongkatnya ke arah kaki.
Tak!
“Aaakh...!” lagi-lagi Nyi Enoh menjerit keras. Perempuan berbaju putih itu langsung jatuh terguling ketika tongkat Eyang Congkok menghantam kakinya.
“Ibu..!” jerit Murasi.
Pada saat yang sama, Eyang Congkok sudah melompat menerjang perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu. Tongkatnya diangkat tinggi-tinggi, dan siap dihunjamkan ke tubuh Nyi Enoh yang terjajar di tanah.
“Hiyaaat...!”
“Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, tahu-tahu Murasi sudah melesat cepat hendak menyelamatkan nyawa ibunya yang tertawan. Namun....
Crab!
“Aaa...!”
“Hup...!”
“Ibuuu...!”
Bukan main terkejutnya Murasi begitu melihat ujung tongkat Eyang Congkok sudah terbenam di dada Nyi Enoh. Sedangkan laki-laki tua berjubah hijau itu cepat mencabut tongkatnya seraya melompat mundur, tepat saat Murasi menerjang sambil mengirimkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Maka pukulan gadis itu hanya mengenai angin kosong saja.
Dan kini Murasi tidak melanjutkan serangannya kembali. Tubuhnya langsung berputar, dan menghambur memeluk ibunya yang tergeletak di tanah dengan dada berlubang berlumuran darah segar. Murasi langsung memeluk, lalu mengangkat tubuh ibunya. Gadis itu memang lebih mementingkan keadaan ibunya daripada harus bertarung. Tapi yang jelas, rasa dendam mulai menyelimuti hatinya.
“Ibuuu...,” rintih Murasi tak dapat lagi membendung air matanya.
“Ha ha ha...!” Eyang Congkok tertawa terbahak-bahak.
“Keparat...!” desis Paman Katir menggeram.
“Iblis...!” geram Paman Julak.
Kedua laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan itu segera melesat cepat bagaikan kilat menerjang Eyang Congkok. Golok mereka langsung dicabut, dan dibabatkan ke tubuh laki-laki tua itu. Namun dengan tangkas sekali, Eyang Congkok berkelit sambil menangkis satu serangan golok yang cepat datangnya bagaikan kilat itu.
Trang!
“Kubunuh kau, Iblis...!” bentak Paman Julak geram. “Hiyaaa...!”
“Hup! Yeaaah...!”

49. Pendekar Rajawali Sakti : Gelang Naga SokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang